Misda terpaksa harus bekerja di kota untuk mencukupi kebutuhan keluarga nya. Saat Dikota, mau tidak mau Misda menjadi LC di sebuah kafe. Singkat cerita karena godaan dari teman LC nya, Misda diajak ke orang pintar untuk memasang susuk untuk daya tarik dan pikat supaya Misda.
Bagaimana kisah selanjutnya? Ikuti cerita novelnya di SUSUK JALATUNDA
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Naim Nurbanah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18
Malam menjelang, lampu kafe karaoke mulai berkedip-kedip memanggil para pengunjung setianya. Misda dan Dona melangkah masuk dengan senyum terlukis di bibir, sudah rindu dengan keramaian dan tawa yang selalu menyertai mereka di tempat itu.
Beberapa hari lalu, kabar tentang ketidakhadiran mereka sampai ke telinga pelanggan setia, hingga beberapa dari mereka sempat berkeliling mencari-cari, berharap bisa bertemu. Kini, mereka duduk di ruangan terpisah, masing-masing menemani tamu yang antusias memilih lagu dan mengangkat gelas bersulang. Misda menyunggingkan senyum penuh pesona saat menatap tamu yang tampak lelah namun mulai rileks bersamanya.
Dona tak kalah cekatan, gesit melayani pesanan makanan dan minuman, memastikan suasana tetap cair dan menyenangkan. Di balik dinding kedap suara, profesionalitas mereka bersinar setiap tawa dan alunan musik jadi saksi kehangatan yang mereka ciptakan.
Mulas di kepala Misda tiba-tiba datang tanpa ampun. Nafasnya tercekat saat ia menyadari ada yang tak beres, minuman yang tadi diminumnya ternyata sudah dicampur obat perangsang. Panas menyebar dari ujung kepala sampai ujung kaki, membuat wajahnya memerah. Di seberangnya, dua pria itu saling bertukar pandang, bibir mereka terukir senyum lebar seperti singa yang mengendus mangsa.
"Ayo, menarilah di depanku! Aku janji, uangnya nggak tanggung-tanggung," suara salah satu pria bergema, diiringi tawa yang penuh kemenangan.
Pria yang satunya lagi tak berkedip, matanya mengerling liar ke dada Misda yang mulai terbuka, kancing kemejanya terlepas satu demi satu. Belahan yang terbuka itu seolah menyalakan api dalam diri mereka, membuat mereka tak sabar ingin meraba dan merasakan, nafsu mereka membuncah tanpa terkendali.
Misda berdiri di tengah lantai, tubuhnya ikut terbawa irama musik yang mengalun kencang. Dua pria di sekelilingnya bergantian merangkulnya, menuntun gerakan joget yang makin liar. Sesekali tangan mereka menyentuh pinggang dan bahunya, membuat Misda tersenyum penuh percaya diri, apalagi sudah terpengaruh minuman keras dan obat perangsang yang menyelinap dalam tubuhnya. Namun, dalam hatinya masih ada sisa kesadaran yang berusaha melawan, tidak ingin dirinya sepenuhnya lepas kendali.
Tapi pelan-pelan, pengaruh obat itu makin menggenggam erat, membuat batas antara sadar dan tak sadar kian pudar. Tangan pria-pria itu mulai berani menyentuh lebih jauh, meremas tubuhnya tanpa izin. Pakaian Misda robek di beberapa bagian, terbuka memperlihatkan lekuk tubuhnya yang selama ini tersembunyi. Jantungnya berdebar tak karuan, tubuhnya terasa berat dan tak mampu melawan lagi.
Tiba-tiba, Misda seperti dirasuki sesuatu yang lain keras, menyeramkan membuatnya terhuyung dan akhirnya terjatuh ke pelukan pria itu. Tanpa banyak protes, ia dibawa ke sofa panjang di pojok ruangan karaoke itu. Pria-pria itu mulai memanfaatkan tubuhnya dengan bebas, sementara Misda hanyalah bayangan dari dirinya sendiri yang semakin tenggelam dalam kabut ketidakberdayaan.
Di tengah keramaian ruangan VVIP yang penuh asap dan bisik-bisik, Wono tiba-tiba melangkah maju tanpa ragu. Dengan gagah, dia menggendong tubuh Misda yang lemah, mata Misda setengah terpejam tapi sesekali menyentak menahan gejolak di dalamnya. Dua pria tamu, wajah mereka merah padam oleh kemarahan dan cemas, berteriak bersahutan.
"Sial! Mau kau bawa ke mana wanita itu, hah? Aku sudah kasih uang banyak untuk dia!" geram salah satu pria sambil mencengkeram tangan Wono, tapi genggaman itu dengan mudah lepas.
Wono menatap dingin, bibirnya menyunggingkan senyum kecil penuh tantangan. Dia tidak peduli dengan ancaman kosong itu. Tanpa berkata-kata lagi, Wono berbalik dan melangkah keluar, meninggalkan kemarahan dan gelagat kebandelan dua pria itu.
