Mati dalam kecelakaan. Hidup kembali sebagai istri Kaisar… yang dibenci. Vanessa Caelum, seorang dokter spesialis di dunia modern, terbangun dalam tubuh wanita yang paling dibenci dalam novel yang dulu pernah ia baca—Vivienne Seraphielle d’Aurenhart, istri sah Kaisar Maxime. Masalahnya? Dalam cerita aslinya, Vivienne adalah wanita ambisius yang berakhir dieksekusi karena meracuni pelayan cantik bernama Selene—yang kemudian menggantikan posisinya di sisi Kaisar. Tapi Vanessa bukan Vivienne. Dan dia tidak berniat mati dengan cara tragis yang sama. Sayangnya… tidak ada yang percaya bahwa sang “Permaisuri Jahat” telah berubah. Bahkan Kaisar Maxime sendiri—pria yang telah menikahinya selama lima tahun namun belum pernah benar-benar melihatnya. Yang lebih mengejutkan? Selene tidak sebaik yang dikira. Di dunia yang dipenuhi permainan kekuasaan, cinta palsu, dan senyum penuh racun, Vanessa harus memilih: Bertahan sebagai tokoh antagonis… atau menghancurkan alur cerita dan menulis ulang takdirnya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Adinda Kharisma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bimbang
Cahaya keemasan pagi menelusup masuk lewat jendela tinggi kamar penginapan, menyusuri lembut tepian tirai, lalu menyentuh ujung ranjang berseprai linen hangat. Udara pagi masih mengandung aroma lavender yang samar—sisa dari minyak pijat yang semalam digunakan untuk meredakan luka dan ketegangan. Di antara lipatan kain, dua sosok terbaring dalam keheningan tenang, hanya terdengar suara napas yang bergantian dan detak jantung yang kadang terselip di udara.
Vanessa membuka matanya pelan. Tubuhnya terasa lelah, tapi bukan lelah yang buruk. Justru… ada ketenangan yang tak pernah ia rasakan selama lima tahun pernikahan kosong itu. Punggungnya bersandar pada dada Maxime, dan tangan pria itu masih melingkar di pinggangnya—hangat, protektif, tak ingin lepas.
Ia menggigit bibirnya, berusaha menahan senyum kaku yang tiba-tiba muncul begitu saja. Tapi ketika ia mencoba bergerak, Maxime menggumam pelan, separuh masih mengantuk, “Tetaplah di sini sebentar.”
“Kita harus bersiap,” bisik Vanessa.
“Satu menit lagi…” gumam Maxime lagi, suaranya rendah, hampir bergema di kulitnya.
Vanessa akhirnya pasrah. Ia membiarkan dirinya diam sejenak dalam dekapan itu, membiarkan tubuhnya mengenali ketenangan yang seharusnya sejak dulu ia dapatkan dari pria ini. Tapi tidak bisa terlalu lama. Saat ia pelan-pelan melepaskan diri dan duduk, Maxime membuka matanya.
“Mau ke mana?” tanyanya, suaranya masih serak.
Vanessa mengambil kain tipis yang disampirkan di sisi ranjang. “Membersihkan diri,” katanya pendek.
Maxime bangkit, menyandarkan tubuh pada kepala ranjang. Rambutnya sedikit acak dan kulitnya masih menyimpan jejak kehangatan malam tadi. “Kalau begitu aku ikut.”
Vanessa menoleh cepat, alisnya terangkat. “Tentu tidak.”
“Kenapa?” Maxime bangkit dari tempat tidur. “Kita sudah… melewati semua batas, Vivienne. Mandi bersama itu hanya… ritual kecil setelahnya.”
“Kau menyebutnya ‘ritual kecil’?” Vanessa mendelik. Tapi bahkan tatapannya itu tak cukup menutupi rona di pipinya.
Maxime terkekeh kecil, lalu berjalan santai ke arahnya. “Anggap saja, aku ingin memastikan kau tidak terpeleset di lantai licin.”
