(Based on True Story)
Lima belas tahun pernikahan yang tampak sempurna berubah menjadi neraka bagi Inara.
Suaminya, Hendra, pria yang dulu bersumpah takkan pernah menyakiti, justru berselingkuh dengan wanita yang berprofesi sebagai pelacur demi cinta murahan mereka.
Dunia Inara runtuh, tapi air matanya kering terlalu cepat. Ia sadar, pernikahan bukan sekadar tentang siapa yang paling cinta, tapi siapa yang paling kuat menanggung luka.
Bertahan atau pergi?
Dua-duanya sama-sama menyakitkan.
Namun di balik semua penderitaan itu, Inara perlahan menemukan satu hal yang bahkan pengkhianatan tak bisa hancurkan: harga dirinya.
Kisah ini bukan tentang siapa yang salah. Tapi siapa yang masih mampu bertahan setelah dihancurkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ame_Rain, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Informasi baru
[Suami kamu enggak marah kamu kerja begitu?]
Aku penasaran saja dengan pemikiran orang-orang seperti itu. Normalnya kan orang akan marah jika pasangannya saling lirik dengan lawan jenis. Sedangkan LC dan pelac*r sudah jelas melakukan lebih dari sekedar itu.
[Enggak sih, Mbak. Suami juga bukan orang yang bersih. Sesekali dia juga sewa perempuan untuk dirinya sendiri.]
Astaga, tak bisa berkata-kata lah aku membacanya.
Aku berkali-kali mengingatkan diri bahwa kami ini berasal dari dunia yang berbeda. Tak bisa aku menyamaratakan hal yang normal dan tak normal menurutku dengannya. Tidak adil bagi kami berdua.
Tapi, tetap saja. Meski aku diam, hatiku ribut sekali ingin berkomentar. Istrinya sendiri sampai menjual diri demi memenuhi kebutuhan ekonomi. Bagaimana bisa suaminya malah memakai uang itu untuk menyewa pelac*r lain?
Tak sanggup aku membayangkannya.
Baiklah, tidak perlu mengorek-ngorek kehidupan pribadi mereka lagi. Lebih baik aku cari tahu masalahku saja.
[Kalau suamiku, apa dia pernah sewa kamar di tempatmu?]
Sebenarnya ada beberapa penginapan di daerah kami yang terkenal menjadi tempat untuk berbuat kotor. Tapi aku penasaran saja apa suamiku pernah menyewa kamar di tempatnya.
Pesan dari Dena kembali masuk.
[Enggak, Mbak. Mas Hendra sama Mami kalau mau tidur bareng ya enggak perlu sewa tempat. Langsung ke rumah Mami aja.]
Aku mengangguk-angguk mengerti. Teringat rumah Dewi yang kami datangi hari itu. Yah, suasananya memang sepi. Pantas lah mereka sering memilih tempat itu daripada menyewa tempat lain yang pastinya memerlukan uang tambahan lagi.
Pandanganku tak sengaja jatuh pada foto Dena yang ada di foto profil. Tak menyangka saja jika aku akan 'berteman', atau setidaknya saling bertukar pesan dengan perempuan yang berprofesi seperti ini. Bukan menghina, tapi pasti banyak yang berpikiran buruk tentang mereka, kan? Tapi nyatanya, dari Dena lah aku justru mendapat banyak informasi. Padahal dia sendiri adalah anak buah Dewi, yang mana jika dia ketahuan berkomunikasi bahkan memberi informasi padaku, habis lah dia. Tapi dia tetap memberitahuku banyak hal tanpa memikirkan hal itu.
[Den, makasih ya atas semua info-infonya.]
Dena orang baik. Mungkin jika bukan karena himpitan ekonomi, dia pun tak akan mungkin memilih jalan ini.
[Ya, Mbak. Pokoknya Mbak hati-hati saja, ya.]
[Pasti, Den.]
Dan pembicaraan kami hari itu pun berakhir disitu.
***
Waktu berlalu dan pagi pun tiba. Lauk pagi ini sudah selesai ku masak. Anak-anak sudah sarapan dan pergi ke sekolah, begitupun dengan Mas Hendra yang sudah pergi untuk bekerja.
Aku menjemur pakaian terakhir hari ini. Akhirnya, semua cucian selesai dijemur. Lantai pun sudah selesai disapu dan di pel, jadi bisa dibilang aku agak santai sekarang.
Saat suara Mamang sayur terdengar diluar rumah, bergegaslah aku keluar membeli beberapa bahan masakan malam nanti. Sengaja kubeli sekarang supaya aku tidak perlu keluar rumah lagi. Beberapa ibu lainnya turut berdatangan, dan kami pun jadi bergosip ria disela-sela berbelanja.
Setelah Mamang sayur dan beberapa ibu-ibu lainnya pergi untuk memasak, satu tetanggaku masih betah mengajakku mengobrol di teras rumah. Namanya Rena. Masih muda, mungkin sekitar umur 25. Dia punya satu anak perempuan berumur 5 tahun.
