NovelToon NovelToon
Amor

Amor

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintamanis / Keluarga / Misteri Kasus yang Tak Terpecahkan / Bullying dan Balas Dendam / Balas dendam pengganti / Dark Romance
Popularitas:1.1k
Nilai: 5
Nama Author: Jonjuwi

Asila Ayu Tahara. Perempuan yang tiba-tiba dituduh membunuh keluarganya, kata penyidik ini adalah perbuatan dendam ia sendiri karna sering di kucilkan oleh keluarganya . Apa benar? Ikut Hara mencari tahu siapa sih yang bunuh keluarga nya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Jonjuwi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Kejujuran

Hara kembali menjadi tersangka dalam kematian Pamannya sendiri, kini ia melamun di bawah sinar redup ruangan yang tak asing lagi bagi dirinya.

Sudah beberapa petugas mengintrogasinya namun Hakim tak kunjung mendapat giliran, rupanya lelaki tersebut tengah sibuk di tempat forensik menunggu beberapa laporan terkait pisau yang Hara pegang saat di hutan tadi.

“Kacau Kim.”

Seorang dokter laki-laki ahli forensik keluar dari ruangan yang Hakim tunggu sejak tadi sambil menyodorkan plastik bening berisi pisau kecil.

“Apanya?” tanya Kala yang mendekat ke arah dokter tersebut

“Ini pisau kek nya bukan cuma Hara aja yang pake” lanjut sang dokter

Dokter forensik jelas tahu perihal Hara yang bolak-balik menjadi tersangka dalam beberapa kasus belakangan ini.

“Yang jelas ini sidik jari siapa?” tanya Hakim

“Kim, perlu waktu buat gue meriksa ini. Untuk sekarang gue urus jenazah Pamannya Hara dulu.”

“Gak bisa! Lo harus dapet sidik jari siapa aja di pisau ini, sekarang juga!” Hakim berkata dengan sedikit penekanan 

“Kim, Kim, tenang dulu. Kasian Gio dia lagi tugas sendiri hari ini, biar dia autopsi jenazah Pamannya Hara dulu baru urus pisau ini lagi.” ucap Kala menenangkan

“Harus sekarang juga Kal! Hara harus bebas sekarang juga!” kini Hakim malah menyulut ke arah Kala

“GUE TAU! GUE TAU KIM! KITA SEMUA TAU INI GAK MASUK AKAL, GAK MUNGKIN HARA YANG BUNUH DAN GUE TAU, GUE PAHAM!” kali ini Kala ikut tersulut emosi yang berujung mendorong bahu Hakim

“TAPI LO HARUS TENANG! SADAR KIM, SADAR!”

Hakim menahan sesak nya hingga menghembuskannya dengan kasar, ia memegang dadanya yang terasa sakit lalu mengeluarkan tangis dan air matanya.

“Kal, dada gue sakit banget hikss…” Hakim menangis kali ini mendudukkan dirinya di atas lantai yang dingin

Kala menggapai Hakim membantunya agar berdiri namun sia-sia, Hakim tetap terduduk sambil menangis.

“Kim, lo suka ya sama Hara?” tanya Kala

Hakim menangis sambil terus mengelus dadanya mengabaikan pertanyaan Kala yang berlalu begitu saja.

“Kim, gue izin mau autopsi jenazah Pamannya Hara dulu.” 

Dokter itu meninggalkan Kala dan Hakim masih terduduk.

“Lo bener-bener sesuka itu ya sama Hara?”

Pertanyaan Kala terulang ketika mereka sudah ada di mobil untuk kembali menuju kantor polisi, tempat dimana Hara sedang ditahan.

Hakim kembali terdiam ia terus memandangi pisau dalam plastik bening di genggamannya.

“Kalo ternyata emang Hara pelakunya gimana?” tanya Kala

“Ya, gue penjarain lah.” jawab Hakim santai

Kala menoleh sebentar lalu kembali fokus pada jalanannya.

“Halo, Bu?” suara Hakim lirih memanggil seseorang di seberang telepon sana

“Iya? Ada apa nak?”

“Hakim boleh minta tolong?” 

“Boleh dong, kenapa? Ada yang ketinggalan? Ibu suruh Ayah anterin ya?”

Hakim tak menjawab, ia malah menggigit bibir bawahnya sembari menahan tangisan

“Hakim minta tolong bawain makan untuk Hakim, Hara, Kala dan Alves kita butuh makanan Bu. Bisa?” ucapnya dengan suara bergetar

Kala menoleh ke arah sampingnya ia paham betul bahwa yang paling membutuhkan makanan itu mungkin Hara.