——
Ruang pemandian dipenuhi uap tipis dari air hangat yang sudah disiapkan oleh pelayan. Tapi Maxime sudah menyuruh mereka pergi sebelum Vanessa masuk. Ia tidak mau ada yang mengganggu pagi mereka—pagi yang terasa terlalu pribadi untuk dibagi siapa pun.
Vanessa duduk di sisi kolam marmer putih, membasuh kakinya perlahan, lalu merendam diri setengah tubuh ke dalam air. Maxime, yang awalnya hanya duduk di tepi kolam, akhirnya ikut masuk setelah Vanessa mengangguk—enggan, tapi tidak menolak.
“Tidak kusangka kita sampai ke titik ini,” gumam Maxime sambil meraih kendi kecil berisi sabun herbal.
Vanessa mengangkat wajah, sedikit ragu. “Titik apa?”
Maxime menuangkan sabun itu ke tangannya, lalu bergerak pelan ke belakangnya. “Titik di mana kau mempercayaiku cukup dalam untuk membiarkanku berada sedekat ini…”
Ia mulai membasuh punggung Vanessa dengan gerakan lambat. Tidak terburu-buru. Tidak dengan nafsu. Tapi dengan kehati-hatian seperti seseorang yang takut merusak sesuatu yang rapuh dan indah.
“Aku tidak tahu apakah ini ‘percaya’,” ujar Vanessa pelan. “Mungkin aku hanya terlalu lelah untuk menolakmu lagi.”
Maxime tidak menjawab. Ia hanya mengusap perlahan garis bahu Vanessa dengan busa sabun, lalu membilasnya dengan air hangat dari cawan perunggu.
“Tapi aku ingin belajar mempercayaimu,” lanjut Vanessa, suaranya nyaris seperti napas. “Setidaknya… aku ingin tahu seperti apa rasanya dicintai dengan tulus, bukan karena aku istri sahmu.”
Maxime menghela napas dalam. Ia mendekatkan tubuhnya, menempatkan dagunya di bahu Vanessa. “Kalau begitu… biarkan aku menunjukkan itu pelan-pelan.”
Vanessa memejamkan mata, membiarkan air dan kata-kata Maxime menenangkan segala kekacauan di dalam hatinya.
——
Setelah mandi, uap hangat masih menggantung di udara saat mereka kembali ke dalam kamar. Vanessa duduk di bangku rendah di depan meja rias, mengenakan gaun mandi bersih berwarna pucat. Rambutnya masih basah, tergerai hingga punggung.
Maxime berdiri di belakangnya dengan handuk di tangan, perlahan mengusap rambut istrinya dengan gerakan sabar dan telaten. Heningnya pagi hanya diisi suara lembut kain menyentuh helaian rambut dan desiran napas mereka yang tenang.
Sesekali, tanpa peringatan, Maxime menunduk dan mengecup pelan bahu Vanessa yang sedikit terbuka. Hanya sekilas… tapi cukup terasa.
Vanessa langsung mengernyit dan mendongak, menatap pantulan Maxime di cermin. “Kau… menciumnya lagi!”
Maxime tak terlihat bersalah sama sekali. Ia bahkan tampak sangat menikmati dirinya tertangkap basah. “Apa itu masalah?”
“Tentu saja!” Vanessa bersedekap, membuang muka. “Entah kenapa kau terus saja—huh, seperti kebiasaan baru. Sedikit-sedikit menciumku.”
Maxime menyeringai. Ia meletakkan handuk di atas meja, lalu membungkuk sekali lagi, kali ini mengecup puncak kepala Vanessa.
“Bukan kebiasaan,” bisiknya. “Hanya efek samping dari jatuh cinta.”
Vanessa memutar bola matanya, tapi tak menepis saat Maxime dengan santainya duduk di sandaran kursi, menatapnya dari atas.
