“Mutiara Setelah Luka”
Kenzo hidup dalam penyesalan paling gelap setelah kehilangan Amara—istrinya yang selama ini ia abaikan. Amara menghembuskan napas terakhir usai melahirkan putra mereka, Zavian, menyisakan luka yang menghantam kehidupan Kenzo tanpa ampun. Dalam ketidakstabilan emosi, Kenzo mengalami kecelakaan yang membuatnya lumpuh dan kehilangan harapan untuk hidup.
Hidupnya berubah ketika Mutiara datang sebagai pengasuh Zavian anak nya. Gadis sederhana itu hadir membawa ketulusan dan cahaya yang perlahan meruntuhkan tembok dingin Kenzo. Dengan kesabaran, perhatian, dan kata-kata hangatnya, Mutiara menjadi satu-satunya alasan Kenzo mencoba bangkit dari lembah penyesalan.
Namun, mampukah hati yang dipenuhi luka dan rasa bersalah sedalam itu kembali percaya pada kehidupan?
Dan sanggupkah Mutiara menjadi cahaya baru yang menyembuhkan Kenzo—atau justru ikut tenggelam dalam luka masa lalunya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zanita nuraini, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 17 KATA YANG TAK TERDUGA
Malam itu rumah Kenzo sebenarnya tenang. Tidak ada suara Aurel yang biasanya muncul seenaknya. Tidak ada tamu. Tidak ada keramaian. Hanya suara kipas langit-langit yang berputar pelan dan sesekali suara kecil Zavian yang terbangun minta susu.
Tapi meski rumah itu tenang, pikiran Kenzo justru tidak bisa ikut tenang.
Ia gelisah hampir semalaman. Berkali-kali memejamkan mata, namun tetap tidak bisa tidur nyenyak. Ada satu kalimat yang berulang-ulang muncul di kepalanya tanpa henti, suara Tiara yang terdengar lembut namun tegas.
“Alangkah baiknya tuan terapi fisioterapi biar sembuh seperti sedia kala demi baby Zavian. Biar dia bangga kalau papanya seseorang yang bisa dijadikan contoh di masa depan.”
Kalimat itu membuatnya sesak, tapi bukan marah. Justru karena merasa disentuh. Karena selama ini ia terlalu sibuk merasa gagal, merasa tidak berguna, merasa semua berakhir sejak kecelakaan itu.
Ia bahkan lupa bahwa Zavian membutuhkan sosok ayah yang kuat.
Kenzo menggeser tubuhnya di kursi roda. Tidur atau duduk, tetap saja gelisah. Setiap memejamkan mata, ia terbayang bagaimana Tiara menunduk takut setelah mengatakan saran itu. Seolah-olah Tiara takut sekali ia tersinggung.
Padahal… Kenzo sama sekali tidak marah.
Ia hanya tidak terbiasa ada yang berani mengingatkannya seperti itu. Dengan cara yang tidak menyakiti, tidak merendahkan, tapi juga tidak memanjakan.
Tiara mengatakannya karena peduli. Karena memikirkan Zavian. Karena benar-benar ingin Kenzo pulih.
Pikiran itu membuat dadanya terasa hangat, namun juga berat.
Hampir menjelang subuh barulah Kenzo bisa terlelap, itu pun bukan tidur nyenyak. Hanya terpejam karena tubuhnya lelah memaksa otak berhenti bekerja.
---
Pagi penuh kekhawatiran
Seharian itu Tiara tampak tidak tenang. Ia bolak-balik memeriksa kamar Kenzo, tetapi tidak berani masuk tanpa izin. Sesekali ia menggendong Zavian sambil melirik ke arah pintu ruang kerja Kenzo yang tertutup rapat.
Baby Zavian tidak rewel hari ini. Justru dia tenang sekali, seperti merasa papanya ada di rumah tapi tidak muncul.
Tiara menghela napas setiap kali Zavian menoleh ke arah pintu, seolah menunggu.
Tiara mulai benar-benar khawatir. Ia mendekap Zavian sedikit lebih erat.
