NovelToon NovelToon
Ketika Takdir Menemukan Langit

Ketika Takdir Menemukan Langit

Status: sedang berlangsung
Genre:Crazy Rich/Konglomerat / Cinta pada Pandangan Pertama / CEO / Office Romance
Popularitas:4.9k
Nilai: 5
Nama Author: Lacataya_

Embun Nadhira Putri, 28 tahun, terjebak antara tuntutan pekerjaan dan desakan keluarganya untuk segera menikah. Ketika akhirnya mencoba aplikasi kencan, sebuah kesalahan kecil mengubah arah hidupnya—ia salah menyimpan nomor pria yang ia kenal.

Pesan yang seharusnya untuk orang lain justru terkirim kepada Langit Mahendra Atmaja, pria matang dan dewasa yang tidak pernah ia pikirkan akan ia temui. Yang awalnya salah nomor berubah menjadi percakapan hangat, lalu perlahan menjadi sesuatu yang jauh lebih berarti.

Di tengah tekanan keluarga terutama sang Mama, rutinitas yang melelahkan, dan rasa takut membuka hati, Embun menemukan seseorang yang hadir tanpa diminta.
Dan Langit menemukan seseorang yang membuatnya ingin tinggal lebih lama.

Terkadang takdir tidak datang mengetuk.
Kadang ia tersesat.
Kadang ia salah alamat.

Dan kali ini…
takdir menemukan Langit.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lacataya_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 19 – Makan Siang Istimewa

Setelah selesai mengecek usaha kateringnya pagi itu—mengecek dapur, mencicipi dua masakan baru, dan memastikan semua pesanan siang sudah berangkat—Mama Raina menggantungkan tas kecilnya lalu mengambil tiga paper bag besar berisi makan siang untuk anak-anaknya.

Ia menarik napas puas, tersenyum kecil pada staf yang pamit padanya, kemudian melangkah keluar.

Urutannya sudah jelas di kepalanya,  pertama mengantar ke kantor Lona, karena gedung NUSADUA.com berada paling dekat dengan tempat usaha kateringnya… lalu belok ke arah Wiratama Firm untuk membawa makan siang Bia… baru setelah itu melanjutkan perjalanan ke kantor Embun Global Farmasi, yang arahnya paling jauh dan sekaligus rute terakhir sebelum ia pulang ke rumah.

“Biar sekalian satu jalur,” gumam Mama Raina sambil mengetatkan genggaman pada paper bag besar itu dan berjalan menuju taksi yang sudah ia pesan, langkahnya lincah dan mantap—seolah seluruh misinya hari ini adalah memastikan anak-anaknya makan dengan benar.

*

Pagi sudah lewat jauh ketika Mama Raina keluar dari taksi dengan satu paper bag besar yang aromanya saja sudah bisa bikin satu gedung ikut lapar. Angin membawa sedikit wangi sambal bawang yang ia masak subuh-subuh, dan langkahnya lincah memasuki kantor NUSADUA.com—tempat Lona bekerja.

Begitu resepsionis memberi tahu bahwa ada yang mencari, Lona langsung nongol dari balik pintu kaca dengan gaya tergesa khasnya.

“MAMAAAAA!” serunya sambil setengah lari.

“Mama bawain makan siang, Nak. Kamu jangan bilang tadi cuma minum kopi doang pagi-pagi!” omel Mama Raina sambil mencolek lengan Lona.

“Astaga, Ma… kok mama kayak CCTV? Tau aja…” Lona cengengesan sambil mengambil paper bag.

Mama Raina mendelik. “Lona, muka kamu tuh… kalau belum makan pasti kusut. Tuh kan! Benar, ini bawah mata kamu udah kayak panda.”

“Ya ampun Ma, masa baru jam segini udah diroasting—”

“Kamu kalau kerja jangan lupa istirahat! Jangan cuma ngetik, foto, nulis, lupa makan!” lanjut Mama Raina, semakin panjang.

“MA—” Lona ngakak, menahan lengan Mamanya, “Mama tuh cerewet banget sumpah, aku kalah kalau sudah berhadapan sama mama.”

“Biarin. Semua orang harus belajar makan tepat waktu!”

Dua staf lewat di koridor hanya bisa nyengir melihat dua orang cerewet yang suaranya mirip—riuh tapi hangat.

Setelah memastikan Lona duduk dan mulai membuka bekal untuk melihat isisnya, Mama Raina mengacak rambut anak angkat kesayangannya itu. “Mama pergi dulu ya. Abis ini mau ke kantor Bia.”

“Salam buat Biaaa! Dan Mama jangan lupa besok bawain aku lagi!”

“Enak aja. Kamu pikir Mama tukang katering keliling?”

“Tapi katering yang ini paling enak,” sahut Lona sambil berkedip manis.

