Reina masuk kedalam tubuh sang tokoh antagonis yang merupakan tunangan dari tokoh utama pria yang sangat obsess pada sang tokoh wanita. Takdir dari buku yang dibacanya harus mati dengan keadaan menyedihkan. Tapi Reina tidak ingin takdir buruk itu terjadi. Salah satunya dengan merubah takdirnya dengan memutuskan pertunangannya dengan Nico sang tokoh utama. Sayangnya perubahannya membuat pria gila berbarik tertarik padannya dan berjanji tidak akan melepaskan. Rencana hidup tenangnya harus hancur dengan pria gila yang malah obsesi padanya bukan pada kekasih kakaknya. Tidak sampai disitu saja masalah dalam hidupnya silih berganti. Berbagai karakter muncul yang tak seharusnya ada di cerita.
"Mari kita batalkan pertunangan ini."
"Tidak akan pernah, kamu sudah masuk ke dalam duniaku dan cara untuk keluar hanya dengan kematian. Sayangnya aku tidak akan membiarkan kematian merenggut kelinci kesayangan itu."
"Kenapa alurnya jadi berubah."
"Semua usahaku sudah selesai , mari kita putus."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dewisl85, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 20
Malam itu, seorang wanita berlari menembus hutan menuju sebuah rumah terpencil. Letaknya tak jauh dari vila milik Nico, namun pepohonan yang rimbun membuat rumah itu nyaris tak terlihat—seolah bersembunyi dari dunia. Wajahnya diliputi kecemasan; rasa khawatir menekan dadanya ketika bayangan sahabat dan kakaknya terlintas di benaknya, terkurung di vila itu.
“Akhirnya kamu datang juga, Reina.”
Suara itu datang dari belakang, diiringi suara kokangan pelatuk. Dingin logam pistol kini menempel di belakang kepalanya.
“Kenapa kamu melakukan ini?” tanya Reina datar, menahan diri agar tak menunjukkan rasa takut. Ia tahu, sedikit saja ia lengah, nyawa dua orang yang disayanginya akan melayang.
“Tentu saja aku ingin melihatmu menderita.”
Nada itu terdengar ringan, tapi mematikan. Reina mengepalkan tangan.
“Apa salahku padamu?”
“Salahmu adalah... terlahir di dunia ini,” jawab wanita di belakangnya getir. “Hidupmu terlalu sempurna, Reina. Aku muak melihatnya—keluarga utuh, harta melimpah, dan pria seperti Nico yang mencintaimu tanpa syarat.”
Ujung pistol itu menekan makin keras di kepala Reina.
“Tindakanmu tak akan mengubah takdir. Hidupmu tak akan jadi lebih baik hanya dengan menghancurkan hidupku,” ucap Reina sambil menahan tawa sinis. Ia tahu siapa wanita itu—dan kata-kata dinginnya justru memancing amarah di balik punggungnya.
“Kamu benar. Tapi dengan kamu mati, aku bisa menempati posisimu,” balas wanita itu dengan senyum tipis.
“Kamu pikir mereka sebodoh itu?” balas Reina tenang. “Kematian Reina bukan berarti kenangan tentangku akan lenyap. Hidupmu akan jadi neraka setelah ini.”
“Diam!” teriaknya marah. “Hari itu akan datang, Reina, saat semua orang membencimu.”
Seketika pistol menjauh—dan Reina melihat kesempatan. Tapi sebelum ia sempat berbalik, sesuatu menghantam keras kepalanya. Dunia berputar, pandangannya kabur, dan perlahan semuanya gelap.
Di tempat lain, seorang pria mengumpat di antara pepohonan. Amarah dan panik berpadu di matanya.
“Nico—”
“Diam, Yuda!” potong Nico tajam. “Aku tidak butuh maafmu. Kalau kamu masih ingin hidup, kita harus temukan Reina dan Nina sekarang. Kalau tidak, besok pagi kamu bahkan tak akan sempat menyesalinya.”
Mereka menyusuri jalan setapak gelap di antara pohon-pohon pinus. Kabut tipis menari di udara.
“Nic,” panggil Yuda pelan, menunjuk ke arah rumah besar yang tampak samar di kejauhan. “Rumah itu... agak mencurigakan.”
Nico berhenti sejenak, menatap tajam bangunan itu. “Wanita itu memang seharusnya dimusnahkan sejak awal.”
“Siapa yang kamu maksud?” tanya Yuda bingung.
“Kamu terlalu bodoh, Yuda,” jawab Nico dingin, sebelum melangkah lebih cepat ke arah rumah itu.
Mereka berpencar. Bagi dua anggota inti Black Bird, menyusup bukan hal sulit. Kelompok mafia yang mereka bangun sejak SMA itu kini menjadi nama yang ditakuti di bawah dunia—bukan hanya karena kekuatan mereka, tapi juga kecerdasan yang membuat banyak pihak enggan berhadapan. Dua pewaris keluarga berpengaruh dunia bisnis, kini berjalan di sisi gelap demi orang yang mereka lindungi.
Rein… Reina, bangun!”
