Sepeninggal kedua orang tuanya, Dennis harus menggantungkan hidupnya pada seorang janda kaya bernama Vivianna. Sehari-harinya Dennis bekerja menjadi asisten pribadi Si Tante, termasuk mengurusi pekerjaan sampai ke keperluan kencan Tante Vivianna dengan berbagai pria.
Sampai akhirnya, Dennis mengetahui motif Si Tante yang sesungguhnya sampai rela mengurusi hidup Dennis termasuk ikut campur ke kehidupan cinta pemuda itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Septira Wihartanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19
“Wow...” desis Revan sambil melebarkan matanya menatapku.
Kami berdua... yah ini mungkin kedengaran absurd dan nggak normal, tapi karena keterbatasan waktu, kami mandi berdua.
Sambil mandi,
Jangan berpikiran macam-macam, kami bergantian pakai shower dan menyabuni diri kami masing-masing.
Sambil mandi kami menceritakan masa lalu kami.
Aku menceritakan penyebab orang tuaku bundir. Kuceritakan sesuai dengan kesaksian Tante Vivi dan Bahar. “Woooowww...” desis Revan kaget. “Jadi di sini sebenarnya mereka bundir tapi nggak bundir?! Gilaaaaa!” serunya sambil mengangkat kedua tangannya ke atas rambutnya yang masih berbusa.
“Sampai sekarang gue masih shock, bro. Makanya gue suka rada-rada bengong soalnya tahu-tahu pikiran itu datang lagi dan lagi.” Jelasku sambil memejamkan mata dan mengguyur badanku dengan shower air hangat.
“Kalo Bahar nggak ngajakin lo makan somay, anggaplah bapaknya Bahar nggak jujur dan transferan dari bapak lo dipake buat kepentingannya sendiri, dah koit lo sekarang makan sate!”
“Ya mungkin karena ayah tahu Bapaknya Bahar itu amanah, jadi dia minta tolong.” Kataku sambil mundur, mempersilakan Revan membersihkan dirinya.
Aku berjalan ke arah wastafel untuk menyikat gigi. “Tapi hidup lo juga nggak kalah gila.” Kataku.
Sebelum aku menceritakan keadaan keluargaku dan bagaimana aku bisa terdampar di rumah Tante Vivianna, Revan terlebih dahulu menceritakan kenapa dia bisa diadopsi di keluarga ini.
Ia disiksa ibu tirinya, yang mana waktu itu masih jadi istri Pak Andra. Dan ternyata mantan istri Pak Andra dan mantan suami Bu Asmara saling selingkuh. Penyiksaan yang dihadapi Revan sejak ia berusia 11 tahun, lumayan mencengangkan.
Revan dipaksa melayani nafsu ibu tirinya yang meledak-ledak dan di luar nalar.
Dan kini aku tahu, alasan Revan dan aku sama-sama memiliki emosi yang labil adalah karena proses pendewasaan kami yang diluar jalur.
Kami dipaksa dewasa sebelum waktunya, ketergantungan obat dan alkohol, juga memiliki anger issue. Aku, karena DNA ibuku yang menurun, dan Revan, karena trauma masa lalu.
“Saat masih kecil itu, gue berpikir, yang gue punya di dunia ini hanya Kitty seorang. Gue selalu sama-sama dia. Habis diperkosa pake alat-alat aneh, gue main di pekarangan sama Kitty, jajan bareng Kitty, dan Wushhh! Hilang sakit gue pas liat senyumnya. Jadi kalau dia jauh dari gue... ya maaf aja gue akan lakukan berbagai cara agar dia dekat lagi.”
“Dia tahu mengenai penyiksaan yang lo dapat waktu kecil?”
“Nggak.”
“Haaa?” desisku sambil menyikat gigi. Hampir kusemburkan itu odol ke kaca.
“Gue belum siap kasih tahu dia bro. Nggak lah, gue nggak bisa bayangin wajahnya kalau tahu gue udah nggak virgin sejak kecil. Dan pelakunya ibu tiri gue sendiri. Nggak, nggak, nggak, bisa pingsan gue kalo liat wajah kecewanya.” Revan berkacak pinggang sambil menunduk, di bawah aliran air yang deras. Alisnya yang memang tebal itu dikerutkannya seakan sedang berpikir keras. “Gue belum siap. Sumpah...” gumamnya.
“Sebelum kalian nikah, dia harus tahu. Lu tahu kan?” ujarku.
Aku berkumur untuk menghilangkan sisa odol di gigiku.
“Yah, kalau dia nggak tahu, tidak adil baginya.” kataku. “Dan itu yang membuat lo cari-cari alasan biar nggak nikah cepet-cepet. Karena lo belum siap dia tahu masa lalu lo.”
“Yak!” Revan menunjukku.
“Sampai cari alasan, tunggu naik jabatan. Lu dah naik jabatan nanti, lu bakal cari alasan apa lagi? Tunggu Pak Regi pensiun? Atau tunggu umur lo 35?” sahutku.
