Pada malam pernikahannya, Hwa-young seharusnya meminum racun yang memulai kehancurannya. Namun, takdir memberinya kesempatan kedua. Ia kembali ke malam yang sama, dengan ingatan penuh akan pengkhianatan dan eksekusinya. Kini, setiap senyum adalah siasat dan setiap kata adalah senjata. Ia tidak akan lagi menjadi pion yang pasrah. Menghadapi ibu mertua yang kejam dan suami yang penuh curiga, Hwa-young harus mengobarkan perang dari balik bayang-bayang untuk merebut kembali takdirnya dan menghancurkan mereka yang telah menghancurkannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Salsabilla Kim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Permainan Sang Putra Mahkota
Udara di ruang kerja terasa berat, seolah bisa diiris dengan pisau.
"Saya tidak akan melakukannya, Yang Mulia Ibu Suri," suara Yi Seon memecah keheningan. Tenang, tapi tajam menusuk. Ia melangkah melewati Jenderal Kim yang membeku laksana patung, tatapannya terkunci pada Matriarch Kang. Otoritas yang selama ini ia sembunyikan kini terpancar tanpa ragu. "Putri Mahkota adalah istri saya. Urusannya, dan segala keributan yang ia timbulkan, adalah tanggung jawab saya."
Matriarch Kang sontak berdiri, wajahnya memerah padam. "Apa katamu?" desisnya, amarah membakar matanya. "Kau berani menentangku? Aku perintahkan kau untuk mengurung gadis gila itu di paviliunnya! Dia sudah keterlaluan!"
"Keterlaluan bagaimana?" balas Yi Seon, nadanya tetap datar, seolah menantang. "Sejauh yang saya dengar, ia hanya mencari peninggalan ibunya. Urusan sentimental, bukan urusan negara. Dan sebagai kepala Istana Timur, urusan rumah tangga saya berada di bawah yurisdiksi saya. Bukan Anda."
Matriarch Kang tertawa sinis, suara yang melengking tak sedap didengar. "Peninggalan ibunya? Omong kosong! Dia mengancamku! Mengancam keluargaku dengan cerita-cerita khayalan tentang kesepakatan di Utara, tentang harga garam! Bagaimana mungkin dia tahu hal yang bahkan belum terjadi? Ini sihir! Pengkhianatan!"
"Rahasia yang belum terjadi?" Yi Seon mengangkat sebelah alisnya, melirik sekilas ke arah Hwa-young sebelum kembali menatap ibu tirinya. "Tuduhan yang sangat berat, Yang Mulia. Apakah Anda punya bukti? Atau ini hanya ... imajinasi Anda yang terlalu liar?"
Hwa-young menahan napas. Yi Seon tidak membelanya. Dia juga tidak menyudutkannya. Dia sedang menguji sesuatu, menarik ulur benang kekuasaan di antara mereka.
"Bukti?" Matriarch Kang terbahak. "Dia tahu tentang manipulasi harga garam! Detail yang hanya diketahui oleh segelintir orang! Dari mana dia tahu kalau bukan dari iblis?"
"Atau mungkin dari gosip istana yang Anda sendiri tebar?" balas Yi Seon dingin. "Dinding istana punya telinga, Yang Mulia. Mungkin Putri Mahkota hanya mendengar desas-desus dari pelayannya, lalu mengulanginya dengan sedikit bumbu. Bukankah wanita seringkali begitu?"
Kata-kata itu menohok. Matriarch Kang terdiam, lidahnya kelu. Yi Seon baru saja membalikkan serangannya, menyiratkan bahwa sumber kebocoran informasi adalah Matriarch Kang sendiri yang paranoid dan terlalu banyak bicara.
"Jangan meremehkanku, Yi Seon!" geramnya. "Gadis ini berbahaya! Dia akan menghancurkan kita semua, sama seperti ibunya yang terkutuk!"
"Ibunya yang terkutuk itu adalah Ratu terdahulu," potong Yi Seon, suaranya kini mengeras, mengandung peringatan. "Dan Putri Mahkota adalah istri saya, calon Ratu di masa depan. Anda ingin saya mengurungnya atas tuduhan 'sihir' yang tak berdasar? Bayangkan apa kata orang. Pewaris takhta mengurung istrinya sendiri karena paranoia. Istana akan terlihat lemah. Saya akan terlihat lemah."
