Amara dipaksa menikah dengan Arya, pria yang ia cintai sejak kuliah. Namun, Arya, yang sudah memiliki kekasih bernama Olivia, menerima pernikahan itu hanya di bawah ancaman dan bersumpah tak akan pernah mencintai Amara.
Selama setahun, Amara hidup dalam penjara emosional, diperlakukan seperti hantu. Tepat di hari jadi pernikahan yang menyakitkan, Amara melarikan diri dan diselamatkan oleh Rendra, sahabat kecilnya yang telah lama hilang.
Di bawah bimbingan Rendra, Amara mulai menyembuhkan luka jiwanya. Ia akhirnya bertanya, "Tak pantaskah aku dicintai?" Rendra, dengan tegas, menjawab bahwa ia sangat pantas.
Sementara Amara dan Rendra menjalin hubungan yang sehat dan penuh cinta, pernikahan Arya dan Olivia justru menghadapi masalah besar akibat gaya hidup Olivia yang suka menghamburkan uang.
Pada akhirnya, Amara menemukan kebahagiaannya yang pantas bersama Rendra, sementara Arya harus menerima konsekuensi dari pilihan dan sikapnya di masa lalu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Isma Malia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Malam Pertama di Kamar 82
Upacara pernikahan telah selesai, dilanjutkan dengan acara resepsi. Arya dan Amara berdiri di atas pelaminan yang tinggi, menerima ucapan selamat dari klien dan kolega bisnis mereka.
Mereka berdua berdiri kaku, mempertahankan senyum formal yang dipaksakan. Amara tampak elegan dan anggun, sementara Arya tampak seperti patung yang tampan namun tanpa jiwa.
Rangkaian tamu terus mengalir:
Tamu 1 (Kolega Aldridge): "Selamat, Tuan Arya, Nyonya Amara! Semoga pernikahan ini membawa berkah bagi Aldridge dan Wijaya Group. Pernikahan terbaik tahun ini!"
Arya: (Mengangguk kaku) "Terima kasih."
Amara: (Tersenyum anggun) "Terima kasih banyak, Tuan."
Tamu 2 (Kolega Wijaya): "Selamat, Amara! Kamu terlihat sangat bahagia. Tuan Arya, jaga putri bos kami baik-baik, ya!"
Amara: "Tentu, Bibi. Terima kasih."
Arya: (Mengangguk, menghindari tatapan)
Saat seorang tamu menjabat tangan Amara, Arya menggunakan kesempatan itu untuk secara diam-diam melihat sekeliling ballroom, mencari Olivia.
Pandangannya menyapu dekorasi megah, dan matanya terpaku pada sudut ruangan, agak jauh dari panggung. Di balik susunan hiasan bunga-bunga champagne yang tinggi dan lebat, ia menemukan keberadaan Olivia.
Olivia mengenakan pakaian elegan dan mata mereka bertemu. Senyum Olivia adalah senyum kemenangan yang dingin, penuh janji dan ancaman.
Jantung Arya terasa mencelos. Ia baru saja bersumpah setia di altar, dan kini, kekasih terlarangnya menyaksikan semua itu. Meskipun terkejut dan gelisah, secara refleks, Arya membalas tatapan itu dengan senyum tipis. Senyum itu murni, sekilas, dan penuh makna tersembunyi—ekspresi lega karena Olivia ada di sana, berbagi sandiwara ini dengannya.
Tepat saat itu, Amara yang merasa aneh karena Arya berdiri kaku, melirik ke arah suaminya. Ia melihat Arya tersenyum. Senyum pertama yang ia lihat dari Arya.
Amara terkejut. Ia segera mengikuti arah pandang Arya, berusaha mencari tahu apa yang membuat suaminya yang dingin itu tiba-tiba menunjukkan emosi.
Namun, Olivia sangat cepat. Begitu melihat Amara melirik, ia langsung bersembunyi sepenuhnya di balik rimbunnya hiasan bunga. Amara tidak melihat apa pun, hanya deretan bunga.
Amara kembali menoleh ke suaminya. Senyum Arya sudah hilang secepat kemunculannya. Wajahnya kembali menjadi topeng datar, dingin, dan tanpa jiwa.
Amara mengerutkan kening. Ia yakin melihat Arya tersenyum. Siapa atau apa yang membuatnya tersenyum, dan mengapa itu hilang begitu cepat? Kejadian singkat itu meninggalkan keraguan dan firasat yang tidak menyenangkan di benak Amara.
Dari balik persembunyiannya yang sempurna, Olivia tersenyum puas. Ia telah melihat kilasan senyum Arya, meyakinkannya bahwa hati Arya masih miliknya.
