NovelToon NovelToon
Aji Toba

Aji Toba

Status: sedang berlangsung
Genre:Perperangan / Misteri / Epik Petualangan / Horror Thriller-Horror / TimeTravel / Penyeberangan Dunia Lain
Popularitas:232
Nilai: 5
Nama Author: IG @nuellubis

Masih kelanjutan dari PETUALANGAN AJI DI MASA DEPAN.

Petualangan Aji kali ini lebih kelam. Tidak ada Pretty, dkk. Hanya dirinya, Sari (adiknya), bidadari nyentrik bernama Nawang Wulan, Tumijan, Wijaya, dan beberapa teman barunya seperti Bonar dan Batubara.

Petualangan yang lebih kelam. Agak-agak horor. Penuh unsur thriller. Sungguh tak bisa ditebak.

Bagaimanakah dengan nasib Pretty, dkk? Oh, tenang, mereka masih memiliki porsi di serial ini!

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon IG @nuellubis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Di Pesisir Lain di Sekitar Selat Malaka

Perjalanan itu tidak berlangsung lama, tetapi terasa seperti malam yang ditarik memanjang. Sari dibawa menyusuri jalur pesisir Selat Malaka yang jarang disentuh peradaban. Di sebelah kiri, laut menghampar hitam berkilat, memantulkan sisa cahaya bintang. Di sebelah kanan, hutan bakau berdiri rapat, akarnya mencuat seperti jemari yang mencengkeram bumi.

Mereka berhenti di sebuah ceruk pantai sempit. Di sana berdiri rumah kayu tua beratap daun nipah, nyaris menyatu dengan alam. Tidak ada lampu, hanya bara kecil di dalam tempurung kelapa yang menyala redup, cukup untuk memberi cahaya tanpa mengundang perhatian.

“Inilah tempat yang aman,” ujar perempuan paruh baya yang sejak tadi berjalan paling depan. Rambutnya memutih seluruhnya, tapi punggungnya masih tegak. Wajahnya keras, seperti karang yang sudah lama diterpa pasang surut. Sari mendengar orang-orang lain memanggilnya "Nenek", tanpa menyebut nama.

“Aman menurut kalian,” balas Sari pelan. Ia masih memeluk dirinya sendiri, kain di pundaknya terasa berat tapi menenangkan. “Tapi aku belum kenal siapa kalian.”

Nenek itu menatapnya lama. Tatapannya tidak lembut, tapi jujur. Di benak Sari, itu jenis kejujuran yang tidak dibuat-buat untuk menyenangkan siapa pun.

“Wajar,” katanya akhirnya. “Kau sudah terlalu banyak dikhianati hingga malam tadi.”

Di dalam rumah, Sari diberi air hangat dan makanan sederhana. Tak ada yang memaksanya bicara. Itu justru membuat dadanya terasa sesak. Karena untuk kali pertama sejak diculik, orang-orang di sekelilingnya memperlakukannya seolah ia masih punya kendali atas tubuh dan dirinya sendiri.

Di luar, laut bergelombang pelan.

“Lalu… yang lain?” tanya Sari setelah beberapa saat. “Orang-orang itu?”

Nenek menghela napas. Api kecil di tempurung berkeresek. “Mereka tidak dibawa ke sini.”

“Ke mana mereka dibawa?”

“Ke tempat di mana kata-kata tidak bisa lagi diputar-putar.”

Sari menatapnya. Ada sesuatu dalam suara Nenek. Sepertinya itu bukan dendam, melainkan kepastian. “Kalian tidak membunuh mereka, bukan?”

Nenek menggeleng pelan. “Tidak semua keadilan berakhir dengan kematian. Ada yang malah berakhir dengan pengakuan.”

Yang lainnya menimpali, "Kami tidak sejahat yang kau kira. Percayalah, kami di pihakmu."

Nenek itu lalu bangkit dan melangkah keluar. Sari, entah kenapa, mengikutinya. Mereka berhenti di tepi pantai, di tempat pasir bertemu air.