Namun pandangannya berubah panik saat ia melihat bayangan samar di cermin—sebuah tanda kemerahan di sisi lehernya.
“Maxime!” serunya refleks. “Apa ini?! Kau… meninggalkan tanda?”
Maxime menoleh malas ke arah yang ditunjuk, lalu mengangkat alis dengan polos yang dibuat-buat. “Oh. Itu? Tanda cinta.”
“Bukan tanda cinta—itu tanda kepemilikan!” Vanessa berdiri dari kursinya dengan gerakan cepat, panik. “Kalau Sera melihat ini—bagaimana aku harus menjelaskannya?!”
Maxime bersandar di tiang tempat tidur dengan santai. “Katakan saja suamimu buas semalam.”
Vanessa melemparkan bantal kecil ke arahnya. “Maxime!”
Maxime hanya tertawa, dan dengan cekatan menangkap bantal itu sebelum memantulkannya kembali ke tempat tidur. Tatapannya tak pernah lepas dari Vanessa yang kini berdiri dengan pipi merah, entah karena malu atau kesal.
“Kalau kau tak suka terlihat…” Maxime berjalan pelan ke arahnya, “…aku bisa membuatnya di tempat yang tak terlihat.”
Vanessa mundur setengah langkah. “Kau gila!”
Maxime mengangkat tangan seolah menyerah. “Bersamamu, aku rasa… memang begitu.”
——
Langit Aragon memamerkan warna keemasan saat kereta kerajaan melintas melewati gerbang utama Istana Pusat. Bendera dengan lambang singa bersayap berkibar lembut di angin sore, dan di pelataran istana, para pelayan serta penjaga telah berbaris rapi menyambut kedatangan Kaisar dan Permaisuri.
Pintu kereta terbuka perlahan, dan Maxime turun lebih dulu. Ia segera mengulurkan tangannya dengan tenang dan penuh percaya diri, yang kemudian disambut oleh tangan mungil Vanessa—atau Vivienne, seperti yang dunia mengenalnya. Kilau lembut gaun berwarna emas membalut tubuh wanita itu, dan rambutnya yang dikepang sebagian tersampir elegan di bahu.
Tapi bukan itu yang menarik perhatian.
Melainkan—tanda samar berwarna mawar yang tampak di sisi leher sang Permaisuri.
Sejenak hanya ada keheningan.
Lalu bisik-bisik lirih mulai menyusup dari barisan para pelayan wanita.
“Apa kau lihat itu…?”
“Tanda… di lehernya… Astaga.”
“Bukankah mereka ke Belvoir untuk urusan kerajaan?”
“Atau… bulan madu yang terselubung?”
Di sisi lain, berdiri Bastian, tangan di belakang punggung, menyambut dengan senyum sopan. “Yang Mulia,” ucapnya sambil sedikit menunduk. “Istana berada dalam keadaan stabil selama kepergian Anda. Saya telah menyampaikan dokumen yang Anda minta ke ruang kerja pribadi.”
Maxime menepuk pundak Bastian ringan, isyarat terima kasih tanpa banyak kata. Tapi pandangannya sudah beralih ke arah yang lebih rumit.
Selene.
Gadis itu berdiri di sisi aula, mengenakan gaun formal berwarna krem pucat, tak sepatah kata pun keluar dari bibirnya saat mata mereka bersirobok. Tak ada senyum. Tak ada sapaan.
Hanya tatapan kosong yang dalam dan nyaris dingin, seolah keberadaan Vanessa di sisi Maxime adalah sesuatu yang tak pernah ia bayangkan menjadi nyata.
Dan Selene mendengarnya—bisikan-bisikan pelayan di sekelilingnya. Tentang tanda di leher Permaisuri. Tentang senyum hangat Maxime yang tak pernah ia lihat selama ini. Tentang keakraban yang tak bisa dipalsukan.