Ia melangkah mendekat, mencondongkan tubuhnya ke meja Matriarch Kang. "Dan jika saya terlihat lemah, siapa yang diuntungkan? Apakah itu yang Anda inginkan? Kekacauan?"
Hwa-young merasakan hawa dingin menjalari punggungnya. Ini bukan tentangnya. Ini tentang Yi Seon, kekuasaannya, dan citranya. Dan Hwa-young, secara tak terduga, telah menjadi pion paling efektif dalam permainannya.
"Dia tahu terlalu banyak!" bisik Matriarch Kang, tangannya gemetar karena marah.
"Jika begitu, biarkan dia tahu lebih banyak," jawab Yi Seon santai, tapi matanya berkilat berbahaya. "Seorang istri yang cerdas bisa menjadi aset. Atau, dia bisa menjadi ancaman yang Anda ciptakan sendiri. Pilihan ada di tangan Anda, Yang Mulia."
Ia berhenti, membiarkan ancaman itu meresap. "Saya memberinya izin mencari cincin ibunya. Alasan sentimental yang tidak akan menyakiti siapa pun. Itu kesepakatan kami. Apakah Anda ingin saya mengingkari janji, memperlihatkan pada semua orang bahwa saya tidak bisa mengendalikan istri saya sendiri? Atau lebih buruk lagi, bahwa saya tunduk pada setiap perintah Anda?"
Matriarch Kang tahu ia telah kalah. Memaksa Yi Seon secara terbuka hanya akan merusak citra Putra Mahkota, dan pada akhirnya, merusak legitimasi garis keturunan Kang.
"Tapi dia..." Matriarch Kang mencoba mencari celah, "dia menyebarkan kebohongan."
"Dan saya yang akan menanganinya," sahut Yi Seon, nadanya final. Ia memberi isyarat pada Jenderal Kim. "Saya akan mengawasinya dengan ketat. Jika dia melangkah keluar jalur, saya sendiri yang akan menghentikannya. Ini urusan Istana Timur."
Pandangannya beralih pada Hwa-young. "Kau akan tetap berada di dalam yurisdiksiku. Dan untuk 'pencarian cincin'-mu, aku memberimu izin mengunjungi pasar di Hwasan. Setahun sekali, di bawah pengawasan. Anggap ini hak istimewa."
Matriarch Kang hanya bisa mengepalkan tangannya, merasakan kekuasaannya terkikis.
"Kau akan menyesali ini, Yi Seon," gumamnya penuh racun.
"Mungkin," Yi Seon mengangkat bahu acuh tak acuh. "Atau mungkin orang lain yang akan menyesal lebih dulu. Kita lihat saja." Ia berbalik, menatap Hwa-young dengan tajam. "Kembali ke paviliunmu. Ingat perjanjian kita. Dan jangan lupakan siapa yang memberimu kebebasan ini."
Hwa-young membungkuk dalam, menyembunyikan kilat kemenangan di matanya. "Saya mengerti, Yang Mulia. Terima kasih."
Ia berjalan keluar, jantungnya berdebar bukan karena takut, tapi karena adrenalin. Saat melewati ambang pintu, ia bisa merasakan tatapan penuh kebencian dari Matriarch Kang yang ditinggalkan sendirian dalam kemarahannya yang membara.
Aroma teh ginseng yang menenangkan menyambutnya di Paviliun Bulan Baru, kontras dengan ketegangan yang baru saja ia tinggalkan.
"Bagaimana, Yang Mulia?" tanya Mae-ri cemas, tangannya meremas ujung lengan bajunya sendiri.
Hwa-young tersenyum tipis. "Pangeran Mahkota baru saja menegaskan kekuasaannya. Dan aku mendapatkan apa yang kuinginkan."
"Izin?" mata Mae-ri membelalak.
"Untuk pergi ke Hwasan," bisik Hwa-young, nadanya mendesak. "Setahun sekali, untuk 'mengenang ibuku'."
"Tapi ... apa dia tidak curiga?"
"Dia tidak mempercayaiku seujung kuku pun," Hwa-young mengakui, duduk di depan meja riasnya. "Tapi kebenciannya pada Keluarga Kang jauh lebih besar. Aku hanya alat baginya untuk menunjukkan siapa yang berkuasa." Ia terdiam, mengingat tatapan dingin Yi Seon. "Dan kurasa, dia mulai menyadari bahwa Putri Mahkota yang sedikit 'gila' tapi punya informasi lebih berguna daripada boneka patuh."
