Goresan ISENG!!!
Aku adalah jemari yang gemetar. Berusaha menuliskan cinta yang masih ada, menitip sebaris rindu, setangkup pinta pada langit yang menaungi aku, kamu dan kalian.
Aku coba menulis perjalanan pulang, mencari arah dan menemukan rumah di saat senja.
Di atas kertas kusam, tulisan ini lahir sebagai cara melepaskan hati dari sakit yang menyiksa, sedih yang membelenggu ketika suara tidak dapat menjahit retak-retak lelah.
Berharap kebahagiaan kembali menghampiri seperti saat dunia kita begitu sederhana.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aksara_dee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
17. Tawaran Pekerjaan
Kreekk...
Suara pintu dibuka dan ditutup lagi di ruangan Wina. Ia meletakkan tas laptop, lunch box dan tumbler di atas meja. Jantungnya nyaris melompat saat membalik tubuh, sofanya sudah diisi lelaki bertubuh tinggi yang sedang tertidur pulas. Kakinya sampai menjuntai sebagian karena sofa di ruangannya hanya berukuran satu setengah meter.
"Dokter Sabil! Ini ruang praktek bukan ruang tidur," tegur Wina.
Bukannya bangun saat ditepuk bahunya, ia malah berpindah posisi tidur menghadap punggung sofa. "Sofa kamu biar kecil tapi bikin nyaman, seperti Hania," gumamnya.
"Sudah jam delapan, pasienku sudah antri di ruang tunggu." Wina memukul bahunya lagi.
"Sepuluh menit lagi."
"Dokter Sabil Arkan Rasyid!" teriak Wina. Sabil bergeming.
Wina keluar ruangan untuk memanggil perawat, "suster saya sudah bisa mulai. Panggil pasien pertama." suara Wina sengaja diperkeras agar Sabil mendengar.
"Panggilan untuk nomer antrian satu, dipersilahkan masuk ruang praktek dokter Wina." suara speaker di luar ruangan terdengar ke ruang Wina.
Dengan wajah bantal, Sabil bangun dari tidurnya. Ia mengusap wajahnya sebentar, lalu berdiri gontai ke depan pintu. Tangannya dengan cekatan mengunci pintu dari dalam.
"Sabil! Pasienku sudah dipanggil." Wina melotot melihat sikap juniornya itu.
"Dimana Hania, katakan sekarang baru aku bukakan ruang praktek mu."
"Akan aku laporkan sikapmu pada presdir!"
"Laporkan saja, beliau akan tahu kamu melanggar perintahnya. Kamu tidak membawa Hania ke rumah sakit yang beliau rekomendasikan, betul begitu?!"
"Itu bukan lagi urusanmu. Dia pasienku, dia sudah dilimpahkan ke rumah sakit lain."
"Rumah sakit lain? Atau tempat lain? Aku sudah mencari keberadaan Hania di setiap rumah sakit, tapi dia tidak ada."
"Kamu tuh ya... Nggak ngerti lagi deh cara ngomong sama kamu." Wina mendengus kesal
Tok Tok Tok
"Dokter apa sudah siap menerima pasien?" tanya perawat yang menjaga meja pendaftaran.
"Belum siap. Dokter Wina sedang rapat dengan Kepala Divisi, katakan begitu." Sabil berteriak di depan pintu. "Sekali lagi ku bertanya, dimana Hania?"
"Bil untuk apa sih kamu mencari dia lagi, biar dia tenang jangan libatkan dia pada urusanmu."
"Aku tidak akan beranjak sampai kamu sebutkan alamat dimana Hania dirawat atau tempat tinggal saat ini. Banyak yang harus aku tanyakan padanya."
"Apa yang ingin kamu tanyakan?"
"Tentang lelaki di foto ini, ada keanehan Wina. Sosok ini bahkan bisa terekam kamera cctv Hania setiap malam dan juga di kamera handphoneku." menunjukkan foto lelaki yang ada di galeri fotonya.
"Kamu ke rumahnya? Kapan? Bagaimana kamu bisa tahu CCTV rumahnya, kamu membuka handphonenya? Itu Privasi, Bil! Nggak nyangka kamu segitunya pada adik sepupuku. Kamu terobsesi padanya, dokter!" cecar Wina
"Katakanlah aku terobsesi pada Hania. Tapi jauh di lubuk hatiku aku sangat ingin menolong dan melindunginya, Win. Dia perlu bantuan, dan ini akan menjadi bahan riset di program S3 ku nanti" dalih Sabil memunculkan banyak praduga.