Di dalam mobil yang sunyi, aroma bau obat perangsang masih menyelimuti Misda. Tubuhnya sesekali menggoda dengan sentuhan halus, napasnya berhembus tak beraturan. Wono menatap jalanan gelap, dadanya berdebar karena godaan yang menguasai kekasihnya, sekaligus tekad kuat untuk menjaga Misda dari bahaya lebih dalam lagi.
"Misda, jangan seperti ini sayang. Aku sedang menyetir mobil," ucap Wono yang semakin kurang konsentrasi. Sampai akhirnya pria itu memutuskan menepikan mobilnya di pinggir jalan di mana suasana sudah sepi tidak ada mobil dan kendaraan yang lewat di sana.
Wono membiarkan Misda melampiaskan hasratnya, matanya terpaku pada manik mata kekasihnya yang berubah, seolah ada sosok lain yang menguasainya. Perlahan, tangan Wono menyelip ke dalam saku, meraba kalung liontin yang selama ini selalu ia bawa.
Dengan hati-hati, pria itu menempelkan liontin itu di dahi Misda. Sorot mata Misda mulai meredup, tapi gairahnya tetap membara, tak terhentikan. Wono menahan napas, hatinya bergejolak.
"Kenapa setan itu selalu mengambil alih saat Misda lemah? Seperti jeratan yang menutup cahaya kebenarannya," gumamnya dalam diam, menatap kekasih yang semakin jauh dari dirinya.
Wono duduk diam di kursi kemudi, napasnya masih berat setelah momen yang baru saja berlalu bersama Misda. Tubuh wanita itu kini terkulai lemas di kursi belakang, rambutnya sedikit berantakan, napasnya tenang dalam tidur pulas.
Dengan hati-hati, Wono merapikan pakaian mereka yang berantakan, jari-jarinya berjalan pelan seperti mencoba mengunci kenangan yang baru saja terjadi. Ketika ia menyalakan mesin, sekelebat bayangan gelap muncul tepat di depan mobilnya. Sosok itu sosok pria tua, matanya menyala tajam penuh kemarahan yang dingin. Wono menegang, bibirnya mengeras.
"Siapa dia? Kenapa tatapannya seperti membawa dendam berat?" pikirnya, matanya tak lepas dari bayangan itu. Sambil melirik ke arah Misda yang tertidur tanpa beban, Wono berbisik pelan,
"Apa ini urusannya juga dengan dia? Apa yang telah Misda lakukan hingga pria ini tampak marah seperti itu?"
Rasa penasaran dan sedikit ketakutan merayap di dadanya, namun ia tak berani mengalihkan pandangannya. Mobil perlahan melaju, meninggalkan bayangan gelap yang masih terpatri di benaknya.
Wono menekan gas pelan, matanya menatap lurus ke jalan. Tiba-tiba, tangan dingin mencengkeram lehernya dari belakang.
"Misda?" pikir Wono, dadanya sesak.
Sekuat tenaga dia berontak, jari-jari membelit lengan yang meremasnya tanpa henti. Napasnya tersengal, panik merayapi seluruh tubuhnya. Mobil masih melaju, namun stangnya mulai kehilangan kendali.
"Tahan, Wono!" bisiknya dalam hati sambil mencoba melepaskan cekikan itu.
Tubuhnya terhuyung saat roda menyentuh pembatas jalan. Suara benturan keras menyambar kupingnya, dan kepalanya terhantam dashboard dengan hebat. Gelap menelan pandangannya. Ketika kesadaran perlahan kembali, aroma antiseptik dan suara detak monitor mengisi ruang hampa. Wono membuka mata dan menyadari dirinya terbaring di rumah sakit. Sebuah kelegaan hangat namun juga ketakutan menggumpal di dada.
Wono mengedip perlahan, matanya masih melayang mencari sosok Misda yang selalu menghuni pikirannya.
“Misda, di mana kamu, Mi?” gumamnya lirih. Namun yang menyambut pandangannya hanyalah Dona, berdiri dengan ekspresi dingin dan senyum sinis yang sulit disembunyikan.
“Misda? Tidak ada, Wono. Sejak semalam, saat kamu kecelakaan, cuma kamu yang ada di mobil,” kata Dona dengan suara datar, matanya menelusuri wajah Wono yang semakin bingung. Wono menggigit bibir bawahnya, berusaha menata pikir.
“Lalu… Misda semalam ke mana? Sekarang dia ada di mana?”
Suaranya hampir bergetar, takut sekaligus ragu, seperti mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa tubuh Misda tak mungkin hilang begitu saja. Dona menyeringai tajam.
“Semalam, kedua pria konglomerat itu antar dia pulang ke kost. Mungkin sekarang masih berpelukan erat dengan salah satu dari mereka,” ejek Dona, nada sinis menggigit. Wono menghela napas berat, dadanya terasa sesak.
“Tidak! Itu tidak mungkin! Semalam Misda bersama aku, aku yang antar pulang. Bahkan sebelum kecelakaan itu, kami sudah saling lepaskan segala rasa di mobil,” desaknya, mata berkaca-kaca menahan gelombang sakit hati. Dona terkekeh pelan, tawa dinginnya menusuk seperti jarum.
“Pikiranmu saja yang mesum, no wonder kamu nggak fokus sampai akhirnya kecelakaan,” goda Dona, membuat Wono semakin bingung dan luka.