"Meski kau adalah satu-satunya lelaki di dunia ini, aku tetap tidak akan mau denganmu!" Britney menolak tegas cowok yang menyatakan cinta padanya.
Tapi bagaimana kalau di hari Britney mengatakan itu, terjadi invasi virus zombie? Seketika satu per satu manusia berubah menjadi zombie. Keadaan Zayden High School jadi kacau balau. Pertumpahan darah terjadi dimana-mana.
Untungnya Britney mampu bertahan hidup dengan bersembunyi. Setelah keadaan aman, dia mulai mencari teman. Dari semua orang, satu-satunya orang yang berhasil ditemukan Britney hanyalah Clay. Lelaki yang sudah dirinya tolak cintanya.
Bagaimana perjalanan survival Britney dan Clay di hari kiamat? Apakah ada orang lain yang masih hidup selain mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desau, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
chapter ¹⁸ - the real kiss again
Clay setuju dengan rencana Britney. Namun sebelum itu, mereka sepakat untuk bermalam terlebih dahulu di rumah sakit. Hari sudah mulai senja, warna langit di luar jendela berganti dari abu-abu kehitaman menjadi biru tua, menandakan malam segera datang. Angin berembus pelan melalui celah kaca pecah, membawa aroma debu, obat-obatan, dan darah kering yang menempel di dinding-dinding kusam.
Rumah sakit itu sunyi, terlalu sunyi bahkan untuk tempat yang dulu ramai. Lampu-lampu gantung di lorong berkelap-kelip seperti nyawa yang hampir padam. Clay berjalan di depan, pedang di tangannya masih meneteskan air hujan, sementara Britney mengikuti di belakang dengan langkah waspada, memegangi pistol yang tadi ia temukan.
“Setidaknya di sini kita bisa berlindung sampai pagi,” gumam Clay lirih.
Britney mengangguk kecil, matanya berkeliling memperhatikan tiap ruangan. Mereka berdua kini berada di lantai dua, tepat di depan ruang bedah. Bau antiseptik masih samar terasa, bercampur dengan bau karat dan debu. Pintu ruang bedah setengah terbuka, seperti baru saja digunakan seseorang.
Mereka masuk dengan hati-hati. Di dalamnya, meja operasi berlapis kain putih yang sudah menguning tampak terbalik, dan peralatan medis berserakan. Britney segera menunduk, memperhatikan sekumpulan pisau bedah di atas nampan logam. Ukurannya beragam, ada yang kecil seperti cutter, ada juga yang panjang dengan ujung melengkung.
Tanpa berpikir panjang, gadis itu mulai mengumpulkannya satu per satu. Pisau-pisau itu ia taruh ke dalam sebuah toples kaca yang masih utuh.
“Untuk apa kau mengambil itu?” tegur Clay, menatap heran dari seberang ruangan.
“Mungkin saja kita nanti membutuhkannya kan?” jawab Britney ringan, sambil menutup toples itu rapat-rapat. Ia menatap Clay sekilas, lalu tersenyum samar. “Kita tak pernah tahu apa yang akan terjadi.”
Clay hanya mendengus pelan. “Asal jangan melukai dirimu sendiri.” Ia kembali sibuk memeriksa lemari di sisi ruangan. Di sana, ia menemukan beberapa botol alkohol medis, perban, dan beberapa kotak obat antiseptik yang masih layak pakai. Ia memasukkan semuanya ke dalam tas ransel yang digantung di punggungnya.
“Yang paling penting adalah bertahan hidup,” katanya sambil berdiri tegak. “Bukan menimbun senjata.”
Britney tidak menanggapi. Ia tahu Clay selalu serius, terlalu berhati-hati dalam segala hal. Namun dalam hati kecilnya, ia merasa sedikit aman karena ada cowok itu di sisinya.
Setelah menjarah ruang bedah, mereka menuju ruang direktur rumah sakit. Ruangan itu lebih besar dan lebih rapi dari ruangan lain. Ada sofa kulit panjang di tengah, meja kayu besar, dan lemari yang setengah terbuka berisi berkas-berkas pasien lama. Di sudut ruangan terdapat dispenser yang sudah tak lagi berfungsi.
Clay menutup pintu perlahan, lalu berkata, “Kita makan di sini saja. Aman dan tertutup.”
Britney mengangguk. Ia membuka kaleng makanan instan yang mereka temukan di ruang pantry. Suara dentingan sendok dan kaleng terdengar jelas di antara kesunyian malam. Mereka duduk berhadapan di sofa, mencoba menikmati makan malam sederhana itu seolah-olah dunia di luar masih normal.
Namun Clay tidak bisa fokus makan. Dari tadi pikirannya melayang ke satu hal, ciumannya dengan Britney di bawah mobil sore tadi. Bayangan itu tak mau pergi. Ia mencoba menunduk, berpura-pura tenang, tapi matanya sesekali mencuri pandang ke arah gadis di depannya.
“Mengenai ciumanmu saat kita di bawah mobil…” akhirnya Clay bicara, suaranya terdengar hati-hati tapi tegas. “Apa aku boleh tahu artinya?”
Britney yang sedang mengunyah langsung terdiam. Sendok di tangannya berhenti di tengah udara. Wajahnya memerah, matanya membulat, seolah tak menyangka Clay akan menanyakan hal itu.
“I-Itu aku lakukan karena takut,” jawabnya terbata, sambil menunduk. “Anggap saja… sebagai perpisahan. Tapi syukurlah kau selamat.”
