Hidup Arabella hancur ketika pamannya tega menjualnya pada Edward Frederick, seorang mafia berkedok Ceo yang terkenal kejam, dingin, dan arogan, hanya demi melunasi hutang akibat kebangkrutan perusahaan.
Dengan kaki kanan yang cacat karena kecelakaan di masa lalu, Arabella tak punya banyak pilihan selain pasrah menerima perlakuan sang suami yang lebih mirip penjara ketimbang pelindung.
Perlahan, keduanya terseret dalam permainan hati, di mana benci dan cinta tipis perbedaannya.
Mampukah Arabella bertahan dalam pernikahan tanpa cinta ini? Ataukah justru dia yang akan meluluhkan hati seorang Edward Frederick yang sekeras batu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Senja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 16
Sesampainya di rumah, Edward langsung mengangkat tubuh Ara ke dalam gendongannya. Tubuh mungil itu begitu ringan di pelukannya, namun Edward bisa merasakan dinginnya kulit Ara yang masih belum pulih sepenuhnya.
Edward membawa Ara menuju kamar utamanya, langkahnya mantap, tanpa banyak bicara.
Ara menatap sekeliling dengan bingung. Begitu sampai di kamar besar itu, Edward menurunkannya perlahan ke atas tempat tidur yang luas dan tertata rapi.
“Kenapa kau membawaku ke sin lagi? Ini buka kamarku, Ed” tanya Ara dengan nada cemas.
Edward berhenti di tepi ranjang, lalu menatapnya dengan senyum samar, senyum yang jarang sekali muncul di wajahnya yang dingin.
“Mulai malam ini, kau akan tidur di kamarku dan selamanya.” ucapnya tenang.
Ara terdiam. Jantungnya berdetak cepat, tak tahu harus senang atau takut.
“Kenapa harus selamanya? Apa kau lupa dengan perjanjian kita?” suaranya pelan namun terdengar getir.
Edward menarik napas panjang. Tatapannya berubah serius.
“Aku tidak lupa, Ara. Tapi aku sudah berubah pikiran.”
“Berubah pikiran?” ulang Ara bingung.
Edward mendekat, jarak mereka kini begitu tipis. Tangannya terulur, mengusap pipi Ara dengan lembut.
“Semua demi misi penting,” ucapnya pelan disertai senyum misterius. “Misi membangunkan si tongkat sakti yang kehilangan jati diri.”
Ara spontan menunduk, wajahnya memanas. “Apa maksudmu?” gumamnya gugup.
Edward hanya tersenyum. “Kau tidak perlu mengerti. Yang perlu kau tahu, aku akan mulai bersikap baik padamu.”
“Benarkah? Apa kau tidak sedang mempermainkanku?” tanya Ara menatap pria itu penuh keraguan
Edward menggeleng pelan. “Aku serius,” ucapnya, kali ini tanpa senyum. “Aku akan mencoba menjadi suami yang baik.”
Kata-kata itu membuat dada Ara terasa hangat, namun sekaligus aneh. Sejak pernikahan mereka, ia hanya mengenal sisi dingin dan kejam Edward. Tapi kini, tatapan itu nampak berbeda. Ada sesuatu yang lembut, bahkan hangat.
“Tapi ingat,” lanjut Edward dengan suara rendah, “aku tetap Edward Frederick yang sama. Jangan harap aku berubah jadi pria romantis seperti di novel.”
Ara mengulas senyum tipis. “Aku tidak mengharapkan itu,” jawabnya pelan. “Aku hanya ingin kau menghargaiku sebagai istri.”
Edward menatapnya beberapa detik, lalu mengangguk. “Aku akan berusaha. Tapi kau juga harus belajar menerimaku apa adanya.”
“Baiklah.” Ara mengangguk kecil.
Keheningan sejenak menyelimuti ruangan. Edward kemudian membungkuk, mengangkat tubuh Ara ke posisi lebih nyaman di atas kasur, lalu menyelimuti wanita itu dengan selimut tebal.
Gerakan terasa begitu lembut, tak seperti biasanya.
“Istirahatlah. Kau butuh banyak tenaga untuk sembuh dan menyembuhkan aku.”
Ara menatapnya sebentar, kemudian mengangguk dan memejamkan mata. Suara lembut Edward barusan masih terngiang di telinganya.
