Amara dipaksa menikah dengan Arya, pria yang ia cintai sejak kuliah. Namun, Arya, yang sudah memiliki kekasih bernama Olivia, menerima pernikahan itu hanya di bawah ancaman dan bersumpah tak akan pernah mencintai Amara.
Selama setahun, Amara hidup dalam penjara emosional, diperlakukan seperti hantu. Tepat di hari jadi pernikahan yang menyakitkan, Amara melarikan diri dan diselamatkan oleh Rendra, sahabat kecilnya yang telah lama hilang.
Di bawah bimbingan Rendra, Amara mulai menyembuhkan luka jiwanya. Ia akhirnya bertanya, "Tak pantaskah aku dicintai?" Rendra, dengan tegas, menjawab bahwa ia sangat pantas.
Sementara Amara dan Rendra menjalin hubungan yang sehat dan penuh cinta, pernikahan Arya dan Olivia justru menghadapi masalah besar akibat gaya hidup Olivia yang suka menghamburkan uang.
Pada akhirnya, Amara menemukan kebahagiaannya yang pantas bersama Rendra, sementara Arya harus menerima konsekuensi dari pilihan dan sikapnya di masa lalu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Isma Malia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perang Dingin di Mulai
Setelah perjalanan yang sunyi, mereka tiba di gedung apartemen modern yang mewah. Bima memimpin mereka masuk.
"Koper Anda sudah diantar lebih dulu ke atas, Nyonya, Tuan," kata Bima.
Mereka naik ke lantai teratas. Pintu apartemen terbuka, memperlihatkan unit penthouse yang sangat luas dengan pemandangan kota Jakarta yang menakjubkan.
Arya berjalan langsung ke ruang kerja. "Aku butuh istirahat. Jangan ganggu aku," katanya singkat, lalu menutup pintu di belakangnya dengan keras.
Amara berdiri di ruang tamu yang luas itu, ditinggalkan sendirian. Ia menatap pintu yang tertutup di depannya.
Bima, yang masih berdiri di sana, memberikan instruksi terakhir. "Nyonya Amara, tugas saya selesai di sini. Sistem keamanan gedung ini adalah yang terbaik. Jika ada hal mendesak, Anda bisa menghubungi nomor yang sudah saya sediakan di meja resepsionis apartemen. Saya permisi."
Amara mengangguk. "Terima kasih, Bima."
Setelah Bima pergi, Amara berjalan menuju jendela kaca lebar, melihat pemandangan kota.
Ia kini resmi menjadi Nyonya Arya Aldridge, terikat kontrak yang dingin. Ia dikurung di penthouse mewah bersama seorang pria yang membencinya. Di bawah semua kemewahan ini, ia tahu pernikahan ini hanyalah kepura-puraan yang menyakitkan, dan ia harus menemukan cara untuk menjalani sandiwara ini sendirian.
...***...
Begitu pintu ruang kerja tertutup rapat, Arya menghela napas panjang, menikmati kebebasan singkat dari pengawasan Bima dan kehadiran Amara. Ia tidak menyalakan lampu, lebih memilih bayangan untuk meredakan kepalanya yang berdenyut. Hal pertama yang ia lakukan adalah mengeluarkan ponselnya.
Ia segera menghubungi Olivia.
Di sisi lain, Olivia yang masih di dalam mobil menuju apartemennya, segera mengangkat panggilan itu dengan senyum penuh kemenangan.
"Halo, Liv, kamu di mana?" tanya Arya, suaranya dipenuhi kelegaan.
"Di jalan, menuju apartemenku," kata Olivia.
"Oke, baiklah, hati-hati," balas Arya.
Ada jeda singkat, kemudian suara Olivia terdengar semakin dalam, penuh kepemilikan dan ancaman yang terselubung.
"Ya, Arya. Malam itu adalah malam yang menggairahkan, dan aku tidak akan pernah melupakannya. Dan kamu harus ingat, Arya, kamu hanya milikku," tekan Olivia.