“Gue juga kepikiran hal ini, bangsat. Nggak usah lu nyindir gue.” Gerutu Revan sambil berjalan ke arahku merebut sikat gigi di tanganku yang memang miliknya.
“Belum selesai gue mandi.” Pinggulku mendorong pinggulnya ke pinggir karena aku mau cuci muka pakai sabun mukanya.
“Wama wu wah wam wewapa wi?!” ia berbicara padaku dengan mulut penuh busa pasta gigi. (Lama lu dah jam berapa nih, begitu kira-kira artinya).
“Boleh juga kapan-kapan kita tanding di arena. Gue perlu berantem kayaknya.” Desisku.
“hihe wawuh!” serunya. (Ide bagus, begitu kayaknya translatenya).
Kami diam sejenak karena dia sedang berkumur dan aku mengeringkan tubuhku dengan handuk miliknya.
“Gue pingin ketemu sama Bahar.” Kata Revan tiba-tiba. Menurutku sih tak ada salahnya. Tapi itu berarti aku harus pulang ke rumahku dan mengaktifkan nomor lamaku.
“Gue izin dulu sama Tante Vivi.” Kataku.
Aku mengulurkan handuk padanya, tapi dia menerimanya sambil menyeringai aneh. “Apa sih hubungan lo sama Tante Vivi?” begitu tanyanya.
“Mau tahu aja atau mau tahu banget?” tanyaku
Aku jelas tak mau lah ngomong yang sebenarnya mengenai isi hatiku. Cemen bener aku.
“Oooh,” desisnya licik. Dari kalimatku saja ia tampaknya sudah bisa menebak.
“Karena lo kayaknya lagi senggang, single dan bosen,” ia membuka suatu ide gaje padaku, “Mau iseng masuk ke iklan teman gue gak? Dia lagi jadi agen Rental Teman.”
“Rental... apa?”
“Rental Teman.”
“Teman yang gimana?”
“Yaaa teman. Misalnya lo sendirian,lo butuh temen nongkrong yang available buat ngobrol di cafe biar nggak bosan hidup, atau sekedar buat hang out, atau bahkan diajak kondangan. Teman sewaan.”
“Anj... ada-ada aje.” Gumamku. “Tapi kok menarik ya kedengerannya.”
“Gue nggak bsia ikutan, bisa digamparin ama Kitty.”
“Okeee...”
“Tapi lo kan bisa, buat tambah-tambah penghasilan. Sehari bisa 300rb sampai 500ribuan.”
“Hm... buat teman doangan kan ya?” aku merasa ragu dengan ide ini.
“Kalo yang booking cewek-cewek ya lo siapin hati dan iman aja. Mana tau cucok meong.” Kekeh Revan.
“Elah...” gumamku.
“Nggak sekali dua kali kan lo tidur ama cewek. Nggak pake komitmen aja. Gue tahu tipe yang kayak lu. Kalem-kalem ngegigit.” Ia mengepalkan tangannya dan menoyor pipiku dengan tinjunya.
Aku tak menjawabnya, hanya mencibir.
Ia menyampirkan handuk di bahunya lalu membuka pintu kamar mandi.
Di sana udah ada Kitty dan Pak Andra.
Yang jelas terkejut melihat kami berdua.
Kami pun terkejut melihat mereka berdua di kamar Revan.
"Ayah ngapain di-“
“Kalian mandi berdua?! Eling woy!!” seru Pak Andra.
“Woooah woaaah!” Kitty teriak-teriak histeris tapi ngintip-ngintip.
“Ya masa mau tunggu-tungguan? Bisa telat kita!” seru Revan
“Memangnya kamar mandi di rumah ini cuma ada di kamar kamu?! Kan ada di lantai bawah juga!”
“Mandi sambil curhat Pak.” Gumamku.
“Astaga... mencengangkan banget.” Keluh Pak Andra sambil memijat dahinya. “Udah itu tutupin parenya, cepat sana pake baju!” serunya tampak kesal.
Ia bahkan menyelepet Revan pakai sarung.
**
“Kamu ngapain nyusahin tetangga pagi-pagi buta gini?” Tante Vivianna berdiri di depan pagar rumahnya sambil berkacak pinggang, melihatku keluar dari rumah Revan sudah dengan spek kantor lengkap.
“Hm... sarapan?” desisku sambil menyeringai.
“Kayaknya baru mandi.” Ia mengernyit menatap rambutku yang setengah basah. “Bukannya udah mandi tadi malam ya?”
“Hm... tadi pagi habis jemur aku joging, makanya harus mandi lagi.”
“Alasan sebenarnya apa? Menghindari aku?” dia langsung menembakku begini.
“Tante, saya numpang lagi ya sampai kantoooor?!” Revan menghampiri kami dengan bersemangat.
Aku bersyukur dia datang.
Karena aku jadi tak harus menjelaskan kenapa aku menghindari Tante Vivianna.
memancing di danau keruh
dan boom dapat ikan 🤣😂
ngerti kebiasaAne othor yg maha segala