#Mertua Julid
Amelia, putri seorang konglomerat, memilih mengikuti kata hatinya dengan menekuni pertanian, hal yang sangat ditentang sang ayah.
Penolakan Amelia terhadap perjodohan yang diatur ayahnya memicu kemarahan sang ayah hingga menantangnya untuk hidup mandiri tanpa embel-embel kekayaan keluarga.
Amelia menerima tantangan itu dan memilih meninggalkan gemerlap dunia mewahnya. Terlunta-lunta tanpa arah, Amelia akhirnya mencari perlindungan pada mantan pengasuhnya di sebuah desa.
Di tengah kesederhanaan desa, Amelia menemukan cinta pada seorang pemuda yang menjadi kepala desa. Namun, kebahagiaannya terancam karena keluarga sang kepala desa yang menganggapnya rendah karena mengira dirinya hanya anak seorang pembantu.
Bagaimanakah Amelia menyikapi semua itu?
Ataukah dia akhirnya melepas impian untuk bersama sang kekasih?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mama Mia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
17. Hasil panen yang baik
.
Pagi yang cerah, secerah suasana di halaman rumah Bu Sukma. Para ibu-ibu yang berkumpul untuk berbelanja memuji sayur yang ditanam oleh Amelia. Warna hijaunya segar, daunnya lebar-lebar, dan terlihat sangat menggugah selera.
Amelia memang tidak menitipkan semua sayurnya ke Mas Diman berjaga jika ada tetangga yang akan meminta. Dan Mas Diman pun juga tidak keberatan. Karena biasanya sayur yang dibawa oleh Mas Diman selalu habis terjual sebelum mas Diman sampai di desa Karangsono.
"Wah, Neng Amelia ini memang pintar ya," celetuk Bu Parmi, salah satu tetangga yang sering membeli sayur di tempat Amelia. "Sayurnya seger-seger gini, jadi pengen masak macem-macem."
"Iya Bu," timpal Bu Lastri. "Saya juga heran, kok bisa ya sayurnya Neng Amelia ini lebih bagus dari punya saya di rumah. Padahal kan saya juga nyonto punya Mbak Amel. Saya tanam di paralon juga."
Amelia tersenyum mendengar pujian para tetangga. Ia merasa senang karena hasil kerja kerasnya dihargai. Para tetangga yang dulu julid, kini berubah solid. Tentu saja, karena Amelia tak segan menambahkan sayur yang mereka beli.
"Alhamdulillah, Bu. Sebenarnya sama saja kok dengan sayur lain," jawab Amelia merendah.
“Gak sama loh, Mbak. Beneran. Punya saya itu kayak warna hijaunya terlalu tua, gelap gitu. Gak cerah kayak gini. Terus daunnya itu kayak kaku, kerut-kerut gitu."
Mungkin ini yang bisa disebut orang aneh. Punya sayur sendiri tapi malah beli di tempat lain.
“Itu mungkin karena ibu kebanyakan pupuk kimia," terang Amelia. “Ibu pake pupuk urea ya?" tanya Amelia yang dijawab dengan anggukan kepala. "Kalau untuk sayur itu lebih baik pupuk ZA. Tapi, kalo Ibu mau yg organik seperti ini, ini Amel cukup pake kompos sama kohe saja, Bu." Amelia tak segan berbagi ilmu. Ia juga mengajarkan bagaimana membuat insektisida alami dari kulit bawang dan empon-empon.
" Yur sayur…!” Suara merdu Mas Diman, si tukang sayur langganan, datang dengan gerobak motornya. Ia memarkirkan gerobaknya di depan rumah Bu Sukma dan mulai menawarkan dagangan.
Para ibu-ibu yang tadi berbincang dengan Amelia segera berhamburan mendekat. Sayuran memang ada di tempat Amelia, tapi mereka tetap butuh belanjaan yang lain.
"Pindangnya satu keranjang berapa, Mas?" tanya Bu Wartini.
“Yang kecil isi lima tujuh ribu. Yang besar isi tiga sepuluh ribu, Bu," teriak Mas Diman yang malah meninggalkan gerobaknya, memilih mengamati tanaman cabai, terong, dan tomat yang baru mulai berbunga.
"Ngomong-ngomong Bu Sukma kok nggak kelihatan ke mana, Mbak?" tanya Mas Diman, celingukan mencari Bu Sukma.
"Ibu lagi nganterin kiriman makanan di sawah Mas," jawab Amelia yang sedang mengambil dawet sama getthuk untuk diberikan pada pak Marzuki. "Sawah kita lagi panen," terangnya
Mas Diman mengangguk mengerti. "Oalah, pantesan aja," ucap Mas Diman.
Saat ini memang musim panen di desa Karangsono, dan juga desa-desa lainnya. Mas Diman bahkan merasa ibu-ibu yang belanja pun berkurang jumlahnya, karena sebagian dari mereka ada yang ikut bekerja memanen padi di sawah tetangga. Para tetangga yang sibuk dan tak sempat masak, memilih membeli sayur yang sudah matang. Karena itu mas Diman juga menambahkan sayur dan lauk matang dalam dagangannya.