“Di pesisir seperti ini,” kata si Nenek, “ada pertemuan lama. Jalur dagang, jalur darah, jalur cerita. Dari Sriwijaya sampai Majapahit, dari Gujarat sampai tanah Melayu. Dan di antara jalur itu, tumbuh hukum yang tidak ditulis di daun lontar.”

Sari merasakan bulu kuduknya meremang.

“Mereka yang menculikmu,” lanjut si Nenek, “akan dihadapkan pada pengadilan adat tua. Itu bukan hanya sekadar adat manusia.”

Seolah menanggapi garis waktu itu, di kejauhan, yang di batas antara darat dan laut, sepertinya muncul cahaya-cahaya kecil. Bukan obor atau api biasa. Cahaya itu menggantung rendah, bergerak perlahan membentuk lingkaran di sebuah dataran berpasir luas.

Sari memicingkan mata. “Apa itu?”

“Tempat pengadilan,” jawab si Nenek. “Biasanya orang tidak bisa melihatnya jelas. Tapi kau… kau bisa.”

Di tempat lain, kelompok penculik itu digiring, tangan mereka terikat bukan oleh tali, melainkan oleh rasa berat yang menekan bahu dan dada. Setiap langkah terasa seperti berjalan melawan arus sungai. Mereka dibawa ke lingkaran cahaya itu, di mana duduk para tetua dari berbagai rupa. Ada yang jelas manusia, ada yang bayangannya terlalu panjang untuk disebut manusia sepenuhnya.

Di tengah lingkaran, sebuah batu datar besar menjadi alas. Di sanalah kebenaran diletakkan untuk ditimbang.

“Siapa yang memberi perintah?” tanya salah satu suara. Tidak keras, tapi gema suaranya membuat lutut mereka melemas.

Sementara itu, di pantai, Sari menggenggam lengannya sendiri lebih erat. Hatinya berdebar tidak karuan. Ia tidak merasa puas, tidak juga lega. Hanya kosong yang berdenyut pelan.

“Kenapa aku tidak dibawa ke sana saja?” tanya Sari.

Nenek menatap laut. “Karena yang diadili bukan kau. Kau malah sudah cukup menghadapi kegelapan.”

Sari terdiam. Lalu, pelan-pelan, air mata yang sejak tadi tertahan jatuh juga. Bukan tangis keras. Ah, itu hanya aliran sunyi yang membawa pergi rasa sesak di dadanya.

“Apakah Mas Aji…” suaranya patah. “Apakah Mas Aji tahu aku di sini?”

Si Nenek menoleh. Kali ini, ada sedikit kelembutan di matanya. “Dia sedang mendekat, malah. Tidak lewat jalan biasa.”

Sari mengangkat wajahnya. “Benarkah?”

“Bagi orang seperti Aji,” kata Nenek, “waktu dan jarak hanyalah tirai yang tipis sekali.”

Angin laut bertiup. Di kejauhan, cahaya lingkaran pengadilan meredup satu per satu, seperti bintang jatuh ke laut. Proses di sana berjalan tanpa saksi, tanpa sorak. Hanya keputusan.

Di ceruk pantai kecil itu, Sari akhirnya duduk bersandar pada tiang rumah kayu. Tubuhnya lelah, jiwanya terkoyak, tapi ia masih hidup. Masih utuh di satu hal yang paling penting. Itu mungkin kehendak dari Sang Pencipta.

Malam itu, di pesisir Selat Malaka, dua hal terjadi bersamaan. Yang pertama,sebuah pengadilan lama yang sedang menagih harga dari sebuah pengkhianatan. Yang kedua, dari seorang gadis yang tengah belajar bahwa sekalipun dunia bisa kejam, ia masih punya tempat untuk bertahan.

*****

Sementara itu, di Pulau Samosir, atau tepatnya, di tempat persembunyian Jaka Kerub, Aji menghentikan semedinya. Napasnya terengah-engah. Di pikirannya, ia melihat bagaimana adiknya diperkosa, lalu beberapa hari kemudian, Sari diselamatkan dan dibawa ke sebuah tempat.