"Hatimu dan juga tubuhmu malam ini... jangan biarkan dia menyentuh tubuhmu seujung jari pun, hmm?" kata Olivia, nada suaranya lembut namun mutlak. "Aku ingin memastikan janji kita."
Arya memejamkan mata, membiarkan kata-kata Olivia merasukinya. Ancaman itu terasa seperti belenggu, tetapi juga penegasan yang ia butuhkan untuk menjustifikasi kekejamannya pada Amara.
"Aku mengerti, Liv," jawab Arya, suaranya serak. " Aku sudah tidur di ranjang dan dia sudah meniduri sofa. Dan malam ini, tidak akan ada yang terjadi. Aku akan pisah kamar. "
"Bagus, Sayang. Jangan pernah lupa siapa yang kamu cintai dan siapa yang kamu inginkan. Hubungi aku lagi nanti. Aku harus mengurus beberapa hal," kata Olivia, mengakhiri panggilan dengan nada terburu-buru yang tidak biasa.
Arya menurunkan ponselnya. Ia menatap ke luar jendela ruang kerjanya yang luas. Ia baru saja mengkhianati pernikahannya, dan ia merasa seperti baru saja membeli kebebasannya kembali—namun dengan harga yang sangat mahal: janji untuk menjaga jarak seumur hidup dari istrinya, Amara.
...***...
Di luar ruang kerja yang tertutup, Amara masih berdiri sendirian di ruang tamu. Ia melihat jam tangannya. Baru pukul 10.00 pagi. Ia baru menikah kurang dari 24 jam, dan suaminya sudah mengurung diri di ruangan lain.
Amara berjalan menuju kamar tidur utama. Kamar itu mewah, dengan walk-in closet yang besar. Ia melihat koper mereka tergeletak di lantai.
Dengan desahan lelah, Amara memutuskan untuk bersikap praktis. Tidak ada gunanya meratapi nasib. Sandiwara harus terus berjalan.
Ia membuka koper-kopernya dan mulai mengeluarkan pakaian, memasukkannya ke dalam lemari. Setelah selesai dengan kopernya sendiri, ia berjalan ke koper Arya dan membukanya, berniat untuk merapikan pakaian Arya juga.
Saat Amara merapikan kemeja Arya, ia mencium aroma aneh yang samar-samar. Itu bukan aroma parfum Arya, dan itu jelas bukan aroma bunga yang memenuhi kamar pengantin. Itu adalah aroma parfum wanita yang mewah, bercampur samar dengan aroma keringat.
Amara menghentikan tangannya. Ia memegang kemeja itu dan mendekatkannya ke hidungnya. Ia yakin, aroma ini adalah aroma asing.
Meskipun ia tahu Arya tidak mencintainya, ia tidak pernah membayangkan Arya akan membawa wanita lain ke hari pernikahan mereka. Kecurigaan yang muncul di ballroom saat Arya tersenyum kini kembali menghantamnya, diperkuat oleh bukti fisik ini.
Amara segera meletakkan kemeja itu. Wajahnya mengeras, berubah menjadi topeng kemarahan dan harga diri yang terluka. Ia menutup koper Arya dengan cepat dan tanpa kata.
Ia kembali ke jendela, menatap pemandangan kota yang berkilauan. Ia kini tidak hanya harus menjalankan sandiwara pernikahan yang dingin, tetapi juga berhadapan dengan pengkhianatan yang baru saja terjadi di malam pernikahannya.
...***...
Tepat saat Amara berdiri di dekat jendela, Arya masuk ke dalam kamar utama. Ia melihat Amara berdiri di sana, di tengah ruangan yang seharusnya menjadi wilayah pribadinya.
"Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Arya, nadanya dingin dan penuh kecurigaan.
Amara terkejut dengan pertanyaan itu dan berbalik menatap Arya.
"Hah... Apa maksudmu, Arya?" tanya Amara.