“Baby… Bu Tiara salah, ya? Sampai papa kamu tidak mau keluar?”
Ia tidak tahu harus bagaimana. Ia takut ucapannya kemarin menyinggung Kenzo. Takut Kenzo merasa dirinya sok tahu. Takut ia sudah melewati batas sebagai pengasuh.
Saat ia sedang berdiri di dekat meja makan, Nyonya Saras datang menghampiri.
“Tiara, kamu kenapa? Dari tadi ibu lihat kamu gelisah sekali.”
Tiara menoleh cepat, menarik napas perlahan. “Bu… saya takut tuan Kenzo kenapa-napa. Atau mungkin marah sama saya karena saya bilang soal terapi itu, Bu. Saya cuma mengulang apa yang ibu pernah bilang ke saya, tapi…”
Suaranya merendah.
“Saya takut melampaui batas.”
Nyonya Saras tersenyum pelan, lembut. “Alhamdulilah, terima kasih ya, nak. Kamu sudah bilang itu pada Kenzo. Justru ibu senang ada yang mengingatkan dia. Karena kalau ibu yang bicara, biasanya dia malah keras kepala.”
Tiara mengangguk, tapi tetap tidak lega. “Tapi Bu… sampai sekarang tuan Kenzo tidak kelihatan. Bahkan tidak melihat baby Zavian hari ini. Saya jadi tambah khawatir…”
Nyonya Saras menghela napas pelan. “Kenzo ada zoom meeting penting dengan klien dari pagi. Itu sebabnya dia di ruang kerja terus. Dia tidak marah, Tiara. Anak ibu itu hanya butuh waktu mencerna semua hal.”
Tiara akhirnya sedikit lega. “Oh… pantesan Bu. Sudah mau sore begini tapi belum muncul.”
Nyonya Saras menepuk bahu Tiara. “Mudah-mudahan setelah kamu beri saran itu, dia mau terapi. Dan dengan dia sibuk lagi di kantor, rasa percaya dirinya kembali. Kita doakan saja sama-sama, ya.”
Tiara mengangguk mantap. “Aamiin, Bu… Mudah-mudahan begitu. Demi kebaikan baby Zavian juga…”
---
Kejutan kecil dari Zavian
Beberapa menit setelah percakapan itu, suasana kembali tenang. Tiara mengajak Zavian bermain di ruang keluarga. Ia menggelitik perut mungil Zavian, membuat bayi itu tertawa kecil.
Tiba-tiba, Zavian mengeluarkan suara berbeda. Bukan sekadar ocehan biasa.
“Pa… pa… pa…”
Tiara langsung terdiam.
Nyonya Saras juga berhenti melangkah.
Mereka berdua saling pandang, lalu perlahan menoleh ke belakang mengikuti arah tatapan Zavian.
Di ambang pintu ruang keluarga…
Terlihat Kenzo di sana.
Duduk di kursi rodanya.
Diam, menatap mereka bertiga.
Wajahnya tidak seperti biasanya. Bukan dingin, bukan datar, tapi seperti seseorang yang baru membuat keputusan besar setelah perang batin semalaman.
Tiara terpaku.
Nyonya Saras ikut berhenti di tempat.
Kenzo menatap ibunya dulu. Ada sedikit ragu, sedikit takut mengecewakan, tapi juga ada tekad.
Lalu tatapannya beralih ke Tiara.
Tatapan itu agak lama. Seolah-olah Kenzo ingin memastikan sesuatu. Atau mungkin sedang mengumpulkan keberanian.
Baby Zavian kembali mengoceh, lebih jelas dari tadi.
“Papa… pa…”
Kenzo menghela napas pelan, menutup mata sebentar seperti menenangkan diri, lalu membuka mata lagi.
Tiara menunggu.
Nyonya Saras memegang dadanya, tegang campur haru.
Kenzo akhirnya membuka mulut, suaranya rendah tapi mantap.
“Aku mau terapi…”
Selamat sore selamat membaca...