NovelToon NovelToon
Billioraire'S Deal: ALUNALA

Billioraire'S Deal: ALUNALA

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Cinta Terlarang / Pernikahan Kilat / Crazy Rich/Konglomerat / Romansa / Dark Romance
Popularitas:965
Nilai: 5
Nama Author: Marsshella

Pernikahan mereka bukan karena cinta, tapi karena ultimatum. Namun malam pertama membuka rahasia yang tak pernah mereka duga—bahwa gairah bisa menyalakan bara yang tak bisa padam.

Alaric Alviero—dingin, arogan, pewaris sah kekaisaran bisnis yang seluruh dunia takuti—dipaksa menikah untuk mempertahankan tahtanya. Syaratnya? Istri dalam 7 hari.

Dan pilihannya jatuh pada wanita paling tak terduga: Aluna Valtieri, aktris kontroversial dengan tubuh menawan dan lidah setajam silet yang terkena skandal pembunuhan sang mantan.

Setiap sentuhan adalah medan perang.
Setiap tatapan adalah tantangan.
Dan setiap malam menjadi pelarian dari aturan yang mereka buat sendiri.

Tapi apa jadinya jika yang awalnya hanya urusan tubuh, mulai merasuk ke hati?

Hanya hati Aluna saja karena hati Alaric hanya untuk adik sepupunya, Renzo Alverio.

Bisakah Aluna mendapatkan hati Alaric atau malah jijik dengan pria itu?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Marsshella, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Tawa Indah CEO Muda yang Dingin

Pintu apartemen terbuka.

Lampu ruang tamu menyala lembut, memberikan nuansa hangat meski di luar langit mulai gelap. Alaric masuk lebih dulu, menggantung jasnya di gantungan dekat pintu, lalu melepaskan jam tangannya dan menaruhnya di meja bar dapur.

Aluna masuk beberapa detik kemudian. Langkahnya lambat. Sepatunya dilepas tanpa suara, lalu ia berdiri memandangi punggung Alaric yang membelakangi.

“Duduk dulu,” bisik Aluna.

Alaric menoleh pelan. Aluna tidak biasanya bicara selembut itu. Tapi kali ini ada sesuatu di sorot matanya. Seperti ingin memanjakan.

Alaric menuruti. Duduk di bar stool. Diam. Tidak bertanya.

Aluna melangkah mendekat. Tangannya pelan membuka kancing kemeja Alaric satu per satu. Suara napas mereka berdua makin terdengar di ruang yang sepi.

“Pulang kerja itu harus disambut,” bisik Aluna, setengah menggoda. Ia ingat dimarahi Alaric karena duduk diam nonton drama, tidak menyambutnya.

Alaric memejamkan mata. Jemari Aluna terasa dingin di kulitnya yang masih panas karena perjalanan. Saat kemeja itu terlepas, Aluna menyampirkannya ke punggung kursi, lalu menyentuh pelan bahu Alaric, menekan ringan dengan ibu jarinya.

“Capek?” tanya Aluna pelan.

“Tadi di mobil udah dibilang,” balas Alaric, suara serak. “Capeknya hilang kalau disambut begini.”

Mereka tertawa kecil.

Aluna lalu berjalan memutar, berdiri tepat di depan Alaric. Tangannya naik ke leher pria itu, menariknya mendekat dan mencium dahinya pelan. Bukan bibir. Bukan pipi. Tapi dahi—tanda perhatian paling intim yang jarang dilakukan.

Alaric menatap Aluna. Wajah itu masih lelah, tapi lebih hidup daripada saat tadi di kampus. Matanya tidak berkedip.

“Kamu sayang aku?” bisik Alaric, setengah bercanda, tapi nadanya mengandung ketulusan.

Aluna menatapnya dalam. Tangannya mengusap lembut garis rahang Alaric, lalu bibirnya mendekat. Pelan. Sangat pelan.

“Mungkin,” bisiknya. “Atau... mungkin aku cuma menikmati peran istri sempurna.”

Alaric tersenyum miring. Tangannya naik ke pinggang Aluna dan menariknya mendekat.