"Aku bertanya padamu, Amara, kenapa kamu malah bertanya lagi padaku. Apa yang kau lakukan di sini, dan kenapa kamu ada di dalam kamar ini?" tanya Arya lagi, matanya menyiratkan kemarahan karena privasinya dilanggar.
Amara maju mendekati Arya, namun menjaga jarak. Ia berusaha keras mempertahankan ketenangannya, meskipun hatinya sedang terluka oleh penolakan Arya.
"Arya, aku benar-benar tidak mengerti dengan pertanyaanmu itu. Memang kenapa jika aku di sini? Bukankah ini kamar kita berdua, dan kita sudah menikah, Arya?" kata Amara, menekankan status mereka.
Arya menghela napasnya, frustrasi.
"Keluar," kata Arya.
"Apa? Yang benar saja, kamu usir aku?" tanya Amara, tidak percaya.
"Anggap saja seperti itu. Malam ini dan seterusnya, kamu tidak akan tidur di kamar ini," kata Arya, nadanya mutlak.
"Arya, kalau aku tidak tidur di sini, aku tidur di mana?" tanya Amara.
"Kamar sebelah. Bereskan barangmu dan pindah ke kamar itu," kata Arya, menunjuk pintu kamar tamu.
"Tapi kenapa, Arya? Kenapa aku tidak boleh tidur di sini? Kita kan sudah menikah, dan kita sudah sah menjadi pasangan suami istri, Arya. Kenapa?" tanya Amara, menuntut penjelasan, sambil berharap Arya akan memberinya alasan selain kebencian.
"Diam! Jangan banyak tanya dan lakukan saja. Keluar dari kamar ini dan pindah ke kamar sebelah," kata Arya, menahan amarahnya.
"Aku tidak mau," kata Amara, keras kepala.
"Amara!!" teriak Arya, nadanya memuncak.
Amara tersentak. Ia mundur selangkah, menatap Arya yang terlihat sangat marah.
Arya menghela napasnya dan mengusap wajahnya dengan kasar, mencoba menenangkan diri agar tidak membuat keributan yang bisa didengar oleh petugas keamanan di luar.
"Jangan buat aku tambah emosi. Sekarang keluarlah, selagi aku masih bicara baik-baik," kata Arya.
"Tapi kenapa, Arya? Kenapa aku tidak boleh di sini? Jelaskan," tanya Amara, nadanya kini terdengar menusuk. "Atau jangan-jangan, kamu takut aku menemukan sisa-sisa jejak yang kamu bawa dari hotel?"
Arya membeku total. Matanya yang tadinya dipenuhi amarah langsung dipenuhi kepanikan murni. Amara telah menembak tepat sasaran. Ia menatap Amara dengan dingin. Ia tahu dia tidak bisa menjelaskan bahwa ia harus menjaga jarak dari Amara atau bahwa ia baru saja berhubungan dengan wanita lain di malam pengantin mereka.
Arya menghela napas panjang dan memalingkan wajah, menyadari ia telah kehilangan kendali dan keributan ini bisa terdengar di luar. Ia kemudian mengubah taktik, memilih jalan keluar yang lebih licik untuk menghindari keributan.
Arya menoleh lagi, memaksakan nada tenang yang membuat Amara bingung. "Oke," kata Arya, nadanya tiba-tiba tenang. "Kamu bisa tetap di sini. Aku tidak akan melarangmu," kata Arya.
Amara terkejut. "Benarkah?" kata Amara, tersenyum bahagia, berpikir Arya akhirnya mengalah.
"Ya. Tapi aku yang akan keluar dari sini. Kamu bebas menempati kamar utama, dan aku akan menempati kamar sebelah," kata Arya.
Amara terkejut, senyumnya langsung memudar.
Amara menyadari bahwa Arya tidak menyerah, dia hanya membalikkan keadaan. Dengan membiarkan Amara menempati kamar utama, Arya secara tersirat memberi tahu Amara: Kamu boleh memiliki kamar ini, tapi kamu tidak akan pernah memilikiku. Dia secara resmi mengasingkan diri, menghindari Amara secara mutlak.
