Saat tragedi mengambil jiwanya, Syifa menemukan dirinya yang masuk ke dunia novel sebagai seorang antagonis yang secara obsesif mengejar protagonist pria bahkan berencana untuk menghancurkan hubungannya dengan sang kekasih.
Pada akhirnya dia akan mati terbunuh karna alur itu, oleh sebab itu untuk menghindarinya, dia selalu menghindari pria itu.
Namun bagaimana jika tiba-tiba alurnya berubah, pria itu malah memperhatikannya..
"Tidak! ini tidak ada dalam plot!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aplolyn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19
Beberapa minggu bertengkar dengan ibunya sudah cukup untuk membuat Wenda mengambil keputusan untuk pulang ke Indonesia.
Karir? Apa itu karir? Wenda sudah tidak peduli dengan ambisinya untuk mengejar itu semua, niatnya pergi ke Amerika memang untuk mendapatkan masa depan yang lebih baik, namun tindakan ibunya yang seolah tak memberikan ruang untuknya bebas malah membuatnya makin tersiksa.
'Setidaknya dulu aku punya ayah dan Kayden yang selalu mendukungku dalam segala hal..'
Tak bisa dipungkiri, meski Wenda yang memutuskan Kayden sepihak dan memutuskan semua kontak dari pria itu, namun hatinya masih menyimpan semua memori tentangnya.
Ia bangkit dari tempat tidur, mondar-mandir gelisah. Sudah dua tahun hidupnya penuh tekanan dari ibunya, dan begitu pelatihan selesai, Wenda berharap kebebasan, bukan tekanan.
Ia menggigit bibir, lalu menatap koper besar di pojok kamar yang sudah disiapkan dengan baik.
Sebenarnya ia memang berniat pulang dalam waktu dekat.
Ia menarik koper, meraih paspor, dan menekan nomor ayahnya di Indonesia.
“Pa? Aku pulang. Hari ini.”
***
INDONESIA – BANDARA SOEKARNO HATTA
Pintu kedatangan internasional terbuka.
Wenda melangkah keluar dengan hoodie hitam dan kacamata besar. Para penjemput lewat begitu saja tanpa memperhatikannya.
Ia menghela napas panjang.
“Aku pulang, Kay..”
Ia menarik koper menuju pintu luar dimana pandangannya langsung mendapati sang ayah yang berdiri tidak jauh dari pintu kedatangan, tangan dimasukkan ke saku celana, tubuh agak bungkuk karena lelah menunggu. Rambutnya yang kini memutih di sisi membuat hati Wenda mencelos.
“Pa..”
Begitu suara itu keluar, ayahnya menoleh.
Seolah seluruh penatnya hilang, pria itu langsung tersenyum, senyum hangat yang jadi hal paling dirindukan Wenda selama dua tahun terakhir.
“Wen.”
Hanya satu kata, tapi cukup membuat matanya panas.
Wenda mendekat cepat, lalu memeluk ayahnya erat, menenggelamkan wajah di dada yang selalu membuatnya merasa aman.
“Aku pulang, Pa..” bisiknya.
“Ayah tau,” jawab ayahnya pelan sambil mengusap kepala putrinya. “Kamu kelihatan capek banget.”
Wenda menghela napas panjang, berusaha tidak menangis.
“Aku cuma.. mau pulang.”
Ayahnya menepuk punggungnya sekali lagi sebelum melepas pelan. “Yuk. Kita ke mobil dulu. Kalau kamu lapar, kita berhenti makan.”
Wenda menggeleng. “Aku cuma mau tidur.”
Ayahnya mengangguk mengerti dan mengambil alih koper besarnya.
Mereka berjalan keluar bandara tanpa banyak bicara tapi justru itu yang Wenda butuhkan. Diam yang tidak menghakimi.
Mobil mulai melaju meninggalkan bandara, dan Wenda menyandarkan kepala ke kursi, memejamkan mata. Tapi ketenangan hanya bertahan beberapa detik sebelum bayangan wajah seseorang muncul di kepalanya.
Kayden.
Cara ia tersenyum.
Cara ia menatap.
Cara ia selalu mengalah untuknya..
sebelum Wenda menghancurkan semuanya.