*
Sementara itu, di sawah, Bu Sukma sedang berbunga hatinya karena hasil panen padinya jauh lebih baik dari panen sebelumnya. Bahkan bisa dibilang yang paling bagus di antara milik para tetangga yang lain.
"Wah, Bu Sukma beneran gol," puji Bu Sarni yang ikut bekerja di sawahnya. "Padinya bagus banget, bulirnya besar-besar, uliannya panjang juga. Mana utuh lagi, gak tersentuh keong," lanjutnya sambil menyeruput kopi.
"Iya Bu," timpal Bu Darmi. "Sawah saya ini malah banyak keongnya. Panennya berkurang separuh."
"Alhamdulillah Bu ibu," jawab Bu Sukma dengan senyum sumringah. "Ini semua juga berkat berkah dari Allah SWT."
"Iya loh, Bu. Pake jampi-jampi apa, kok keongnya kaya gak berani datang?" tanya pak Sukri si pemilik mesin penggiling padi.
Bu Sukma pun kemudian menceritakan tentang bagaimana caranya Amelia menanggulangi hama keong itu. Para pekerja pun mengangguk paham dan berkata mereka akan menerapkan apa yang pernah dilakukan Bu Sukma dan Amelia.
Saat mereka sedang berbincang sambil menghabiskan sarapan, Raka yang kebetulan juga sedang memantau para pekerja di sawah, datang mendekat. Kabar tentang tanaman padi di sawah Bu Sukma memang telah menjadi perbincangan.
Raka menyapa para warganya yang sedang bekerja lalu ikut berbincang.
"Wah… Pak Kades. Libur nggih, Pak?” sapa pak Sukri. Panggilan terhadap raja pun berubah setelah ia menjabat sebagai kepala desa.
"Nggih, Pak Sukri. Ini penasaran mau lihat hasil panen Bu Sukma,” jawabnya ramah. Sementara ia dan pak Sukri berbincang, para pekerja lainnya sudah kembali melanjutkan pekerjaan mereka.
Tak lama, Bu Sukma pun berpamitan pulang. Karena IIA harus menyiapkan msakan untuk kiriman makan siang.
“Ayo sama saya saja, Bu," ajak Raka menawarkan diri. Ia memang membawa sepeda motor.
Bu Sukma merasa sungkan, tapi Raka kekeh mengatakan kalau dia kebetulan akan pergi ke suatu tempat yang melewati rumah Bu Sukma. Akhirnya, Bu Sukma pun menerima tawaran Bu Sukma.
Amelia yang sedang menyiangi rumput di sela-sela polibek, mengangkat kepalanya saat mendengar suara sepeda motor masuk ke halaman rumah.
"Assalamualaikum, Mbak,” sapa Raka.
"Mas Raka,” gumamnya. "Waalaikumsalam,” jawabnya. Keningnya berkerut dengan kedatangan pria itu. Tapi sesaat kemudian ia terbelalak melihat siapa yang turun dari boncengan Raka.
“Lho, Ibu?" Amelia bergegas mendekat. “Kok ibu dibonceng Pak Kades? Ibu kenapa?” tanyanya. Khawatir ada sesuatu terjadi pada ibunya.
"Ibu gak papa, Neng," jawab Bu Sukma yang tahu kekhawatiran Amelia. “Tadi kebetulan Den Raka juga pas lagi lihat yang kerja di sawah, terus pulangnya barengan.”
“Iya, Mbak. Kebetulan searah aja, makanya saya ngajak Bu Sukma." Raka ikut menjelaskan.
“Oh…” Amelia mengangguk paham. "Syjurlah kalo Ibu gak papa,” ucapnya. "Oh iya, emangnya Pak Kades mau ke mana?” Amelia bertanya dengan tatapan penasaran karena Raka mengatakan searah.
Raka gelagapan mendengar pertanyaan Amelia. "Oh, itu, anu, apa…” Raka menggaruk tengkuknya. "Maksudku ya, itu, aku sekalian mau ke sini.”
Plong
Akhirnya jawaban jujur menjadi pilihan. Lagipula, dia mau bilang ke mana. Tidak ada toko atau apapun di jalan setelah melewati rumah Bu Sukma.
Amelia ternganga. Mulutnya setengah terbuka.
"Ngomong-ngomong, jangan panggil aku dengan sebutan itu bisa gak sih. Kayak gimana gitu kalo kamu manggil aku Pak kades.”
"Lhah…? Kan memang Pak Kades? Yang lain kan juga manggil gitu?” Amelia tak mengerti. Padahal dia juga hanya mengikuti apa yang dia dengar.
Raka kembali menggaruk tengkuknya. Bagaimana caranya bicara? "Itu kan orang lain? Aku maunya kamu manggil aku tetap seperti biasanya,” ucap Raka yang bahkan mengganti kata saya dengan aku.
Amelia memicingkan mata. Bukannya ia tak tahu dengan isyarat yang berkali-kali dilempar oleh Raka. Tapi jika mengingat bagaimana sikap Sundari…
bentar lagi nanam padi jg 🥰