"Arya, kamu..." Amara mencoba memprotes, tetapi kata-katanya tertahan di tenggorokannya.
"Kamar sebelah adalah kamar tamu. Kamu bebas menggunakannya jika kamu mau," kata Arya, berjalan ke arah Amara. "Sekarang, aku akan mengeluarkan barang-barangku dari kamar ini. Kamu bisa mulai merapikan dirimu."
Arya berjalan melewati Amara. Ia meraih kopernya dengan kasar, membawanya keluar dari kamar utama menuju kamar sebelah.
Amara hanya bisa berdiri terpaku, dikelilingi kemewahan kamar utama yang kini terasa seperti penjara yang sangat besar. Gaun yang ia kenakan di resepsi tadi kini terasa seperti pakaian tahanan. Ia sudah memenangkan kamar utama, tetapi ia telah kehilangan suaminya, bahkan sebelum mereka memulai hidup bersama.
...***...
Amara berjalan perlahan menuju ranjang besar, yang kini menjadi "miliknya." Ia menjatuhkan diri di tepi ranjang. Air matanya sudah kering; yang tersisa hanyalah rasa sakit yang berubah menjadi kekerasan hati.
Ia melihat kembali kemeja Arya yang tergeletak di lantai yang ditinggalkan nya. Amara kembali mengangkat kemeja itu dan mencium aromanya sekali lagi. Aroma parfum wanita yang mewah, bercampur samar dengan aroma keringat. Kali ini, kecurigaannya berubah menjadi keyakinan pahit.
Dia tidak hanya menolakku, dia menghabiskan malam pernikahannya dengan wanita lain, dan dia bahkan tidak repot-repot menghilangkan jejaknya, pikir Amara, napasnya memburu.
Amara kini mengerti mengapa Arya begitu mati-matian mendorongnya keluar dari kamar ini. Bukan karena Arya membencinya, tetapi karena Arya telah mengkhianatinya secara terang-terangan dan ingin memastikan Amara tidak akan pernah menemukan bukti pengkhianatan itu.
Keputusan Amara sudah bulat. Ia tidak akan meratapi nasib lagi.
"Baiklah, Arya. Kalau kamu ingin sandiwara, aku akan memberimu sandiwara," bisik Amara, wajahnya mengeras. "Kamu pikir aku akan membiarkanmu dan dia mempermainkan nama baik Aldridge dan Wijaya? Aku akan menjalankan peran sebagai Nyonya Aldridge yang sempurna, tetapi aku akan mencari tahu siapa wanita itu, dan aku akan tahu apa yang disembunyikan Kakek Umar dariku."
Amara segera bangkit. Ia mulai merapikan barang-barangnya dan kamar itu, mengeluarkan semua energi frustrasi dan kemarahannya pada aktivitas praktis. Ia tidak akan membiarkan Arya melihatnya lemah.
Tepat saat Amara selesai merapikan, telepon rumah di ruang tamu berdering keras. Amara ragu-ragu, siapa yang akan menelepon apartemen baru mereka?
Arya, yang baru saja menutup panggilan telepon di kamar sebelah, melangkah keluar ke ruang tamu. Wajahnya tegang.
"Jangan angkat," perintah Arya, berjalan cepat menuju telepon.
Namun, Amara sudah bergerak lebih cepat. Ia meraih telepon itu dan mengangkatnya.
"Halo," kata Amara, suaranya terdengar anggun dan tenang.
Dari ujung telepon, terdengar suara dingin dan otoriter Kakek Umar.
"Amara? Berikan teleponnya pada Arya. Dan pastikan kalian berdua sedang menghabiskan waktu bersama," perintah Kakek Umar, nadanya tajam.
Wajah Arya memucat. Amara menatap suaminya dengan senyum tipis—senyum yang penuh rencana—dan segera menempelkan telepon di telinga Arya.
Arya melepaskan tangan Amara dengan kasar, mengambil gagang telepon itu sendiri. Amara menarik tangannya, tetapi tetap berdiri di dekatnya, mengamati setiap perubahan ekspresi di wajah suaminya.