“Ihh anak ini—” Mama Raina mencubit pipinya sebelum pergi.

**

Lobby gedung Wiratama Firm tampak elegan, dengan dinding marmer dan rak kaca panjang berisi plakat penghargaan. Mama Raina berhenti sebentar, membaca tulisan-tulisan emas yang berjejer rapi.

“Wahh… firma hukum mahal nih kayaknya,” gumamnya sambil memiringkan kepala, membaca tiap plakat seolah ia sedang menilai anak sekolah.

Seorang resepsionis tersenyum sopan. “Ibunya Mbak Bia, ya? Sudah saya hubungi. Mbak Bia sedang turun.”

“Ooh, makasih, ya Mbak.”

Mama Raina menunggu sambil memeluk paper bag berisi makan siang dan dua box tambahan untuk makan malam.

Lift berbunyi—ding.

Dari depan lobby, seorang pria dewasa berjas dan seorang pemuda tampan baru saja turun dari sebuah mobil mewah. Daddy Dirga dan Angkasa—baru tiba untuk meeting internal. Lalu mereka masuk melalui pintu otomatis. Kebetulan mama raina masih melihat lihat plakat penghargaan yang ada di area lobby jadi tidak melihat kehadiran Daddy Dirga dan Angkasa yang langsung menuju lift eksekutif.

Pada detik yang sama, Bia muncul dari lift karyawan. Dan berpapasan dengan atasannya itu di samping resepsionis.

Langkah Bia cepat dan ringan. Tapi begitu melihat ada atasannya, ia otomatis menunduk hormat.

“Siang, Pak.” suaranya lembut tapi formal.

Angkasa terpaku sepersekian detik.

Bia dalam mode profesional saja sudah sangat cantik… Tapi Bia yang turun dengan tergesa gesa? Dan dengan pipi sedikit memerah karena buru-buru?

Angkasa langsung freeze. Matanya sempat membesar sebelum ia cepat-cepat meratakan ekspresi—kembali cool dan dingin, seperti CPU dipaksa restart.

Astaga… kenapa manis banget sih? Otaknya langsung menampar diri sendiri.

“Siang,” balas Angkasa… agak pelan. Daddy Dirga mengangguk sopan pada Bia.

Namun Bia tidak berlama-lama. Ia langsung menuju perempuan yang menunggunya.

“Mamaa… kangen ih!” Bia memeluk Mama Raina dengan manja—jarang sekali Bia punya ekspresi seperti ini di kantor.

Mama Raina mengelus punggungnya. “Mama juga kangen. Kamu ini ya… udah jarang nginep di rumah Mama. Sibuk mulu.”

“Nanti ya, Ma. Kalau kerjaan Bia sama Lona udah agak senggang, kita nginep. Sekalian masak bareng.”

“NAH itu baru anak Mama!”

Mereka tertawa sambil duduk di sofa dekat resepsionis.

Menunggu lift eksekutif yang lambatnya seperti drama sinetron, Daddy Dirga refleks menoleh.

Perhatiannya tertarik oleh suara tawa lembut Bia dan Mama Raina yang hangat dan hidup.

Ia hanya ingin melihat sebentar… Tapi pandangannya malah beradu dengan mata Mama Raina.

Mama Raina tersenyum ramah, lembut, dengan anggukan kecil. Senyum yang tulus dan tidak dibuat-buat. Daddy Dirga… untuk sepersekian detik… kehilangan karakter dinginnya.

Cantik… dan hangat sekali… Astaga, pikirannya terlalu jujur.

Daddy Dirga sendiri—yang hari itu berdiri di sebelah Angkasa menunggu lift—adalah sosok duda berwibawa yang kisah hidupnya jarang ia ceritakan pada siapapun. Istrinya, perempuan yang ia cintai sejak kuliah dan satu-satunya yang pernah mampu membuatnya tersenyum tanpa alasan, meninggal dunia karena sakit ketika Angkasa berusia tujuh belas tahun. Sejak saat itu, hidup Daddy Dirga berubah menjadi ritme kerja dan tanggung jawab yang tak pernah berhenti.

Ia membesarkan putranya seorang diri di tengah kesibukan memimpin perusahaan, menjaga keluarga kecil mereka agar tetap berdiri tanpa kehilangan arah, meski di dalam dirinya ada ruang kosong yang tidak pernah benar-benar terisi kembali. Perempuan itu bukan sekadar istri, ia adalah rumah, dan kepergiannya membuat Daddy Dirga perlahan menjadikan ketenangan sebagai baju besi—membungkus dirinya dengan sikap dingin, rapi, teratur, dan sulit ditembus siapa pun. Keanggunan tenangnya hari ini adalah warna yang lahir dari kehilangan, dan Angkasa, dalam diamnya, mewarisi hampir seluruhnya.