Tetanggaku itu tampaknya sedang sangat kusut. Dia tak bisa menceritakan secara gamblang masalah pribadinya di depan Mamang Sayur dan ibu-ibu lainnya, jadi dia memilih menunggu mereka semua pergi untuk mengajakku bercerita.
"Mbak, Reno kayaknya udah enggak cinta lagi sama aku. Dia bahkan ngusir aku semalam." Katanya.
Aku agak syok mendengar ceritanya.
Dulu kupikir mereka pasangan yang serasi. Bahkan nama mereka pun hampir mirip, Reno-Reni. Tapi sejak awal, hubungan mereka memang sering bermasalah. Ibunya Reni yang tak merestui pernikahan mereka memaki-maki Reno di hari pernikahan mereka. Dan sejak saat itu, sikap Reno pada Reni berubah. Yang awalnya manis dan baik, berubah jadi kasar karena sakit hati. Katanya, dia merasa tak dihargai sebagai seorang laki-laki.
Tapi sebenarnya jika saja Reno bisa lebih menurunkan emosi, bukankah harusnya dia lebih menyayangi Reni? Maksudku, demi dia Reni sampai putus komunikasi dengan ibunya. Dia lakukan itu demi menikah dengannya. Dan disaat dia sudah terbuang begini, suaminya malah ingin meninggalkannya juga?
Aku sebenarnya tidak ingin berkomentar banyak atas masalah rumah tangga orang lain, tapi... kasihan saja rasanya jika melihat perempuan di hadapanku ini.
"Terus rencana kamu gimana?" Tanyaku.
Reni tampak lesu. Dia meremas erat-erat plastik sayur yang dipegangnya.
"Entahlah, Mbak. Mungkin aku mau cari kerja. Reno bilang katanya dia enggak akan ngasih uang belanja lagi ke aku. Jelas kelihatan kalau dia udah kepingin banget nendang aku dari rumah. Jadi... ya gimana. Enggak mungkin juga aku diam aja tanpa uang, kan. Buat makan, susu anak, jajan anak, darimana aku dapat semua itu kalau Reno benar-benar memutus uang untuk kami?"
Aku menggut-manggut. Benar juga.
Aku tidak tahu harus berkomentar bagaimana, jadi aku hanya bisa menepuk-nepuk bahunya pelan.
"Semoga dapat jalan keluar ya, Ren." Kataku.
Reni mengangguk lemas.
Setelah Reni pergi, aku jadi kepikiran. Rumahku dan Reni kebetulan memang saling berhadapan. Dan rumah tangga kami sama-sama sedang diguncang dengan hebat. Ada apa dengan dunia akhir-akhir ini, ya?
Aku menggelengkan kepala.
Satu pesan mendarat mulus di ponselku. Aku membukanya, ternyata dari Dena.
[Mbak, Mami mau buka usaha pondok kelapa.]
Dia mengirimkan sebuah foto padaku. Sebuah meja beserta alat-alat yang dibutuhkan di bawah sebuah pohon besar yang mengarah ke jalan raya, beserta tumpukan kelapa muda di belakangnya. Bahkan banner bertuliskan, "Pondok Kelapa Dewi" juga sudah terpasang, pertanda dia sudah benar-benar menyiapkan semuanya untuk berjualan.
Dahiku mengerut.
Kok, tiba-tiba sekali dia membuka usaha itu?
Berjualan kelapa?
Tidak, tidak ada salahnya berjualan kelapa. Tapi kalau Dewi yang jualan... ya jelas aneh.
Soalnya dia bukan dalam rencana untuk tobat. "Anak-anak" nya saja masih banyak, dia masih dapat setoran dari mereka. Jadi alibi dia berjualan untuk bertaubat rasanya tidak mungkin.
Aku sebenarnya tidak sedang berniat untuk mencari tahu informasi tentang perempuan itu. Tapi karena Dena sudah memberitahu, sekalian saja aku bertanya padanya.
[Kenapa dia tiba-tiba jualan kelapa, Den?]
Aku mengetuk-ngetuk layar ponsel milikku, menunggu jawaban darinya.
Ting!
Pesan baru masuk, dan aku langsung membukanya. Dan lagi, mataku melebar tak percaya saat membaca pesan itu.
[Yah, jualan. Jualan kelapa, jualan perempuan. Nanti kan kalau ada pelanggan atau supir yang mampir, bisa pesan kelapa sekalian pesan perempuan disitu. Lagipula pondok kelapa kan emang tempat untuk sewa yang begituan, Mbak. Enggak tahu, ya?]
Wah, aku tidak tahu kalau jualan kelapa bisa sembari jualan begitu, loh.
Berteman dengan Dena benar-benar membuka jendela informasi baru untukku, ya?
***
Jangan lupa like, komen, dan subscribe!
See you tomorrow 😘
Semangat berkarya ya Thor