Pikiran Hwa-young berpacu. Tanggal 17 Maret semakin dekat. "Dia bilang 'setahun sekali', tapi tidak bilang kapan. Kita butuh alasan untuk pergi sekarang. Alasan yang mendesak, yang bahkan Jenderal Kim tidak bisa bantah."
"Alasan apa, Yang Mulia?"
Hwa-young menatap pantulan wajahnya di cermin. "Aku akan 'jatuh sakit'."
Keesokan paginya, Hwa-young terbaring lemah di ranjang, wajahnya pucat pasi. Ia menolak sarapan dan mengeluh pusing hebat. Mae-ri, dengan akting yang meyakinkan, memanggil tabib istana.
Setelah pemeriksaan singkat, tabib meresepkan ramuan biasa. Hwa-young menggeleng lemah.
"Tidak manjur, Tabib," bisiknya parau. "Energi saya terkuras. Saya pernah dengar ... tentang ramuan 'Bulan Merah' dari pegunungan Hwasan. Katanya bisa mengembalikan vitalitas wanita."
Tabib itu ragu. "Ramuan itu sangat langka dan mahal, Yang Mulia."
"Aku tidak peduli harganya," desak Hwa-young, memejamkan mata seolah menahan sakit. "Aku hanya ingin sembuh. Aku tidak bisa melayani Putra Mahkota jika terus begini."
Berita itu sampai ke telinga Yi Seon. Ia datang ke paviliun Hwa-young, menyilangkan tangan di dada, menatapnya dengan skeptis.
"Sakit lagi, Nyonya?" tanyanya tanpa basa-basi.
"Saya benar-benar merasa tidak enak badan," jawab Hwa-young, suaranya tulus. "Saya butuh ramuan itu dari Hwasan. Ini sangat pribadi, Yang Mulia. Saya ingin mencarinya sendiri. Bukankah Anda mengizinkan saya pergi ke sana? Bolehkah saya menggunakan kesempatan itu sekarang?"
Yi Seon menatapnya lama, seolah mencoba menembus lapis demi lapis kebohongannya. Ia tahu ini permainan. Tapi permainan ini cerdik. Menolak permintaan istri yang sakit demi kesehatannya, yang mungkin berhubungan dengan kesuburan, akan menjadi risiko politik yang bodoh. Selain itu, ini akan semakin mengganggu Matriarch Kang.
Dia menghela napas panjang, sebuah isyarat kekalahan yang disamarkan. "Baiklah. Kau boleh pergi. Tapi Jenderal Kim akan mengikutimu seperti bayangan. Dan kau harus menyamar. Jika ada yang mengenalimu, aku sendiri yang akan menyeretmu kembali ke sini."
"Saya mengerti, Yang Mulia," Hwa-young membungkuk, menahan lonjakan kegembiraan.
Setelah Yi Seon pergi, Mae-ri langsung mendekat. "Kita berhasil!"
"Ya," Hwa-young tersenyum, matanya berbinar. "Sekarang, kita bisa memulai, "
Ketukan di pintu memotong ucapannya. Jenderal Kim masuk, wajahnya tanpa ekspresi seperti biasa. Dia tidak mengatakan apa-apa, hanya meletakkan sebuah kotak kayu kecil di atas meja.
"Dari Yang Mulia Putra Mahkota," katanya singkat, lalu membungkuk dan pergi.
Hwa-young dan Mae-ri saling berpandangan. Dengan tangan sedikit gemetar, Hwa-young membuka kotak itu. Di dalamnya tidak ada perhiasan atau pesan. Hanya ada sebuah gulungan kertas.
Ia membukanya perlahan. Itu adalah peta pasar Hwasan yang digambar dengan detail. Jantungnya serasa berhenti berdetak saat melihatnya. Di sudut peta, di lokasi sebuah toko ramuan kecil yang tidak mencolok, ada sebuah lingkaran yang ditandai dengan tinta merah.
Tepat di atas toko 'Bunga Teratai Malam'.
Di bawah peta, hanya ada satu baris tulisan tangan Yi Seon yang rapi dan dingin,
"Jangan sampai tersesat."
Hwa-young merasakan darahnya seolah membeku. Udara di paru-parunya lenyap.
Dia tahu. Entah bagaimana, Yi Seon tahu persis ke mana tujuannya.