"Aku mau putus!"
Sudah empat tahun Nindya menjalin hubungan dengan Robby, teman sekelas waktu SMA. Namun semenjak kuliah mereka sering putus nyambung dengan permasalahan yang sama.
Robby selalu bersikap acuh tak acuh dan sering menghindari pertikaian. Sampai akhirnya Nindya meminta putus.
Nindya sudah membulatkan tekatnya, "Kali ini aku tidak akan menarik omonganku lagi."
Tapi ini bukan kisah tentang Nindya dan Robby. ini kisah tentang Nindya dan cinta sejatinya. Siapakah dia? Mampukah dia melupakan cinta Robby? dan Apakah cinta barunya mampu menghapus jejak Robby?
Happy reading~
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ginevra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menembus Langit
Happy reading~
.
.
Pagi yang sama, seragam yang sama, sepatu yang sama, dan perpustakaan yang sama. Hari-hari Nindya lalui dengan senang hati, setidaknya dia sudah berusaha menikmati sepi. Setiap hari ia hanya membersihkan, merapikan, dan mendata. Sudah berapa tahun perpustakaan ini tidak dibersihkan? Mengapa ada banyak buku yang belum dicap? Bahkan tidak ada yang berniat untuk menginventariskan buku sebanyak ini.
Sayang sekali, padahal banyak judul buku anak-anak yang menarik. Bukankah itu sumber literasi terbaik. Mungkin tidak adanya tenaga penjaga perpustakaan membuat ini terbengkalai. Ah... Jadi ini kenapa aku berada disini sekarang.
"Bu Nindya..." Panggil salah satu siswa kelas rendah.
"Oh ya," Nindya baru tersadar dari lamunannya.
"Bu Nindya sedang apa?"
"Ini sedang baca buku, kamu mau baca bareng bu Nindya? Sini...."
"Buku apa bu?" Siswa tersebut mendekat penuh penasaran. Nindya menunjukkan buku yang dibacanya. Di dalamnya ada banyak gambar menarik dan tulisan yang sedikit mencirikan buku dongeng khusus anak-anak.
"Bagus kan?"
"Iya bu."
"Bawa temanmu kesini gih..nanti baca bareng."
"Tidak apa-apa kah bu?" Tanyanya dengan polos.
"Tentu saja, lain kali tidak usah bertanya. Kalau ada bu Nindya disini kamu boleh baca sepuasnya bersama temanmu."
Seketika senyum anak itu merekah dengan pipi gembil nan ranum.
"Oke deh bu!" Serunya seraya berlari mengajak teman-temannya yang lain.
'Mengapa anak-anak terlihat enggan datang? Apakah karena tempatnya tertutup? Oke! Akan aku buka semua jendela,' Batinnya.
Akhirnya ada 5 anak yang berkunjung di perpustakaan pagi itu setelah ribuan abad lamanya (lebay).
Itu sudah cukup membuat hati Nindya bersemangat.
Tok tok tok
Suara ketukan pelan memenangkan perhatian Nindya.
"Bu, saya bisa minta tolong?" Ternyata suara ketukan datang dari Bu Siti guru kelas 5.
"Iya bu, ada apa ya?"
"Ini, Pak Iwan hari ini tidak masuk karena sakit jadi saya minta tolong Bu Nindya untuk masuk di kelas 4. Saya sudah minta izin ke Pak Kepala Sekolah bu. Saya kualahan kalau harus mengajar 2 kelas sekaligus."
"Iya bu, tentu saja. Dengan senang hati malahan."
"Terimakasih ya Bu Nindya."
Bel masuk pun terdengar, Nindya meminta anak-anak yang sedang baca untuk kembali ke kelasnya. Dia juga menyusul untuk pergi kelas 4 dengan langkah yang ringan sedikit lompatan kecil saat tidak ada yang melihat. Namun ia berusaha berekspresi lempeng untuk menjaga wibawanya.
...****************...
Waktu telah menunjukkan pukul 12.10, itu tandanya Nindya bisa pulang. Tidak seperti guru PNS yang harus menunggu hingga pukul 2 siang, Nindya bisa bebas pulang ketika siswa pulang.
Langkah Nindya terhenti ketika ia ingat bahwa hari ini adalah hari gajian. 'Duh...aku langsung pamitan apa tanya dulu ya?' batinnya.
Tak berselang lama, Bu Siti menarik tangan Nindya dan berkata, "Bu, ini honor untuk bulan ini. Maaf ya kalau cuma sedikit."
"Terimakasih bu," Nindya menerima amplop isi uang itu dengan hati riang.