"Halo, Kakek, ada apa?" tanya Arya, suaranya berusaha terdengar santai, namun terlalu dingin untuk seorang pengantin baru.
"Arya, bagaimana malam pertama mu dan Amara?" tanya Kakek Umar, nadanya tenang, tetapi setiap kata terasa seperti interogasi.
Arya melirik Amara. Amara memberinya senyum yang sama sekali tidak mencapai matanya—senyum penuh rencana yang membuat Arya merasa merinding.
"Baik," jawab Arya singkat dan datar, tanpa memberi detail sedikit pun. "Apa hanya itu yang ingin Kakek tanyakan? Jika hanya itu, aku matikan."
"Kamu..." Kakek Umar terdengar terkejut oleh keberanian Arya yang memotongnya.
Amara tersentak mendengar perkataan Arya, terkejut betapa beraninya suaminya bersikap kasar pada Kakek Umar. Namun, di saat yang sama, ia kagum melihat keberanian Arya.
Di seberang telepon, Kakek Umar menghela napasnya, mencoba menahan amarah. Dia tahu Arya sengaja bersikap seperti ini.
"Arya, jangan bermain-main denganku," suara Kakek Umar kini lebih rendah, sarat ancaman. "Aku hanya ingin memastikan kalian berdua sudah siap. Keluarga akan mengadakan makan siang dadakan hari ini, dan akan ada beberapa media yang datang. Pastikan kalian terlihat... harmonis. Kalian harus datang ke Kediaman utama tepat pukul dua belas siang."
Arya memejamkan mata. Rencana untuk menghindari Amara di apartemen kini hancur lebur.
"Aku mengerti," jawab Arya, kini lebih patuh. "Kami akan datang. Ada lagi?"
"Tidak ada," kata Kakek Umar. "Jaga dirimu, dan jaga Amara. Jangan lupa, pernikahan ini bukan main-main. Kau tidak ingin melihat sisi lain dari Aldridge."
Kakek Umar menutup telepon tanpa menunggu jawaban.
Arya menurunkan gagang telepon dan meletakkannya dengan keras. Ia berbalik dan menatap Amara dengan mata menyala-nyala.
"Puas?" desis Arya. "Kau tahu itu dari Kakek Umar, dan kau sengaja mengangkatnya."
"Tentu saja aku puas, Arya," balas Amara tenang, wajahnya kembali tanpa emosi. "Aku baru saja menyelamatkan kita berdua dari amarah Tuan Besar. Dan omong-omong, selamat atas penampilan 'suami yang sempurna' barusan. Kau berhasil membohongi Kakekmu."
Amara kemudian berjalan mendekat, mengurangi jarak di antara mereka. Ia berhenti tepat di depan Arya. Wajahnya yang cantik dan tenang kini tampak seperti predator.
"Kau tahu, aku baru saja membersihkan kamarmu," kata Amara, suaranya sangat pelan.
"Aku sudah bilang untuk tidak menyentuh barang-barangku!" potong Arya, marah.
"Oh, aku tidak menyentuh barang-barangmu. Aku hanya menemukan sisa bau dari wanita simpananmu yang kau bawa di malam pernikahan kita," kata Amara, menekankan setiap kata. "Parfumnya sangat mewah, Arya. Kurasa kau harus memberinya ucapan terima kasih karena dia meninggalkan jejak."
Arya membeku. Wajahnya yang tadi marah kini berubah pucat pasi. Ia tidak menyangka Amara secepat ini menemukan buktinya.
"Diam. Jangan mengada-ada," bantah Arya, suaranya bergetar.
"Mengada-ada?" Amara tersenyum pahit. "Aku adalah Nyonya Aldridge yang sah, dan aku tidur di sofa di malam pernikahan. Suamiku menghabiskan malam itu dengan wanita lain mungkin hanya beberapa kamar jauh nya. Dan sekarang, kau harus berpegangan padaku, berpura-pura jatuh cinta di depan kamera media. Bukankah itu lucu?"