Ia buru-buru mengeraskan rahang, kembali ke persona Komisaris premium, dingin—11-12 sama Angkasa.

Lift berbunyi.

“Dad, after you.” Angkasa membuka pintu lift untuk ayahnya, meski kepalanya masih sibuk menahan senyum sarkastik sendiri.

Dia tersenyum karena mamanya… Tapi kok lucu banget sih? GILA. Fokus, Sa… fokus! . pikiran liar Angkasa setelah melihat Bia dan Mama Raina.

Angkasa dan Daddy Dirga masuk ke lift. Pintu menutup… Dan dua laki-laki premium itu sama-sama berusaha terlihat cool, padahal tadi sempat terpana oleh dua generasi perempuan berbeda.

*

Di lobby gedung Wiratama Firm, Mama Raina masih bercengkrama dengan Bia. Kemudian ia mengeluarkan makanan. “Nih, makan siang kamu, sama dua box buat makan malam.”

Bia mengerutkan dahi. “Ih, Ma… kok banyak banget?”

“Biar kamu gak pulang malem-malem terus cuma makan roti. Panasin di microwave nanti.”

Bia tersenyum, manis sekali. “Makasih ya, Ma.”

“Iya, Sayang.” Mama Raina mengelus pipinya.

Setelah itu ia berdiri. “Mama ke kantor Embun dulu ya. Mau antar makan siangnya si Embun.”

Bia berdiri ikut menyalami tangan kanan Mama Raina dengan hormat. “Mama hati-hati, ya.”

“Iya, Sayang.”

Mama Raina masuk ke taksi. Bia berdiri di trotoar depan gedung, menunggu sampai taksi itu benar-benar keluar dari area kantor… baru ia kembali masuk.

**

Gedung Global Farmasi menjulang tinggi di depan Mama Raina, dengan Langkah mantap Mama Raina melangkah masuk kedalm gedung dan berdiri di pinggi sebelah kanan resepsionis.

Sedangkan jam menunjukkan pukul dua belas lewat sedikit ketika notifikasi WhatsApp berbunyi dari ponsel Embun.

Mama Raina: Bun, Mama di lobby ya. Mama bawain makan siang.

Embun yang baru keluar dari ruang meeting—dengan kepala masih penuh suara cowok misterius itu—langsung menoleh ke arah jam dinding.

“Oh my God… Mama beneran datang…”

Ia hampir setengah berlari menuju lift. Begitu keluar dari lift ia langsung melewati pintu kaca, udara AC berganti aroma familiar: wangi makanan rumahan dan parfum lembut milik Mama Raina.

Di salah satu sofa lobby, Mama Raina duduk elegan dengan tas kerja kecil dan paper bag di pangkuan, wajahnya berseri-seri seperti sudah memenangkan undian.

Begitu melihat Embun, Mama Raina langsung berdiri.

“Bun! Sini, sayang. Mama bawain ayam woku sama sup jagung favorit kamu. Awas jatuh, tadi dari mobil goyang-goyang.”

Embun tertawa kecil lalu memeluk ibunya.

“Mama… ngapain jauh-jauh nganterin makan siang? Kan bisa aku beli di kantin.”

Mama Raina mengelus punggung anaknya pelan, dengan gaya khas seorang ibu yang menenangkan bayi walaupun bayinya sudah umur dua puluh delapan.

“Biar Mama lihat langsung kamu makan. Mana tau kamu cuma minum kopi doang dari pagi.”

Seperti dugaan—tidak mungkin membantah.

“Mama juga tadi anter makan siang ke Lona sama Bia, kalian ini ya kalau gak diingetin buat makan teratur pasti dehh langsung sakit berjamaah” lanjut Mama Raina

Akhirnya mereka duduk di area lounge kecil pojokan lobby. Mama Raina membuka bekal satu per satu, menyusunnya rapi di meja kecil seperti sedang membuka hidangan di restoran hotel.

Embun makan pelan, sementara Mama Raina duduk di depannya… menatap. Tanpa berkedip, tanpa jeda. Seperti juri lomba makan sehat nasional.

“Mama… jangan ditatap gitu dong…” Embun geli.

Mama Raina tersenyum manis. “Mama suka lihat kamu makan. Kamu cantik kalau makan teratur.”

Embun mengetuk meja, malu-malu tapi hangat. Di tengah-tengah kesibukan, perhatian ibunya seperti oase kecil.

Embun baru saja menelan suapan terakhir ketika Mama Raina menutup kotak makan dengan hati-hati, seolah itu benda porselen yang mudah pecah. Wajahnya tampak puas—puas melihat anaknya makan, puas sudah memastikan gizi Embun masuk dengan benar, puas menjadi ibu sepenuhnya siang itu.