"Alasanmu nggak masuk akal!" suaranya penuh tekanan.
"Untuk saat ini aku belum bisa membuktikan apa-apa tentang ucapanku. Setelah bertemu Hania, kamu bisa tanyakan lagi bagaimana progres pengobatanku pada Hania."
Wina terdiam, kesal, marah tapi juga penasaran, menjadi satu rasa. "Dua minggu lagi kamu baru bisa bertemu dengannya."
"D—dua minggu? Menunggu satu malam pun aku sudah sangat penasaran ingin menanyakan langsung padanya. Dua hari!" tawar Sabil
"Satu minggu, atau tidak sama sekali."
Sabil menarik napas dengan berat, "baik, Jum'at sore kukejar jawabanmu!" Sabil membuka kunci pintu ruangan lalu mengedipkan sebelah matanya pada Wina yang masih uring-uringan.
"Jum'at itu baru lima hari belum satu minggu, dokter Sabil!" teriak Wina.
Setelah kepergian Sabil, Wina melaporkan kelakuan sang menantu pada Papa mertuanya yang juga atasan Wina. Dia tidak ingin disangkutpautkan dengan gosip atau hal apapun karena kebiasaan Sabil sering tidur di ruang kerjanya. Nama baiknya harus ia jaga sebagai seorang dokter. Namun jawaban profesor Darmono sungguh mencengangkan, membuat Wina akhirnya paham bagaimana rumah tangga juniornya itu sebenarnya.
"... Dia sedang menghindari aku, Wina. Surat pemanggilan sidang perceraian pertama mereka sudah sampai ke rumahku. Biarkan dia tidur dimanapun dia nyaman, asal jangan di tempat yang tidak seharusnya," ucap profesor Darmono suaranya terdengar letih.
...***...
"Hania, bagaimana menurutmu langit hari ini?" tanya dokter Elya
Aku masih enggan berpaling dari langit yang biru, "sedang indah dok, mungkin karena hari ini saya mau pulang."
"Apa yang dirindukan dari rumah?" tanyanya lagi.
"Teh, meja kayu, suara burung, kucing anggora, tanaman, hangatnya dapur dengan aroma masakan. Semua untuk melatih fokus dan keseimbangan diri, dok."
Dari pantulan kaca jendela, aku bisa melihat kenangan di binar mataku sendiri
"Tenang, kamu lebih menyukai hidup tenang," ucapnya sambil menempelkan stetoskop di dadaku.
"Kadang saya merindukan ritme kehidupan yang cepat, kopi yang panas dengan rasa yang pekat, atau aroma latte dan karamel yang menguar menusuk ke rongga hidung, suara mesin kasir yang terus bekerja. Tapi setelah lama tinggal di rumah sakit, sepertinya itu tidak mungkin terjadi. Saya fokus untuk sembuh dulu."
"Kamu bisa mulai aktifitas kecil dulu, mungkin menanam bunga. Kudengar dari Wina kamu ahli merangkai bunga," katanya.
"Dokter Wina terlalu melebih-lebihkan dok, hanya hobi. Kebetulan mama punya toko bunga sebelum meninggal, saya sempat melanjutkan usahanya. Tapi sekarang harus tutup sementara."
"Saya punya toko florist, kalau kamu mau bergabung... Pintuku terbuka lebar." Sebuah ajakan tulus diiringi tatapan meyakinkan.
"Dokter serius? Tapi saya... Dokter tahu penyakit saya. Apa nggak terlalu cepat dokter menawarkan kerjasama pada orang yang gangguan—"
"Hania, tidak ada orang yang meminta ujian. Penyakit merupakan ujian dari Tuhan. Semua atas kuasa-Nya. Dia memilihmu, karena Dia tahu kamu kuat, kamu bisa melewati badai ini. Penyakitmu bukan sesuatu yang harus ditakuti, tapi harus kamu hadapi. Dunia luar tidak menunggu kamu bangkit, tapi kebangkitan harus ada kemauan dari dirimu sendiri."
"Jika dokter bisa mempercayai saya, akan saya ambil tawaran itu. Saya bisa mulai kapan, dok?"
"Terserah kamu sampai kamu siap, ini alamat florist nya." dokter Elya menyerahkan kartu nama.
"Terima kasih dok, akan saya bicarakan dulu dengan Kak Wina."
"Hu'um. Baiklah Hania, siap-siap untuk pulang sebentar lagi Wina menjemputmu."