“Kalau kamu peran, aku sutradaranya.”

Aluna menghela napas ringan di leher Alaric, membuat pria itu mencengkeram pinggangnya sedikit lebih erat. Lalu mereka tertawa kecil lagi.

“Mau mandi dulu atau kita lanjut akting ini di kamar?”

“Kamu pilih,” jawab Alaric. “Tapi jangan pakai sofa kutukan.”

Aluna tertawa, menarik tangan Alaric, dan mereka melangkah ke kamar, perlahan. Tapi setiap langkah terasa seperti tarikan kuat antar-magnet yang tak bisa dipisah.

***

Udara dingin dari AC menyapu lembut tirai, menciptakan gerakan pelan di sudut ruangan. Suara gemericik air dari kamar mandi akhirnya berhenti.

Aluna keluar lebih dulu, mengenakan piyama tipis berwarna pastel yang longgar, rambutnya masih basah, menjuntai sampai bahu.

Ia melirik ke arah ranjang. Alaric duduk di tepi tempat tidur dengan kaos abu dan celana tidur. Kepalanya sedikit menunduk, seperti sedang tenggelam dalam pikiran. Tapi saat Aluna melangkah lebih dekat, Alaric menengadah—mata mereka bertemu.

“Sudah mandi?” tanya Alaric, suaranya dalam tapi tenang.

Aluna hanya mengangguk, mendekat pelan, lalu duduk disisi tempat tidur. Ia meraih handuk kecil, menyeka pelan sisa air dari rambutnya. Gerakannya lambat. Rapi. Tapi jelas gugup.

“Kamu kenapa?” bisik Aluna.

Alaric tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap wajah Aluna lekat-lekat. Jemarinya naik menyentuh sisi pipi gadis itu, menelusuri pelan hingga ke tengkuknya, seperti ingin memastikan Aluna benar-benar ada di hadapannya.

“Kamu cantik,” gumamnya rendah.

Aluna menahan napas. Ia hampir tidak pernah mendengar pujian seperti itu dari Alaric—setidaknya bukan saat suasana sedang setenang ini. Lalu ia tersenyum kecil.

“Kamu bilang gitu karena aku habis mandi?”

Alaric ikut tersenyum. “Aku bilang gitu karena itu benar.”

Perlahan, ia mencium pelipis Aluna. Lalu turun ke pipi. Lalu ke rahang. Aluna tidak bergerak, bahkan matanya tertutup sejenak, menikmati setiap sentuhan lembut dari suaminya. Bibir mereka akhirnya bertemu dalam ciuman ringan yang tidak terburu-buru.

Hangat. Lama. Pelan.

Setelah beberapa detik, Aluna menarik napas pelan, lalu bersandar ke dada Alaric. Pria itu memeluknya dari depan. Mereka tidak bicara. Hanya berpelukan dalam diam. Seolah semua konflik hari-hari sebelumnya hilang dalam aroma tubuh hangat dan napas yang sinkron.

Alaric mengangkat Aluna pelan, mendudukkannya di pangkuan. Mereka saling memandang dalam jarak sangat dekat.

“Gimana kalau kita mulai dari awal?” bisik Aluna.

“Kita, ‘kan, belum selesai dari awal yang pertama,” sahut Alaric. “Tapi aku nggak keberatan kalau kita perbaiki sekarang.”

Lampu kamar diredupkan. Di bawah cahaya samar itu, mereka larut dalam versi mereka sendiri soal cinta, rindu, dan penerimaan.

***

Pagi menyusup pelan di balik tirai kamar.

Cahaya keemasan menari pelan di dinding, menyentuh dua tubuh yang masih terbungkus dalam kehangatan sisa malam. Di ranjang itu, Aluna terlelap dalam pelukan Alaric—wajahnya damai, napasnya tenang. Tangannya masih memeluk dada suaminya, seolah tak ingin dilepaskan.

Alaric membuka mata perlahan. Kepalanya terasa penuh. Bukan karena penyesalan, tapi karena kebenaran yang terus memukul kesadarannya: ia masih belum bisa sepenuhnya mencintai Aluna.