Setelahnya Hakim mematikan sambungan teleponnya lalu mengusap air mata.

“Hara mengakui semua nya Kim.” 

Itu suara Alves, setelah melihat Hakim sampai di ruang kerjanya.

“Apa katanya?” tanya Hakim 

“Dia bunuh Pamannya dengan alasan dendam.”

Hakim melihat ke arah Alves

“Dendam?”

“Ternyata Pamannya adalah orang yang ngebunuh semua keluarganya.”

Hakim dan Kala sontak terkejut dengan penuturan Alves barusan.

“Gimana ceritanya?” kali ini Kala lebih serius

“Hara bilang kalo dia tau bahwa Pamannya yang ngebunuh keluarganya dari korek yang Hakim tunjukkin ke dia” Alves membalas tatapan Hakim

“Terus soal seragam?” tanya Hakim

“Dia bilang itu akal-akalan Pamannya aja biar kita terkecoh” 

“Ngga, ngga, ini tetep gak masuk akal.” ucap Hakim

Hakim berjalan menuju ruangan interogasi dengan berlari lalu menutup dan mengunci pintu tersebut.

Ia mendudukkan diri di hadapan Hara yang sama sekali tak terusik dengan kedatangannya, lengannya merogoh handphone di saku celananya.

“Ves, matiin kamera, cctv dan mic ruang ini. Dan jangan sampe ada yang ganggu selagi gue belum selesai, suruh Kala jaga di depan pintu ruangan ini.”

Setelah menelpon Alves, Hakim melihat ke arah cctv, kamera dan mic untuk memastikan semuanya sudah aman.

“Bilang sama saya, apa yang sebenernya terjadi?”

“Aku bunuh Pamanku.”

“Bilang yang sebenernya Hara!”

“Aku bunuh Pamanku Kak.”

“Gak mungkin.” Hakim mendecih lalu menyandarkan tubuhnya

Hara baru berani mengangkat wajahnya dan menatap Hakim dengan tatapan sendunya.

“Hara?”

Hara tak menjawab ia malah terus menatap Hakim dengan lekat

“Dimana Dewi?” 

Lengan Hara yang sedari tadi terbuka diatas meja itu kini tiba-tiba bergerak mengepal dengan getaran yang gelisah. Hakim menatapnya dengan seksama, Hara tak bisa berbohong kepadanya.

“Di pisau ini, ada sidik jari milik Dewi.”

Hakim berbohong sambil menaruh plastik itu diatas meja 

“Kepolisian gak bisa dibohongi Hara, dan saya pun tak gampang dibohongi.”

Hara menelan ludahnya yang entah mengapa kali ini terasa sulit sekali

“Hara, jujur sama saya.”

Hara menunduk sambil memainkan jarinya di bawah meja

“Menurut Kakak, cinta dan kasih sayang itu seperti apa?”

Hakim malah mengerutkan keningnya, ia bingung kenapa tiba-tiba obrolan mereka sampai disini.

“Apa pengorbanan juga bentuk cinta dan kasih sayang?” lanjut Hara

Hakim mengangguk ragu, meskipun Hara yang tengah menunduk itu ia tahu gerakan Hakim.

“Menjaga, itu juga bentuk cinta dan kasih sayangkan Kak?” 

Hara kembali menaikkan wajahnya untuk menatap Hakim yang masih kebingungan.

“Bahasa cinta dan kasih sayang itu selalu merujuk pada segala kebaikan, kalo menurut kamu pengorbanan dan menjaga adalah bahasa cinta, itu juga benar. Tapi dalam konteks apa? Apakah baik? Atau malah sebaliknya?. Kamu tidak boleh terkecoh antara cinta dan obsesi.”

Hakim berkata sambil menatap binar mata Hara yang penuh keputusasaannya.

“Bahasa tersebut memang sangat mematikan, orang-orang akan berlomba-lomba menunjukkan kedua bahasa tersebut dengan apapun caranya agar semua nya terlihat. Namun rupanya ada bahasa obsesi juga yang cara menunjukkannya hampir sama dengan cinta dan kasih sayang.”

Hara masih terdiam sambil memainkan jarinya.

“Aku gak tau dimana Dewi.” 

Hakim perlahan membulatkan matanya, lalu membenarkan posisinya.

“Ves, nyalain semuanya.” Hakim mematikan sambungan teleponnya 

Setelah melihat semua kamera menyala, ia kembali menatap Hara dengan penuh Harap.