“Sudah kenyang?” tanya Mama Raina lembut.

“Kenyang banget,” jawab Embun. “Thanks, Ma.”

Mama Raina tersenyum sambil merapikan rambut anaknya yang sedikit berantakan. Gerakan refleks seorang ibu yang bahkan tidak bisa dihindari meski anaknya sudah dewasa. Embun hanya menggeleng kecil sambil menahan tawa.

“Ma…” ujar Embun tiba-tiba, nada suaranya berubah nakal. Ia bersandar sedikit ke kursi, memasang ekspresi polos yang mencurigakan.

“Kalo Mama capek terus ngurusin catering, Mama cari suami baru aja, gih. Yang kaya raya sekalian, biar Mama tinggal jadi queen. Pensiun muda. Liburan keliling dunia. Nggak usah ngurus orderan lagi.”

Mama Raina membelalakkan mata, tapi hanya sebentar. Karena detik berikutnya—

JLEP. Jari telunjuknya mendarat tepat di hidung Embun.

“HEH!” seru Mama Raina sambil menjawil hidung Embun gemas. “Apaan sih! Mama nggak butuh suami. Mama cuma butuh kamu makan teratur sama pulang nggak kemaleman, itu aja.”

Embun langsung tergelak. “Aduuuh, Ma! Sakit tau! Jahat banget single parent militant banget Mama yang satu ini.”

Mama Raina mencubit pipi Embun kali ini, lebih pelan, lebih manja. “Cerewet. Jangan dorong-dorong Mama ke pelukan laki-laki sembarangan.”

“Makanya pilih yang kaya raya, Ma. Minimal ada return on investment,” Embun ngeles sambil terkekeh.

“Embun!” Mama Raina memukul pelan lengan anaknya, tapi tawanya pecah. “Dasar mulut jahil.”

Momen itu hangat—sangat hangat hingga membuat lobby kantor terasa kecil, seperti ruang keluarga di rumah mereka.

Ketika taksi sudah berhenti di depan, Embun memeluk ibunya erat, sedikit lebih lama dari biasanya.

“Jangan pulang malam ya, Bun. Jangan capek.” Bisikan Mama Raina lembut, khawatir seperti selalu.

“Iya, Ma. Mama juga jangan capek. Serahin semuanya ke Bi Arum. Mama tinggal leha-leha di rumah sambil nonton sinetron.”

Mama Raina menggeleng tapi tersenyum. “Nanti Mama coba, deh.”

Embun membantu ibunya masuk ke taksi, memegangi pintu sampai benar-benar tertutup.

Ia berdiri di depan gedung, menunggu sampai taksi itu menyusuri jalan perlahan…

berbelok di tikungan… dan akhirnya menghilang.

Baru kemudian Embun menarik napas panjang, merapikan rambut, dan kembali masuk ke dalam gedung—membawa sisa hangat pelukan ibunya bersama… dan sedikit deg-degan akibat notifikasi yang belum juga muncul dari ponselnya.

“Tumben banget sepi, biasanya jam segini udah nanya nanya absurd?” ucap Embun ketika keluar dari lift yang mengantarkannya ke lantai delapan.

**

tbc

1
Bia_
Pokoknya Lanjut lanjut lanjut
Arul Gemoy
ini kapan ya mbun sama langit bucin2an😍😍
Bia_
ferdi lu bener bener ya,
Al_yaa
greget banget sama bab ini, gak sabar nunggu lanjutannya, updatenya bisa langsung 5 bab gak thor,penasaran bangettt
Al_yaa
cepatt cari orang bodoh itu papiiii
Al_yaa
cefatt rekrut diaa langitttt
KaosKaki
rasakno koe fer
KaosKaki
boleh gak berkata kasar buat di Ferdi /Panic//Panic/
Bubuuu
ceritanya bagus banget 👍👍😍😍
Al_yaa
yg buat virus perempuan, diremehin pulak tapi bikin satu gedung gonjang ganjing /Joyful/
aRa_
hebat banget embun, langsung ulti si Ferdi pake virus biar kicep
aRa_
bajigur banget si Ferdi /Panic/
aRa_
baru telponan aja udh deg degan ya embun
Al_yaa
ferdi, lo syibal banget yakk/Angry/
Al_yaa
pandangan pertama awal aku berjumpa /Hey//Hey/
Al_yaa
one step closer langit, berawal dari callan lama lama video callan dehhh
Bia_
akhirnya akhirnya /Scream/
Bia_
yaloh mereka udah Callan aja
KaosKaki
huuwwaaa akhirnya mereka ketemu tapi gak kenal /Sob//Sob//Sob/
KaosKaki
ada apa inih, kenapa bapaknya angkasa nongol. tor ada apa ini coba jelaskan
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!