Ia mencoba bangkit perlahan, namun gerakan kecil itu cukup membuat Aluna membuka mata. "Jangan pergi dulu," gumamnya, suaranya serak dan lembut. Ia menarik lengan Alaric agar tetap berbaring.

Alaric terdiam. Napasnya berat. Tatapannya jatuh pada wajah Aluna yang masih tampak lelah, namun tersenyum.

"Aku tahu, aku bukan yang pertama bagimu dalam banyak hal," ujar Aluna sambil menelusuri garis rahang Alaric dengan ujung jari. "Tapi, semalam, aku berharap aku bisa jadi yang pertama membuatmu ragu."

Alaric menutup mata, mencoba meredam perasaan yang mulai tumbuh—entah apa itu. Ia menggeleng kecil. "Udah aku coba, Al. Tapi masih belum bisa. Masih ada Renzo... dan itu belum selesai."

Wajah Aluna tidak berubah. Ia seperti sudah menduga. Namun matanya berkaca-kaca. Ia tak menangis, hanya mengangguk. "Aku tahu. Tapi aku nggak akan nyerah, Al. Suatu hari, aku ingin jadi satu-satunya alasan kamu pulang."

Alaric memandangnya lama. Lalu, tanpa banyak kata, ia membenamkan wajahnya di rambut Aluna. Tak ada kecupan. Tak ada janji manis. Hanya diam yang dalam, dan satu pelukan yang tak ingin lekas berakhir.

***

Dapur apartemen itu mulai terasa hidup.

Bau nasi hangat dan tumisan dari lauk kiriman Callindra mulai memenuhi udara. Alaric berdiri di depan kompor dengan rambut sedikit berantakan dan lengan baju digulung. Satu tangan memegang spatula, satu lagi membuka tutup kotak lauk.

Aluna duduk di kursi bar dapur, mengenakan kaos longgar dan celana pendek, pipinya bersandar di tangan, memperhatikan suaminya.

“Minyak jangan terlalu panas, nanti bumbu gosong,” gumam Alaric, tanpa menoleh. Ia sadar diperhatikan. Jadi, ia beri sesi kursus masak dadakan.

Aluna tersenyum kecil. “Aku kira kamu cuma bisa tandatangan kontrak dan ngomel di meeting, ternyata bisa masak juga.”

Alaric mencibir, menoleh sebentar. “Masak doang. Gak pakai perasaan.”

Aluna menahan senyum. “Boleh aku bantu?”

“Kalau kamu bantu, bisa-bisa lauknya gosong! Duduk aja!”

Ia nurut. Tapi matanya terus memperhatikan gerak tangan Alaric—bagaimana pria itu menata sayur ke piring, menyendok nasi, bahkan menuang sambal dari botol ke mangkuk kecil. Setiap detailnya ia simpan diam-diam di kepala.

“Kalau aku yang masak," ujar Aluna kemudian, “paling kamu cuma makan mie instan dan telur ceplok.”

Alaric menyahut dengan nada ringan. “Mie instan juga enak. Asal kamu yang masak.”

Aluna terdiam. Itu bukan kalimat romantis tapi juga bukan sarkasme. Hanya satu kalimat datar, namun entah kenapa membuat dadanya hangat.

“Kebangetan, ‘kan, kalo masak mie instan rasanya kaya telor garam waktu itu,” sindir Alaric membuat Aluna memanyunkan bibirnya.

Saat Alaric selesai, ia meletakkan dua piring di atas meja makan. Lauknya tidak istimewa, hanya masakan rumahan dari Callindra. Tapi momen itu terasa utuh. Nyata. Bukan akting. Bukan pencitraan. Hanya dua manusia yang sedang mencoba mengisi ruang kosong di antara mereka.

Aluna duduk dan mengambil sendok, lalu menatap Alaric.

"Aku boleh nanya satu hal?"

Alaric hanya mengangkat alis. 

"Kalau aku mulai belajar masak, kamu bakal mau makan masakan aku?"