Pemandangan perjalanan pulang siang itu sangat indah. Tampak bunga bermekaran dan udara bertiup lembut membuat ujung kerudungnya sedikit berkibar. Apakah mata Nindya terfilter karena amplop yang diterima tadi?
Sesampainya di rumah, Nindya langsung masuk ke kamar untuk membuka amplop. Ia meraba dengan hati-hati. Terasa sangat tipis, tapi tidak mengecilkan hati Nindya.
Nindya menarik nafas perlahan dan menghembuskannya. Matanya menutup dan tangannya meraba untuk membuka amplopnya.
Taraaa!
Senyum yang semula merekah indah perlahan menciut. '50 ribu? Untuk sebulan bekerja? ' Batinnya.
Tangan yang memegang uang biru itu gemetar dan turun ke sisi kasur. Kepalanya menunduk, helaan nafas tidak dapat dielaknya. Sedikit air menggenang di kelopak mata bawahnya.
"Hah... Setidaknya ini cukup untuk membeli bensin besok," dia kembali tersenyum dan menghapus genangan air di matanya.
Tiba-tiba
"Cie yang lagi gajian," terdengar suara lembut Ibu Nindya- Bu Ika.
Nindya hanya tersenyum simpul.
"Dapat berapa nak?"
Nindya menunjukkan uang biru itu kepada Ibunya.
"Ibu .... Maaf...aku cuma menghasilkan ini. Ini buat ibu," kata Nindya dengan suara lirih. Uang sedikit yang rencananya buat beli bensin itu ia serahkan ke Ibu tercintanya.
"Buat kamu aja... Kamu mau Ibu tambahin? Bapakmu juga baru gajian."
"Nggak, aku dah kerja masa masih dikasih uang jajan. Lagian aku juga nggak butuh apa-apa. Makan juga udah sama ibu kan."
Ibu Nindya langsung memeluk dan menepuk pelan punggung buah hatinya itu.
"Tidak ada pekerjaan di dunia ini yang mudah, semua orang pasti merasakan kesulitan di awal perjalanan. Tidak apa-apa Nin, gaji sedikit bukan pertanda kamu gagal, Bapakmu dulu juga sedikit gajinya. Itu resiko jadi guru di negeri ini nak. Gaji sedikit tapi barokahnya menembus langit. Ibu selalu mendoakan anakku yang cantik ini. Jadi tidak apa-apa."
Perkataan dari ibunya menyadarkan Nindya bahwa inilah ujiannya. Dia berani bermimpi menjadi guru maka dia hrus menerima segala resikonya. Memang honor GTT di sekolah desa itu sangat rendah apalagi sekarang statusnya Nindya hanya sebagai penjaga perpustakaan.
Mengapa seperti itu? Ya karena yang menghonor adalah sekolah dari dana BOS yang dihitung per siswa. Dengan jumlah siswa SD Negeri di desa yang sedikit, membuat dana BOS yang didapat juga sedikit. Sedangkan sekolah punya banyak guru honorer dibandingkan guru PNS. Itu Karena tes CPNS yang tak kunjung datang.
Karena itu lah banyak lulusan guru yang memilih jadi pegawai Bank atau pekerjaan lain yang lebih menghasilkan uang. Walaupun banyak juga yang memilih jalan seperti Nindya dengan segala resiko pengabdiannya.
'It's okay Nin, lagian kamu juga punya tempat les,' batinnya menghibur diri.
'Kamu juga nggak terlalu butuh uang kan. Guru honorer yang sudah berkeluarga saja kuat dengan honor kecil, apalagi kamu. Kamu pasti bisa!'
Nindya mengangkat uang biru yang tadinya ia geletakkan di kasur. Dia menyimpannya bersama uang hasil mengajar les di sebuah kotak kecil bak harta karun.
'Aku juga masih punya honor dari tempat lesnya Bu Titik.'
Berbanding terbalik, honor di tempatnya bu Titik sebesar 50 ribu per datang. Lumayan untuk gadis lajang sepertinya.
'Aku mau nabung buat beli printer ah. Biar bisa mencetak soal buat anak les,' Nindya memeluk kotak harta karunnya dan melompat bahagia.
.
.
.
Sampai sini dulu ya guys...
Cerita kali ini aku dedikasikan untuk para guru honorer di Indonesia yang dengan ikhlas ikut mencerdaskan anak bangsa.
Tanpa kalian, mungkin banyak sekolah yang tidak mampu beroperasi dengan baik karena kurangnya tenaga pendidik.
Selamat Hari Guru Nasional yang ke-80. Semoga Guru di Indonesia semakin sejahtera.
I love you guys... Sehat-sehat ya para Guru
Terimakasih....