Jaka Kerub mendekatinya. Ia memberikan Aji sekendi air. Katanya, "Apa yang kau lihat, Aji?"

Aji menerima kendi itu dengan tangan gemetar. Airnya terasa dingin saat menyentuh bibirnya, tapi tidak ada yang mampu mendinginkan apa yang bergolak di dadanya. Matanya merah, bukan hanya karena lelah bersemedi, melainkan karena gambaran-gambaran yang menancap kasar di kepalanya. Itu terlalu nyata untuk disebut mimpi. Bahkan itu terlalu sakit untuk diabaikan.

“Aku melihat Sari,” jawab Aji akhirnya.

Suara Aji terdengar parau, seperti tergores dari dalam. “Aku melihat penderitaannya. Aku melihat kebiadaban manusia… dan aku melihat ia diselamatkan. Dibawa jauh, tapi masih di pesisir. Ada laut. Ada perempuan tua.”

Jaka Kerub mengangguk pelan, seolah itu mengonfirmasi sesuatu yang sejak awal ia ketahui. “Penglihatanmu sudah menembus lapisan yang belum sepenuhnya kau sadari.”

“Tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa!” Aji membentak, lalu segera menyesal. Ia menunduk, tangannya mengepal. “Aku hanya melihat. Seperti seorang pengecut saja.”

Jaka Kerub duduk di hadapannya, jaraknya cukup dekat untuk menyentuh bahu Aji jika ia mau. Namun ia memilih tidak melakukannya. “Melihat bukan kepengecutan, Aji. Banyak orang bahkan tidak sanggup membuka mata batinnya."

Aji menggeleng keras. “Aku kakaknya. Seharusnya aku ada di sana. Untuk menyelamatkannya.”

“Dan kau akan ada di sana,” balas Jaka Kerub tegas. “Tapi bukan dengan cara lama.”

Angin dari danau berembus masuk, membuat api kecil di sudut persembunyian bergetar. Jaka Kerub menatap nyala itu sejenak, lalu kembali ke Aji. “Pengalaman pahit yang kaulihat bukan untuk menghancurkanmu. Itu panggilan, kurasa.”

“Apa maksudmu?” Aji mengangkat kepala.

“Kau sudah satu langkah lebih dekat untuk mengendalikan pikiranmu sendiri,” ujar Jaka Kerub. “Penglihatan itu muncul tanpa lubang hitam, tanpa kau terseret. Itu artinya kesadaranmu mulai memimpin.”

Aji terdiam. Di balik amarah dan duka, ia menyadari satu hal. Bahwa selama penglihatan itu berlangsung, ia tidak akan kehilangan dirinya. Ia tidak terlempar. Namun ia akan tetap ada untuk menyaksikan.

“Perempuan tua itu,” kata Aji pelan. “Ia benar-benar melindungi Sari. Aku bisa merasakannya.”

“Benar,” sahut Jaka Kerub. “Dan perlindungan itu tidak datang sembarangan, Aji.”

Jaka Kerub berdiri, lalu mengambil sebilah pisau kecil dan menancapkannya ke tanah di antara mereka. “Dengar baik-baik. Mulai malam ini, latihanmu berubah. Bukan lagi soal berlari atau menahan napas. Tapi ini tentang memilih."

“Memilih apa?”

“Memilih kapan kau akan hadir,” jawabnya. “Dan kapan kau tidak boleh terlambat.”

Aji menatap pisau itu, lalu menggenggam kendi yang perlahan jadi kosong. Di dalam dadanya, amarah masih ada, duka masih menggumpal. Namun kini, di antaranya tumbuh sesuatu yang baru.

“Aku akan datang menjemput adikku,” ucap Aji lirih, tapi tak tergoyahkan.

Jaka Kerub tersenyum tipis. “Jangan tergesa-ges, Aji."

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!