Alaric memandangi wajah Aluna. Lalu menjawab pelan, “selama gak buat aku keracunan, aku makan.”

Aluna tertawa kecil. "Deal."

Untuk pertama kalinya dalam beberapa waktu, mereka makan bersama tanpa topeng. Tanpa drama. Hanya sarapan, dan dua orang yang masih belajar jadi pasangan.

Masih di apartemen. Sisa sarapan belum habis saat Aluna mengangkat smartphone. Notifikasi dari Surya masuk panjang-panjang, khas manajernya itu kalau sedang gugup.

Surya—Manager: Al, lo fix diminta main drama barunya sutradara Anggara. Genre-nya... ya lo tahu. Judul sementaranya ‘Meraih Hati Psikopat Hyper’. Karakter lo si mahasiswi polos, pacarnya si psikopat. Dia psikopat misterius tapi hyper kalo urusan pacarnya. Katanya Alaric udah setuju.

Aluna mendongak perlahan. Pandangannya menancap tajam ke arah suaminya yang sedang santai makan sambil scroll-scroll layar smartphone.

“Alaric Alverio!” serunya nyaring.

Alaric mengangkat alis santai, tidak menoleh. “Hmm?”

“Jadi bener kamu yang nyuruh aku main drama dewasa lagi?!”

Alaric menyuap potongan ayam ke mulut. “Bukan dewasa. Lebih tepatnya... genre intens dengan peluang rating tinggi. Psikopat gila itu trending lho akhir-akhir ini.”

“Alaric!”

Alaric terkekeh, bangkit dari kursi. “Hei, kalau kamu bintang utama, otomatis harga kamu naik, dan agensi kita untung. Kamu juga senang, ‘kan, kalau akun-akun pujian fans nambah?”

Aluna bangkit, mengejar dengan ekspresi tak terima. "Suami jenis apa yang malah nyuruh istrinya dipeluk, dicium, dilempar ke dinding, dan—dan—dibelai psikopat di layar kaca?!"

"Psikopat itu cuma akting, sayang. Lagipula kamu, ‘kan, aktris profesional."

“Aku juga istri kamu, tahu!”

Alaric tertawa sambil terus mundur menghindari Aluna. Sampai akhirnya—

‘Brugh!’

Ia tersandung karpet dan jatuh ke sofa, tepat saat Aluna ikut menubruknya karena terlalu semangat mengejar. Tubuh mereka terjatuh berhimpitan, napasnya bertabrakan, Aluna di atas Alaric.

Beberapa detik hening. Aluna bertumpu di dada Alaric yang masih hangat karena baru selesai makan. Wajah mereka sangat dekat.

“Kalau kamu gak hati-hati," bisik Alaric dengan senyum licik, “aku bisa kirim kamu ke drama thriller berikutnya. Jadi peran korban terus—tapi bukan di TV. Melainkan di rumah sendiri.”

Aluna memukul pelan dada Alaric, pipinya mulai memerah. “Dasar suami gila!”

“Tapi gaji gede, ‘kan?”

Aluna terdiam. Lalu meringis kecil. “…Iya sih hehe. ALARIC!”

Untuk pertama kalinya, Aluna bisa melihat sosok CEO muda yang dingin itu tertawa bebas. Seolah beban di pundaknya terangkat semua.

1
Soraya
mampir thor
Marsshella: makasi udah mampir Kak ❤️
up tiap hari stay tune ya 🥰
total 1 replies
Zakia Ulfa
ceritanya bagus cuman sayang belum tamat, dan aku ini g sabaran buat nungguguin bab di up. /Facepalm//Facepalm//Facepalm//Facepalm//Facepalm/
Marsshella: makasi udah mampir, Kak ❤️
Up tiap hari udah aku alarm 😂
total 1 replies
Desi Oktafiani
Thor, aku udah nggak sabar nunggu next chapter.
Marsshella: ditunggu ya, update tiap hari 👍
total 1 replies
Dear_Dream
🤩Kisah cinta dalam cerita ini sangat menakjubkan, membuatku jatuh cinta dengan karakter utama.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!