“Amara, lihat saja. Gaun pengantinmu memang indah, tapi malam pertama ini... lihat saja apa malam pertama ini akan menjadi milikmu,” kata Olivia dalam hati, penuh kepastian yang mengancam. Ia mengencangkan cengkeramannya pada sesuatu yang tersembunyi di dalam tas tangannya.
Acara resepsi megah di ballroom akhirnya selesai.
Kakek Umar melangkah mendekati Arya dan Amara. "Arya, Amara," ujarnya. "Malam ini kalian akan menginap di kamar pengantin hotel ini. Besok pagi, Bima akan menjemput kalian dan mengantar kalian ke apartemen mewah yang sudah kami siapkan."
" Ini kuncinya, Arya," katanya, menatap Arya dalam-dalam, sebuah permohonan tanpa kata agar putranya menahan diri malam ini.
Zayn mendekati putrinya. "Arya, saya titip putri saya. Jaga dia baik-baik." Zayn menatap Amara. "Dan Amara, perlakukan Arya sebagai suamimu. Jaga nama baik keluarga."
Amara mengangguk. Arya menerima kunci kartu itu dengan kaku, hanya mengangguk singkat pada Zayn. Kunci itu terasa dingin di tangannya, membuka pintu menuju malam yang penuh sandiwara.
Setelah semua perpisahan selesai, Arya tidak membuang waktu. Ia tidak mengucapkan sepatah kata pun kepada Amara. Dengan kunci kartu kamar di tangan, Arya berbalik dan berjalan lebih dulu, langkahnya cepat dan tegang, menuju lift. Amara menghela napas, menerima kenyataan bahwa suaminya bahkan tidak mau berjalan bersamanya. Ia menjaga jarak aman di belakang Arya.
...***...
Mereka berdua masuk ke dalam lift, di mana keheningan mencekik. Mereka tiba di lantai kamar pengantin. Arya berjalan cepat, menemukan pintu kamar, dan segera memasukkan kunci kartu.
Arya membuka pintu dan melangkah masuk lebih dulu. Kamar itu adalah suite mewah, didekorasi dengan romantis. Amara masuk, matanya terpaku pada ranjang king size yang dihiasi kelopak mawar.
Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Arya berjalan menuju ranjang itu. Ia segera menarik selimut dengan kasar, membuat kelopak mawar berceceran di lantai.
Amara terdiam, terkejut melihat agresi Arya terhadap dekorasi yang tidak bersalah itu.
Arya mengambil satu bantal dan satu selimut tambahan dari lemari, lalu berjalan menuju sofa panjang di sudut ruangan. Ia melemparkan bantal dan selimut itu ke sofa.
Arya berbalik, menatap Amara dengan tatapan dingin dan tanpa emosi.
"Kamu malam ini tidur di sini," kata Arya, menunjuk sofa panjang, nadanya mutlak. "Dan aku tidur di sana." Ia menunjuk ranjang besar yang kini sudah kosong dari hiasan.
"Arya, kita kan..." Amara mencoba memprotes.
"Tutup mulutmu. Jangan banyak tanya," potong Arya.
Arya kemudian berbalik dan pergi ke dalam kamar mandi, menyalakan keran air keras-keras, berniat untuk menghubungi Olivia di balik suara gemericik air.
Amara berjalan perlahan menuju sofa. Gaun pengantin yang megah itu terasa sangat berat. Ia duduk dengan hati-hati, menyadari betapa dingin dan jelasnya sandiwara pernikahan ini akan berlangsung. Ia kini harus tidur di sofa, sementara suaminya tidur di ranjang pengantin yang nyaman.
Di dalam kamar mandi, Arya mengunci pintu.
"Liv, ini aku," bisik Arya, suaranya sangat pelan di balik suara air keran yang kencang.
"Arya, kamu sudah sampai di kamar? Bagaimana? Apa dia curiga?" tanya Olivia cemas.
"Tidak. Dia baik-baik saja, atau setidaknya pura-pura baik-baik saja," jawab Arya dingin. "Dengar, aku tidak bisa keluar sekarang. Mama mengirimkan pakaian ke sini sebentar lagi. Aku tidak bisa mengambil risiko."
"Lalu kapan?" desak Olivia.
"Aku akan menemuimu malam ini. Aku akan menemuimu saat dia tertidur," janji Arya. "Aku akan tunggu sampai dia tidur pulas di sofa, lalu aku akan menyelinap. Kau harus tetap di kamarmu. Kamar 82. Aku akan mengirimkan pesan saat aku di jalan."
"Baiklah, Sayang. Aku akan menunggumu. Jangan lama-lama," kata Olivia.
Arya mengakhiri panggilan. Ia mematikan keran air, wajahnya menunjukkan tekad yang gelap.
Tepat setelah Arya mematikan keran, suara ketukan keras terdengar di pintu kamar suite.
Tok...! Tok...! Tok...!