Selene mengepalkan jemarinya di balik lipatan pakaiannya.
Maxime, seakan tahu semua mata sedang menyorotnya, hanya melingkarkan tangan di punggung bawah Vivienne dan membisikkan sesuatu di telinganya. Vanessa tertawa kecil—tulus dan ringan—lalu keduanya berjalan masuk ke dalam istana, meninggalkan Selene dalam diamnya yang mencakar dinding batinnya sendiri.
——
Cahaya sore yang menembus jendela kaca berukir membuat kamar Permaisuri tampak hangat dan tenang. Aroma lavender samar menguar dari minyak pijat yang ditaruh Sera di meja rias, sementara kain-kain lembut dan bungkusan kecil dari Belvoir masih tersusun di sudut ruangan.
Vanessa duduk di depan cermin, menyisir rambutnya pelan. Di belakangnya, Sera sibuk merapikan pakaian yang baru saja dilepas oleh sang Permaisuri… sambil terus menahan senyum.
Senyum yang membuat Vanessa tak tahan lagi.
“Sera,” ucap Vanessa, tanpa menoleh. Suaranya datar tapi menyimpan tanda bahaya. “Bisakah kau berhenti tersenyum seperti itu? Mulai dari tadi, wajahmu seperti mau tertawa tapi pura-pura sopan.”
Sera dengan cepat memasang ekspresi netral—namun kegugupan kecil terlihat jelas dari cara bahunya sedikit berguncang. “Maaf, Yang Mulia… saya hanya senang melihat Anda kembali dengan… suasana hati yang jauh lebih baik.”
Vanessa meletakkan sisirnya, lalu berbalik. “Kau senang karena aku tampak lebih bahagia, atau karena kau ingin menertawakanku karena—” ia menunjuk lehernya, “—ini?”
Tatapan Sera jatuh ke leher sang Permaisuri dan cepat-cepat ia menunduk sopan, menahan senyum yang makin sulit dikendalikan. “Saya tidak menertawakan, Yang Mulia… hanya… ah, bagaimana ya. Rasanya menyenangkan melihat Anda dan Yang Mulia Kaisar akhirnya lebih dekat. Istana ini terasa seperti—lebih hidup.”
Vanessa mendengus, lalu berdiri dan berjalan ke arah tempat tidur, menarik selimutnya dengan gerakan cepat. “Sangat lucu. Harusnya kau jadi pelawak istana, bukan pelayan.”
Sera ikut berjalan mendekat, tangan terlipat di depan tubuhnya. “Tapi bukankah itu artinya kabar baik? Anda dan Yang Mulia… akhirnya saling terbuka.”
Vanessa duduk di tepi ranjang, lalu memeluk bantal dengan wajah merah merona—bukan karena marah, tapi karena terlalu sadar akan apa yang baru saja terjadi semalam… dan pagi tadi. “Terbuka? Aku tidak tahu apakah harus merasa senang atau… malu setiap kali melihat wajahnya sekarang.”
Sera terkikik pelan. “Wajar, Yang Mulia. Itulah yang terjadi… setelah seseorang akhirnya saling mencintai.”
Vanessa memalingkan wajah ke jendela, membiarkan angin sore menyentuh pipinya yang masih panas. Ia tidak menyangkal. Tapi tidak juga mengiyakan. Semua yang terjadi antara mereka terasa terlalu cepat, namun… terasa tepat.
“Jangan ceritakan apa pun ini pada siapa pun,” ucap Vanessa dengan cepat. “Kau tahu siapa yang akan paling tidak suka mendengar soal ini.”
Sera mengangguk, ekspresinya kini serius. “Saya tidak akan membiarkan wanita itu merebut kebahagiaan anda lagi.”
Lalu, sejenak keheningan mengisi kamar. Namun tak lama, Sera kembali bersuara dengan nada lembut.
“Tapi saya senang, Yang Mulia. Akhirnya, Anda benar-benar tampak seperti… milik tempat ini.”