“Aku gak bunuh Paman.” 

Suara Hara benar-benar lirih menahan tangisan, dalam tundukkannya Hakim bisa menebak bahwa mata cantik milik Hara kini tengah berusaha keras agar tak menangis.

“Lalu?” tanya Hakim

“Aku gantiin temen aku, aku gantiin Dewi Kak, Dewi yang bunuh Paman aku hikss…”

Setelah mengangkat kepalanya Hara menangis di hadapan Hakim dengan segala kesedihan dalam matanya, dengan segala kepiluan di serak suaranya.

“Terus kemana sekarang Dewi?”

Hara menggeleng ribut dalam duduk nya, tangannya ia kembalikan ke atas meja hendak menggapai jemari Hakim disana 

“Kak, aku bener-bener gak tau dimana dia sekarang. Kak, bantu aku Kak. Kak bantu aku buat hentiin Dewi hikss hikkss…”

Hara menggenggam jemari Hakim sambil menangis, sedangkan Hakim yang tak sanggup dengan cara Hara menangis ia beranjak keluar dari ruangan tersebut sambil terisak juga meninggalkan Hara yang menangis sendiri.

“Anjing banget si Dewi!” Kala yang keluar bersama Alves dari ruangan sebelah mengumpat frustasi 

Alves menghampiri Hakim yang terisak menyandarkan tubuhnya di kursi dekat ruangan interogasi, Alves menepuk pundak sahabatnya 

“Cari keberadaan Dewi sekarang juga.” 

Ia mengeluarkan pisau dari saku jaketnya memberikannya kepada Kala

“Lo balik lagi ke forensik, suruh Gio buat cepet cari tau sidik jari lainnya di gagang pisau ini terus samain sama punya Dewi.” 

Kala dan Alves pergi meninggalkan Hakim yang masih mengusak rambutnya.

“Apa yang terjadi Kim?” 

Seorang lelaki tua dengan setelah jaket kukit itu menghampiri Hakim yang masih frustasi

“Hara bilang bukan dia yang bunuh, Pak”

Hakim berbicara dengan Ketua Kepolisian yang kini ikut duduk di sebelahnya.

“Dari dulu anak itu selalu bilang seperti itu, apa kamu tidak curiga?”

“Beberapa hari terakhir ini saya dan Hara sering bersama Pak, semua itu saya lakukan agar saya tau lebih jauh soal Hara. Dan setelahnya, membuat saya yakin bahwa memang bukan Hara pelakunya, Pak.”

“Kamu yakin?”

“Yakin Pak, saya jamin bahwa memang bukan Hara pelakunya.” 

Lelaki sebelahnya itu mengangguk-angguk lalu menepuk pundak Hakim

“Terus kali ini siapa pelakunya?”

Hakim kini menoleh ke arah samping nya.

“Pak, hari ini Bapak ada pers kan?” tanya Hakim

Lelaki itu mengangguk

“Ini saya baru mau ke aula”

“Pak, saya mau minta tolong”

Lelaki tua itu mengangkat alisnya menunggu Hakim menyebutkan apa yang ia minta

“Tolong sebarkan peringatan darurat, bahwa ada orang yang lagi kami cari.”

Hakim merogoh sakunya mengeluarkan handphone dan menunjukkan foto Dewi.

Setelah disetujui ia mengirimkan fotonya pada petugas yang bekerja mengatur layar, ia kembali ke depan ruangan interogasi memegang gagang pintu itu dengan ragu setelahnya malah mengurungkan niatnya dan kembali terduduk di kursi.

“Nak?”

Itu suara Ibunya, Hakim berdiri menghampiri Ibunya yang membawa kantong besar yang Hakim tebak itu berisi makanan semua.

“Mana Hara?”

Pertanyaan pertama setelah Ibunya selesai memeluk Hakim.

Hakim menatap pintu ruangan interogasi tanpa menjawab pertanyaan Ibunya barusan.

“Gak mungkin.” ucap Ibunya yang paham arti tatapan Hakim

Hakim menahan lengan Ibunya yang hendak membuka pintu tersebut

“Bu,”

“Ibu boleh masuk kan? Ibu mau kasih makanan kesukaan Hara kesana.”

“Tapi tolong di dalem jangan tunjukin ekspresi apapun Ha-”

“Iya Ibu tau.” potong Ibunya yang kini hendak membuka pintunya

Lagi-lagi Hakim menahanya

“Tangan Hara di borgol” ucap Hakim

Ibu Hakim menghembuskan nafas beratnya, lalu terpejam dengan bulir air mata yang ikut jatuh. Setelahnya Hakim membiarkan Ibunya masuk dengan satu rantang berisi makanan.