Clay terdiam. Dia mengangguk kecil, mencoba tersenyum walau hatinya terasa menegang. Dalam pikirannya, kata-kata Britney terasa seperti pukulan yang lembut tapi menyakitkan. Ia kecewa, bukan karena ciuman itu tak berarti, tapi karena bagi Britney, semua hanya tindakan spontan belaka.
“Apa kau marah?” tanya Britney pelan. Ia memandangi Clay, yang wajahnya kini datar tanpa ekspresi.
“Tidak.” Clay menjawab singkat, tanpa menatapnya. Ia segera menghabiskan makanannya dan bangkit berdiri. “Aku akan berjaga di luar. Kau tidur di sini.”
“Apa? Tapi--”
“Tidurlah. Jangan mencemaskanku,” potong Clay tegas. Tatapannya tajam, membuat Britney langsung terdiam. Ia belum pernah melihat Clay semarah itu sebelumnya.
Clay keluar dari ruangan tanpa menoleh. Suara langkah kakinya memudar di balik pintu yang tertutup pelan.
Britney duduk diam di tempatnya. Sunyi. Hanya suara hujan di luar jendela yang menemani. Dadanya terasa sesak, rasa bersalah menggelayuti pikirannya. Ia tahu Clay tersinggung, dan lebih dari itu, dia tahu dirinya tidak jujur barusan.
Britney menatap jari-jarinya yang menggenggam sendok kosong. Ia mengingat kembali momen di bawah mobil itu, bagaimana jantungnya berdetak cepat, bagaimana rasa takut bercampur dengan perasaan hangat yang tak bisa dijelaskan. Dia mencium Clay bukan karena takut, tapi karena benar-benar takut kehilangan seseorang yang mulai berarti baginya.
Malam semakin larut. Jarum jam di dinding menunjuk angka dua dini hari. Namun Britney masih terjaga, menatap langit-langit gelap yang retak. Hatinya berdebat dengan dirinya sendiri.
Akhirnya ia bangkit, mengenakan jaketnya, lalu keluar dari ruangan. Suara langkah kakinya bergema pelan di lorong panjang rumah sakit yang remang-remang.
Clay tampak duduk di bangku panjang dekat pintu utama. Pedangnya disandarkan ke dinding, sementara matanya menatap kosong ke arah kegelapan di luar. Ia menoleh begitu mendengar langkah Britney mendekat.
“Kau belum tidur?” tanya Clay dengan dahi berkerut.
“Aku tidak bisa tidur,” jawab Britney lirih. Ia duduk di sebelah Clay, cukup dekat hingga bisa merasakan kehangatan tubuhnya.
“Kau sangat aneh,” cibir Clay pelan, mencoba terdengar datar walau hatinya berdegup cepat. “Biasanya kau yang paling cerewet soal istirahat.”
Britney menunduk. Suaranya sedikit gemetar saat berkata, “Aku tidak bisa tidur karena belum bicara jujur padamu.”
Clay menoleh, alisnya terangkat. “Apa maksudmu?”
Britney menghela napas panjang, lalu menatap Clay lurus-lurus. “Arti sebenarnya dari ciumanku waktu itu… bukan karena takut, Clay.” Ia berhenti sejenak, mencoba mengatur napas. “Tapi karena aku mencintaimu. Harusnya kau tak perlu bertanya lagi.”
Dunia seakan berhenti sesaat. Clay terpaku, matanya membulat tak percaya. Suara hujan di luar terasa menjauh, menyisakan detak jantungnya sendiri yang menggema keras di telinga.
Britney menatapnya tanpa berkedip, menunggu reaksi yang entah seperti apa. Wajahnya merah, tapi tatapannya penuh keberanian.
Clay tak sanggup berkata apa pun. Perlahan, ia mengangkat tangan dan menyentuh pipi Britney. Gadis itu tidak menolak. Mereka hanya saling menatap lama, hening, tapi penuh makna.
Lalu, tanpa perlu kata-kata lagi, keduanya saling mendekat. Bibir mereka akhirnya bertemu, saling berpagutan lembut di bawah cahaya lampu redup.
Tangan Britney terangkat, berpegangan di tengkuk Clay, sementara Clay memeluk pinggul gadis itu, menariknya lebih dekat. Ciuman itu tidak tergesa-gesa, hangat, tulus, dan jujur, seolah dua jiwa yang tersesat di tengah dunia yang hancur akhirnya menemukan alasan untuk tetap hidup. Dan untuk sesaat, di antara kehancuran dunia, mereka merasa masih ada sesuatu yang bisa diselamatkan.
SELAMAT DATANG peradaban baru.
Itulah kalimat yang layak diucapkan saat ini.
Manusia ditakdirkan menjadi khalifah, pembawa perubahan dan pembentuk peradaban di muka bumi.
Mengubahnya dan memicu lahirnya peradaban baru bagi umat manusia.
Virus zombie yang mewabah di hampir semua daerah ini telah mengubah hampir seluruh sendi kehidupan masyarakat bahkan sangat tidak siap dengan kehadiran wabah yang mematikan ini.
Manusia hadir untuk bertindak melakukan perubahan dan membangun peradaban yang diamanatkan oleh Allah SWT.
Dimana semua orang bisa hidup damai, membuat sebuah daerah mampu bangkit dan berkontribusi dalam peta peradaban...🤩🥰