Wenda membuka mata, menatap pemandangan Jakarta dari balik jendela mobil.
“Pa..”
“Iya?”
“Kayden.. dia masih di kampus yang sama?”
Ayahnya mengernyit sedikit sebelum menjawab. “Masih. Kamu kenapa nanya?”
Tidak ada alasan logis.
Tidak ada jawaban sopan.
Yang ada hanya hati yang masih belum selesai dengan masa lalunya.
Wenda memalingkan wajah, menatap jalanan yang lewat seperti kilatan cahaya.
“Gak apa-apa. Cuma tanya.”
Ayahnya tidak memaksa dan Wenda bersyukur untuk itu.
Bagitu sampai dirumah, kamar lamanya tetap sama seperti dua tahun lalu.
Cat dinding biru muda.
Poster lama.
Meja belajar yang masih tersusun rapi.
Ayahnya memang tidak pernah menyentuh apa pun.
Wenda duduk di kasur, meraih bantal dan memeluknya.
Sunyi.
Sunyi yang justru membuat isi kepalanya semakin bising.
Ia mengambil ponselnya, membuka galeri.
Foto terakhir dengan Kayden muncul otomatis karena sudah bertahun-tahun tidak digeser:
Wenda tersenyum cerah.
Kayden memeluknya dari belakang dengan senyum hangat yang jarang ditunjukkannya pada orang lain.
Hatinya mencelos.
“Maaf, Kay.." gumamnya lirih.
Ia ingin memblok ingatan itu, tapi yang muncul justru suara ibunya di kepala:
“Kamu harus lebih dari dia. Jangan buang waktu dengan orang yang membuatmu stag..”
Wenda menghela napas keras, menutup wajah dengan kedua tangan.
Ia pulang karena tidak tahan lagi.
Karena ia butuh ayahnya.
Karena ia tidak lagi kuat untuk menjadi putri sempurna yang ibunya inginkan.
Tapi ada satu alasan lagi yang tidak berani ia akui keras-keras:
Ia ingin melihat Kayden.
Meskipun itu berarti membuka luka lama.
***
Pagi berikutnya,
Suara ponsel berdering membangunkan Wenda.
Ia meraih ponsel dengan mata setengah tertutup.
Nomor tidak dikenal.
Wenda memijat pelipisnya. “Siapa lagi sih pagi-pagi gini..”
Ia menggeser layar.
“Halo?”
“Wenda?” Suara laki-laki di seberang terdengar ragu. “Ini Bram.”
Wenda butuh beberapa detik untuk mengingat siapa Bram.
Bram.
Teman satu angkatan Kayden.
Yang sering nongkrong bareng mereka dulu.
“Oh.. iya. Ada apa?”
“Lo udah balik ke Indonesia?"
Wenda langsung duduk tegak, tidak tahu mengapa bisa kabar kedatangannya diketahui begitu cepat.
“Hmm.. Kenapa?”
Ada jeda singkat.
“Kayden ribut sama Syifa, tapi kelihatannya kayak bukan ribut"
Wenda bingung, "Maksudnya apa sih? mereka berdua, kan memang sudah biasa bertengkar..," Mendengar Bram menyebut Syifa otomatis membuat dirinya mengingat bagaimana watak Syifa yang selalu ingin menggantikan posisinya.
Dan ketika Wenda meninggalkan Kayden, dia percaya bahwa Kayden tidak akan menyukai Syifa karna memang begitulah Kayden.
"Lo masih suka, kan sama Kayden?," tanya Bram tanpa basa-basi, sejak kenal dengan Kayden dan sejak Kayden berpacaran dengan Wenda, Bram tahu bahwa Wenda tidak serius dengan perkataan kejamnya ketika memutuskan Kayden.
“Gue cuma mikir lo harus tau. Karna Kayden kelihatannya mulai tertarik sama Syifa, cara dia menanggapi Syifa jadi beda.."
Napas Wenda terhenti.
Wenda memejamkan mata keras.
'Gak! Gak mungkin Kayden suka sama dia?!"
“Bram,” suara Wenda berubah dingin, “posisi Kayden sekarang dimana?”