Suara gemetar itu datang dari sudut ruangan gelap. Seorang gadis baru saja sadar dari bius, terkejut melihat dirinya diikat di ruangan kecil berdebu. Tangannya terbelenggu di belakang tubuh, dan di depannya, sahabatnya terbaring dengan luka lebam di pipi.
Reina perlahan membuka mata. Rasa nyeri masih berdenyut di kepalanya, tapi ia sedikit lega melihat sahabatnya masih hidup. Setidaknya, wanita itu belum sempat melukainya lebih parah. Namun, sosok yang ia cari tak ada di sana.
“Nina… Kak Shaka mana?” tanya Reina pelan, suara seraknya nyaris tenggelam.
Nina menggeleng lemah. “Aku nggak tahu. Saat sadar, aku sudah di sini.”
Reina menatap sekeliling, lalu menarik napas dalam. Ia tahu—mimpi buruk baru saja dimulai.
“Pertama-tama, kita harus kabur dari tempat ini dan mencari pertolongan,” ucap Reina pelan, mendekat ke arah Nina. Syukurlah, mereka tidak diikat pada kursi atau tiang—hanya tali yang membelenggu tangan mereka. Dengan sedikit usaha, Reina berhasil melepaskan ikatan di pergelangan tangan sahabatnya.
“Reina, kamu cari Kak Nico. Aku akan cari Shaka di rumah ini,” ucap Nina cepat, tapi Reina langsung menggeleng keras. Tatapan tegasnya menolak mentah-mentah ide itu.
“Nina, kamu tahu dia menjadikanmu kelemahanku. Kalau kamu tetap di sini, dia akan memanfaatkan itu. Kamu harus pergi, cari Kak Nico,” katanya mantap, suaranya bergetar tapi penuh keyakinan.
“Tapi—”
“Tidak ada bantahan, Nina.” Reina menatap sahabatnya dalam-dalam. “Aku akan memastikan jalanmu aman. Setelah itu, kamu harus lari secepat mungkin. Ingat permainan kita dulu? Lari dan bersembunyi. Lakukan itu sekarang. Jangan menoleh ke belakang sampai kamu menemukan Kak Nico, Kak Yuda, atau Kak Paul. Mengerti?”
Nina mulai menangis, suaranya bergetar. “Kenapa kamu selalu seperti ini, Reina?”
“Karena aku sudah berjanji untuk menjagamu, sejak hari pertama kita bertemu,” ucap Reina lembut. “Aku janji, bahkan dengan nyawaku.”
“Aku bukan Nina yang lemah seperti dulu,” balas Nina, menatap balik dengan mata yang mulai memerah.
“Tapi di mataku, kamu tetap Nina yang dulu. Satu-satunya yang tak boleh terluka,” ujar Reina dengan senyum getir.
Nina mengusap air matanya, lalu mengangguk pelan. “Baiklah… tapi kamu harus selamat, Reina. Kalau kamu terluka, Kak Nico tidak akan memaafkan siapa pun—termasuk aku.”
Reina tersenyum samar. “Itu sebabnya kamu harus cepat.”
Gadis itu melangkah pelan ke arah pintu. Ia mencoba memutarnya—terkunci. Napasnya tertahan sesaat, tapi tatapan matanya tajam. Ia sudah punya rencana.
“Dengar, nanti saat aku teriak lari, kamu harus lari secepat yang kamu bisa. Jangan pikirkan aku,” bisiknya pada Nina.
Nina mengangguk cepat. “Oke.”
Reina berdiri tepat di depan pintu, lalu berteriak keras, “Tok-tok! Hei! Aku mau ke toilet! Bisa bukain sebentar?!”
Tak butuh waktu lama. Kunci berputar, dan pintu terbuka. Seorang pria besar dengan pistol di tangan masuk dengan wajah kesal.
“Kamu menyusahkan saja,” geramnya, mengayunkan tangannya keras ke arah Reina. Pukulan itu mengenai pipinya, membuatnya meringis kesakitan—namun tepat saat itu, tangannya menyambar pistol pria itu dengan cepat.
“Apa—”
Dor!
Tembakan meledak, bergema di seluruh rumah.
“Nina! Sekarang!” teriak Reina lantang. Nina berlari tanpa menoleh, air matanya bercucuran di wajahnya.
Suara tembakan itu membuat wanita di ruangan lain menghentikan aktivitasnya. Ia mendecih kesal, menyingkir dari tubuh seorang pria yang masih terbaring di ranjang.
“Sial! Mereka bahkan tidak bisa mengurus satu perempuan sialan itu!” umpatnya marah.
Pria di ranjang hanya bisa memejamkan mata, tubuhnya lemas karena bius. Ia mengumpat pelan, merasa dirinya diperlakukan seperti boneka hidup.
“Nasibmu buruk sekali, sahabat,” suara lain terdengar dari jendela yang terbuka.
Pria itu menoleh dengan lemah, menatap sosok yang baru saja masuk lewat jendela dengan ringan.
“Sialan kamu, Yuda…”
Yuda hanya menyeringai kecil. “Santai, Shaka. Aku datang tepat waktu sebelum wanita gila itu menjadikanmu... korban berikutnya.”