Vanessa menatapnya, senyum kecil mengembang di bibirnya. “Kau benar-benar menyebalkan hari ini.”
Sera hanya tertawa pelan.
Langit di atas istana pusat tampak lebih biru dari biasanya, tapi tidak ada yang bisa menjernihkan kabut di dalam pikirannya.
Semua ini telah berubah.
Yang seharusnya terjadi bukan ini.
Dalam dunia yang ia kenal—dunia novel yang ia tahu—Maxime tidak pernah mencintai Vivienne. Ia mencintai Selene. Si wanita lembut berhati baik, penyembuh yang selalu bersinar dalam cerita. Sedangkan Vivienne? Dia adalah ratu terkutuk yang mati di akhir kisah. Dicaci, dikhianati, dan dibuang. Semua orang menyukainya hanya karena ia cantik dan bangsawan. Tidak pernah karena ia benar-benar dicintai.
Dan kini… Maxime justru menatapnya seperti itu.
Dengan mata yang penuh—bukan sekadar gairah, tapi juga pengakuan. Seolah ia benar-benar melihat dirinya. Bukan Vivienne. Bukan nama yang menempel padanya. Tapi dirinya. Vanessa.
“Bagaimana bisa?” batinnya bertanya.
Ia awalnya hanya ingin bertahan. Menjalani kehidupan dalam tubuh Vivienne sebisanya. Menjaga jarak dari pemeran utama, Selene, agar jalan cerita tetap berjalan—agar ajalnya tidak datang lebih cepat seperti yang ditulis dalam naskah takdir itu.
Namun semuanya telah keluar dari jalurnya.
Maxime mencintainya. Bukan dalam arti samar atau pura-pura. Tapi benar-benar. Terlihat dalam caranya menggenggam tangannya saat mereka berjalan di Belvoir, dalam cara dia membela dirinya di depan keluarga Edevane, dan terlebih… dalam cara dia menyentuhnya malam itu. Tak ada kebohongan di sana. Hanya ketulusan yang bahkan membuat Vanessa tak bisa bernapas.
Tapi di situlah masalahnya. Apakah ini berarti… Vivienne memang ditakdirkan untuk bersatu dengan Maxime?
“Apa aku egois kalau terus tinggal di sini?”
Vanessa menunduk, menggigit bibir bawahnya. Pertanyaan itu berputar di kepalanya tanpa henti.
Ia tahu—ini bukan tubuhnya. Ini bukan hidupnya. Tapi bukankah dia juga telah menderita cukup banyak? Bukankah dia juga telah berjuang untuk menjadi orang yang berbeda dari Vivienne yang dulu? Bukankah Maxime… jatuh cinta pada dirinya yang sekarang?
Tapi tetap saja, ada rasa bersalah yang menusuk tiap kali ia mengingat wajah Selene. Dan yang lebih membuat napasnya tercekat, adalah kenyataan bahwa kebencian Maxime terhadap Vivienne dulu… bukan kebencian kosong. Itu luka. Luka yang dibuat oleh Alderic. Luka yang diukir oleh pengkhianatan, oleh racun, oleh pernikahan paksa yang dijebak.
Vanessa mendesah, memijat pelipisnya. Memikirkannya terlalu lama hanya membuat kepalanya semakin pusing.
Apa yang harus ia lakukan? Tetap berada di sisi Maxime dan menerima perasaan ini, meski cerita dunia ini telah keluar dari jalur aslinya? Atau menjauh… sebelum semuanya menjadi terlalu dalam?
Saat ini, satu-satunya hal yang ia tahu pasti adalah—ia tak bisa lagi membohongi dirinya sendiri.
Ia mulai mencintai Maxime.
Dan itu… bisa saja menjadi hal terbaik atau terburuk yang pernah terjadi padanya.
double up thor
ya udah cerai aja vanesa