"Terima kasih dokter."
Tepat pukul lima sore, Wina menjemput ku di rumah sakit. Dia merayuku untuk tinggal bersamanya. Sebenarnya aku ingin menolak, tapi karena kupikir dia ingin memastikan aku sembuh total, Aku lebih baik menuruti kemauannya.
Tiba di halaman rumahnya, ibu mertua Kak Wina menatapku dengan sinis. Aku mengangguk sopan untuk menyapanya, tapi bukan membalas senyuman wanita paruh baya itu justru membuang muka.
"Semua aja kamu tampung di rumah suamimu ini, Win. Udah kayak panti dinas sosial menampung orang gila yang terlantar!" suara tajam itu merobek dadaku hingga melukai walaupun tidak berdarah.
"Mama! Hania adikku, jangan bicara seperti itu."
"Adik sepupu bukan adik kandung," bantahnya sambil meletakkan cangkir teh di atas meja dengan sedikit kasar.
"Mama! Wisnu tidak keberatan Hania tinggal di sini. Kalau mama masih ingin tinggal di sini, tolong jaga sikap mama." bang Wisnu angkat bicara, menegur mamanya.
"Hania, ayo kami antar kamu ke kamar. Tolong jangan hiraukan ucapan mamaku ya." bang Wisnu mengabaikan mamanya yang masih terus menggerutu.
Dua hari berada di rumah Kak Hania dimana setiap kali pasangan suami istri itu berangkat kerja, aku hanya bertiga dengan mama mertua Kak Hania dan pembantu rumahnya. Duniaku terasa di dalam neraka, ada saja tingkah wanita paruh baya itu untuk membuatku merasakan ketidaknyamanan. Seperti pagi tadi, tanpa ada sebab, dia melemparkan panci ke arahku yang sedang membuat sarapan. Aku memilih kembali ke kamarku daripada menjadi sasaran kemarahannya.
Hari ketiga aku memutuskan, mendatangi toko florist milik dokter Elya untuk melamar pekerjaan. Walau sejenak ada keraguan akan kesehatanku, aku terpaksa memilih keluar rumah dan bekerja daripada harus bersinggungan dengan mama mertua Kak Wina setiap hari. Aku juga tidak ingin mengadukan kelakuan mama bang Wisnu pada Ka Wina, aku khawatir laporanku akan merusak hubungan pasutri yang baru menjalani bahtera rumah tangga selama satu tahun.
Puji syukur mereka langsung menerima lamaranku, aku langsung memulai bekerja hari itu juga, mereka kekurangan tenaga perangkai bunga, sementara pesanan sedang membludak untuk acara wisuda sebuah universitas.
Aku merasa hidupku kembali seperti dulu, sibuk dan fokus pada pekerjaan. Walau tanganku masih seringkali gemetar ketika ada pelanggan yang agak kasar, aku berusaha melawan rasa takut dan memfokuskan pikiran semua akan baik-baik saja.
Triing!
"Selamat siang, selamat datang di Madani Florist. Ada yang bisa kami bantu pak?" suara Icha, rekan kerjaku, menyapa pelanggan.
Aku masih fokus merangkai bunga plus buah, pesanan Kepala rumah sakit untuk kerabatnya. Tidak begitu memperhatikan pelanggan baru yang saja masuk. Tapi aroma parfumnya yang hangat mengingatkan aku pada seseorang. Seseorang yang tatapannya teduh dan hangat.
Aku mengangkat wajahku ke arah meja pesanan.
Deg!
Dokter Sabil sedang menatap ke arahku dengan tatapan seperti malam itu. Hangat, menenangkan namun kali ini ada kerapuhan jiwanya yang tidak bisa ia tutupi dari sorot matanya.
"Hi, bagaimana kabarmu, Hania," tanyanya melangkah semakin mendekat ke arahku. Tatapannya terus menempel padaku.
"Baik, dokter."
Aku tersenyum, entah kenapa aku bahagia dengan pertemuan tidak terduga ini, sampai aku lupa menanyakan ia ingin pesan bunga apa.
"Aww... " tanganku tertusuk duri mawar tanpa sengaja karena terus menatap matanya yang juga menatap ke arahku.
Tiba-tiba tangan besarnya sudah menangkap jariku dengan wajah khawatir.
"Biarkan darahnya mengalir dulu baru kita obati."
"Hanya luka kecil dok," ucapku sambil menarik diri.
*
merinding aku Thor.....😬
kenapa prabu seperti nya marah ?