Ara belum tahu apakah bisa mempercayainya, tapi untuk kali ini, ia ingin mencoba.
Edward berbalik menuju kamar mandi. Setelah beberapa menit, ia keluar mengenakan pakaian tidur.
Lampu kamar kini diredupkan, hanya menyisakan cahaya lembut dari lampu di meja sisi ranjang. Ara sudah tertidur pulas, wajahnya tampak damai.
Edward berdiri di tepi ranjang, memperhatikannya lama. Sebenarnya, ada rasa bersalah yang menyesak di dadanya. Ia tahu, wanita itu telah menanggung banyak luka karena dirinya. Luka yang bahkan mungkin tak akan pernah sembuh sepenuhnya.
Namun, Edward tetaplah Edward, pria arogan yang tak mau kalah dari wanita manapun kecuali Julia.
“Aku melakukan ini semua, takluk dihadapan mu karena hanya kau satu-satunya yang bisa membuatku bereaksi. Tidak lebih dari itu!”
Edward duduk, membelai rambut hitam Ara perlahan, lalu menunduk untuk mengecup keningnya. Setelah itu, ia ikut berbaring di sampingnya.
Saat lengannya melingkari tubuh Ara, wanita itu menggeliat dalam tidur, secara refleks merapat ke dada Edward. Napasnya teratur, hangatnya menenangkan.
“Benar-benar aneh. Dia bergerak lagi?” gumam Edward.
**
Keesokan paginya, sinar matahari menembus tirai besar kamar, menyorot wajah Edward yang masih terlelap. Namun, tubuh di pelukannya mulai bergerak.
Ara perlahan membuka mata, matanya langsung bertemu dengan dada bidang Edward yang menjadi bantal kepalanya. Ia menatapnya beberapa detik, sebelum buru-buru menjauh dengan pipi merona.
Edward ikut terbangun. Ia tersenyum samar melihat reaksi Ara.
“Selamat pagi, istriku,” ucapnya pelan.
Ara menoleh dengan gugup. “S–selamat pagi, Ed.”
Suara serak Ara membuat Edward tersenyum lebar untuk pertama kalinya. Ia menatap wajah itu dalam-dalam, lalu menunduk dan mencium bibirnya singkat. Ciuman yang lembut, tapi cukup untuk membuat jantung Ara berdetak tak karuan.
“Bagaimana perasaanmu hari ini?” tanya Edward setelahnya.
Ara menunduk, menyentuh pipinya yang memanas.
“Aku merasa lebih baik, terima kasih sudah menjagaku.”
Edward tersenyum kecil. “Itu tugasku sebagai suamimu.”
Ia bangkit dari tempat tidur dan berjalan menuju jendela. Dengan gerakan ringan, ia membuka tirai besar, membiarkan sinar matahari pagi masuk menerangi ruangan. Udara segar memenuhi kamar, menggantikan aroma obat-obatan dari rumah sakit semalam.
“Hari ini,” ucap Edward sambil menatap langit biru di luar, “adalah hari yang baru. Aku ingin kita mulai hidup yang baru juga.”
Ara menatap punggungnya, ada sesuatu di dalam dirinya yang bergetar. Pria itu, benar-benar tampak berbeda. Nada suaranya lebih lembut, ada ketulusan dimatanya yang belum pernah Ara lihat sebelumnya.
Ara tersenyum, meski dalam hatinya masih tersisa rasa ragu. “Mari kita mulai dari awal.”
Edward menoleh. Ia melangkah mendekat, lalu mengelus pipi Ara dengan lembut.
“Terima kasih,” katanya singkat.
Ara hanya mengangguk. Ia tidak tahu apa yang membuat Edward berubah secepat ini, tapi untuk kali ini, ia tak ingin mempermasalahkannya.
Yang terpenting, pria itu mulai menerimanya sebagai seorang istri dan mungkin, dari sinilah kisah mereka benar-benar dimulai.
“Semoga saja dia benar-benar berubah dan mulai menerima kekuranganku,” doa Ara dalam hatinya.
pernah lihat film ga Thor
si detektif kecil kayak Conan 😄😄😄..
badannya aja yg pitik ga sama isi kepala nya,,
dari pada uncle mu yg 1/2 ons
aihhh mau ngapain merek apa Edward mau ngetes lolipop nya Sam Jul Jul