Hara yang terkejut kini membuang pandangannya, enggan menatap Ibu Hakim yang kini sudah terduduk di hadapannya.

“Pasti belum makan ya Nak?” lirih Ibu Hakim

“Atau makanan disini gak enak?” lanjutnya 

Tangan Ibu Hakim sibuk membuka rantang dan menyusunnya di hadapan Hara.

Hara yang merasa sangat tersentuh itu kini membawa matanya yang sudah berair menatap Ibu Hakim dan setelah pandangan keduanya bertemu dua mata cantik yang menjadi kesayangan Hakim itu menangis sejadi-jadinya.

Hakim yang menyaksikannya di ruang sebelah itu menangis dalam diam melihat pemandangan tersebut.

“Tangan nya ini loh, pasti sakit sekali ya Nak?” 

Ibu Hakim yang menyuapi Hara sambil mengelus-elus pergelangan tangan dengan borgol.

“Engga kok Bu, kan longgar”

Hara sudah mulai biasa kembali menikmati mie goreng spesial dengan daging dan nasi hangat buatan Ibu Hakim.

“Maafin Hakim ya Nak.”

“Eh, engga kok Bu. Bukan karna Kak Hakim”

“Ini pasti ulah Hakim.”

Hara terdiam, memang iya borgol ini adalah hasil Hakim namun tetap saja awal mulanya itu karna Hara sendiri.

“Ini ulah Hara sendiri kok, kalo aja Hara terbuka sama Kak Hakim pasti gak akan kaya gini.”

Ibu Hakim hanya menatap sendu Hara

“Nak, Ibu boleh minta tolong?”

Hara mengangguk setelah menyuapkan satu sendok mie dan daging dari Ibu Hakim 

“Tolong terbuka pada kami Nak, kami siap menjadi benteng kamu ketika kamu tidak bisa sembunyi. Kami siap jadi perisai kamu Nak, apabila kamu tak punya pelindung sama sekali.”

“Nak, kami sudah bukan orang lain. Kami mau menjaga, menyanyangi, mengasihi, layaknya orang tua pada anak-anaknya.”

Hara menatap mata Ibu Hakim dengan perasaan terharu, ini adalah ucapan yang benar-benar ia dambakan sejak dulu. Ia mendambakan ucapan itu keluar dari mulut kedua orang tuanya, namun nihil.

Dengan air mata yang kembali mengalir, Hara mengangguk antusias.

Ibu Hakim dan Hara menonton beberapa video Hakim saat kecil di handphone Ibu Hakim, mereka tertawa layaknya tengah di taman penuh bunga dengan angin yang sepoi menyibak rambut keduanya.

Namun pada kenyataannya, mereka tertawa dalam ruangan yang sangat suram dan menakutkan bagi orang-orang. Dan itu bukan menjadi masalah besar bagi mereka, mereka tetap tertawa terbahak-bahak melihat kelucuan Hakim.

"Kim!" Kala membuka pintu ruangan itu membuat Hakim langsung menoleh ke arah belakang

"Ini bener, ada sidik jari Dewi disini."

Kala mengembalikan pisau itu kepada Hakim, dan Hakim mengembalikannya kedalam box di hadapannya.

"Kim! Bokap nya Dewi ternyata hakim terkenal."

Kali ini Alves yang memasuki ruangan tersebut sembari membawa kertas yang langsung di tunjukkan pada Hakim.

"Udah di hubungi semua?" tanya Hakim

Alves mengangguk cepat

"Kita mulai pencarian sekarang Kal. Oh ya Ves, bilangin ke petugas buat biarin orang tua gue nemenin Hara."

Alves yang langsung mengangguk dan memberitahu petugas soal perintah Hakim barusan, Alves akan memonitor dari kantor perihal pergerakan Dewi dan keluarganya.

1
Ulla Hullasoh
keluarga yang kejam..... apa hara itu anak tiri?
lin
wah seru nih lanjutkan thorr jangan lupa buat mampir
Ryohei Sasagawa
Thor, ceritanya seru banget! Aku suka banget sama karakternya.
Jonjuwi: Kakaaa makasi banyak, trs dukung aku yaa🥺❤️
total 1 replies
Nadeshiko Gamez
Terperangkap dalam cerita ini.
Jonjuwi: Makasih kaaa udah mampir, dukung aku trs yaa🥺❤️
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!