Amara mengulurkan tangan, meraih kerah baju Arya dan menariknya sedikit, memaksa Arya menunduk.
"Dengarkan aku baik-baik, Arya," bisik Amara, tatapannya dingin. "Mulai sekarang, kita adalah tim. Kau membutuhkan sandiwaraku untuk membuat Kakek Umar percaya, dan aku membutuhkan sandiwara ini untuk melindungi nama baik Ayahku. Kau boleh membenciku di balik pintu tertutup, tetapi di depan semua orang, kau adalah suamiku yang mencintaiku. Atau aku akan pastikan seluruh keluarga tahu di mana kau menghabiskan malam pertamamu."
Arya menatap Amara, terkejut melihat kekuatan dan ketegasan yang tiba-tiba muncul dari istrinya. Ia baru saja menyadari bahwa ia tidak menikah dengan korban yang pasrah. Ia menikah dengan lawan yang cerdas.
"Apa yang kau inginkan?" tanya Arya, suaranya rendah.
"Aku ingin kau melakukan peranmu, persis seperti yang kau janjikan di altar," jawab Amara. Ia melepaskan kerah baju Arya dan melangkah mundur, kembali ke jarak yang ia tentukan. "Dan kau harus menyiapkan mentalmu, Arya. Hari ini, kita mulai. Kita akan makan siang keluarga yang bahagia."
Amara mundur selangkah setelah mengucapkan ancamannya, tetapi Arya menatapnya dengan pandangan yang lebih gelap, tidak terintimidasi.
"Heh... Kamu berani mengancamku?" desis Arya, suaranya dipenuhi cibiran. "Lakukan saja. Tapi bukan aku yang akan berperan, tapi kamu yang harus berperan sebagai istri dan Nyonya Aldridge yang sangat baik dan sempurna," kata Arya, membalikkan tuntutan Amara. Ia mengimplikasikan bahwa reputasi Amara lebih bergantung pada pernikahan ini daripada reputasinya sendiri.
Kemudian ia berbalik. Ketika ia hendak pergi, ia menghadap Amara lagi. Amara berdiri tegak, tidak gentar.
"Oh, satu lagi," lanjut Arya, suaranya kini dingin seperti baja yang dihunuskan. "Jika kamu mengatakan yang tidak-tidak tentang apa pun kepada Kakek Umar, atau kepada siapa pun, termasuk ayahmu, aku tidak akan pernah membiarkan kamu hidup tenang, Amara. Dan aku akan menghancurkan kamu dan ayahmu. Pikirkan itu."
Arya menyelesaikan ancamannya, memastikan setiap kata tercetak jelas di benak Amara. Ia kemudian berbalik dan pergi, memasuki kamar tamu, menutup pintu dengan pelan namun tegas.
Amara kini ditinggalkan sendirian di ruang tamu. Ia merasakan getaran dingin menjalar di punggungnya, bukan karena takut, melainkan karena besarnya risiko yang baru saja ia ambil. Ancaman Arya sangat nyata, menyangkut nasib ayahnya dan Wijaya Group.
Dia ingin aku memilih antara sandiwara yang menyakitkan atau kehancuran Ayah, pikir Amara.
Amara memejamkan mata. Dia tahu dia harus meredam nalurinya untuk membalas dendam pada Arya. Untuk saat ini, prioritasnya adalah keselamatan ayahnya.
Sandiwara, putusnya dalam hati. Aku akan berpura-pura menjadi istri sempurna yang dia inginkan, tetapi aku akan tetap mencari bukti wanita itu. Aku akan mengendalikan sandiwara ini dari sisiku.
Amara menarik napas panjang. Ia berjalan menuju kamar utama dan mulai memilih pakaian. Jika Arya ingin dia menjadi Nyonya Aldridge yang sempurna, maka dia akan menjadi yang paling sempurna, memamerkan kebahagiaan palsu mereka di hadapan semua orang, terutama Kakek Umar.
Bersambung.....