Amara yang sedang duduk kaku di sofa segera menoleh ke pintu.
"Siapa?" tanya Amara.
"Kami dari Aldridge dan Wijaya, Nyonya. Kami membawakan koper dan barang-barang Anda," jawab suara dari luar.
Arya menarik napas lega. Ia tahu itu adalah Bima dan Rio.
Amara berjalan ke pintu dan membukanya. Di sana berdiri Bima dan Rio.
"Selamat malam, Nyonya Amara," sapa Bima, matanya bergerak cepat memindai ruangan.
"Di mana Tuan Arya?" tanya Bima, suaranya mengandung nada curiga.
"Dia ada di kamar mandi," jawab Amara datar.
Bima dan Rio meletakkan koper. Saat mereka berbalik untuk pergi, Bima sempat melirik ke ranjang ia melihat dekorasi mawar berantakan dan sofa yang telah dilengkapi bantal dan selimut. Ia segera menyadari pemisahan tempat tidur itu.
"Kami permisi, Nyonya. Jika ada apa-apa, hubungi saya," kata Bima, tatapannya kini dipenuhi kecurigaan yang semakin kuat.
Setelah pintu tertutup, Arya keluar dari kamar mandi.
"Sudah diantar?" tanya Arya.
"Sudah," jawab Amara.
Arya mengangguk dan segera meraih kopernya. Ia hanya perlu menunggu Amara tertidur.
Setelah koper diantar, Arya mengirim pesan singkat kepada Olivia bahwa ia akan mencoba tidur sekarang, lalu berbaring di ranjang, berpura-pura tertidur untuk mengelabui Amara.
...***...
Amara keluar dari kamar mandi dengan pakaian tidurnya yang sederhana. Ia melihat Arya sudah di ranjang, memunggunginya. Amara pun berjalan ke sofa, menyelimuti dirinya, dan berusaha memejamkan mata.
Pukul 22.30 malam. Amara telah tertidur pulas di sofa karena kelelahan emosional dan fisik.
Arya, yang tetap terjaga, diam-diam bangkit. Ia mengambil kartu kunci kamar cadangan. Ia melihat pesan dari Olivia: Aku sudah menunggumu, Sayang. Kamar 82.
Arya bergerak sehalus mungkin, menyelinap ke pintu, dan membuka kunci pintu dengan sangat hati-hati.
Ia melangkah keluar, lalu menutup pintu kamar pengantin di belakangnya tanpa mengunci dari luar. Arya berjalan cepat menyusuri lorong hotel menuju Kamar 82.
Tak lama, Arya tiba di depan kamar Olivia. Ia mengetuk pintu dengan pelan, dua kali.
Pintu segera dibuka. Olivia sudah menunggu, mengenakan gaun tidur satin yang sangat menggoda.
"Kamu datang, Sayang," bisik Olivia penuh kemenangan, menarik Arya masuk, lalu segera menutup pintu di belakang mereka.
Tanpa membuang waktu, mereka segera bercumbu dengan penuh gairah, menjatuhkan diri ke ranjang kamar hotel itu.
Malam itu, di Kamar 82, Arya dan Olivia melakukan hubungan suami istri yang seharusnya dilakukan Arya dan Amara di kamar pengantin. Itu adalah tindakan pengkhianatan yang dingin, penegasan janji terlarang.
Di kamar pengantin, Amara tertidur pulas di sofa, tidak menyadari bahwa suaminya sedang menghabiskan malam pernikahannya hanya beberapa kamar jauh nya.
...***...
Gairah yang terlarang akhirnya mereda. Arya mendongak, melihat cahaya samar-samar di jendela. Fajar sudah tiba.
Rasa panik mencengkeramnya. "Aku harus kembali sebelum ketahuan," bisik Arya, segera meraih pakaiannya.
Olivia hanya tersenyum puas. "Ya. Hati-hati, Sayang."
Arya segera berpakaian dan menyelinap keluar. Ia berjalan cepat menyusuri lorong, kembali ke Kamar 69. Ia membuka pintu dengan sangat perlahan dan menyelinap masuk.
Arya melihat ke sofa. Amara masih tertidur. Ia segera melompat ke ranjang, memposisikan dirinya memunggungi Amara, dan berpura-pura tertidur pulas.
Tak lama kemudian, Amara terbangun. Ia melihat Arya sudah ada di ranjang, dan ia menghela napas. Malam pernikahan telah berlalu, dingin dan sendiri, persis seperti yang ia duga.
Tepat saat Amara selesai merapikan diri, terdengar ketukan di pintu kamar.
Tok... Tok... Tok..
Amara membuka pintu. Di sana berdiri Bima dengan wajah datar dan Pelayan room service membawa sarapan.
"Selamat pagi, Nyonya Amara," sapa Bima. "Saya akan mengantar kalian ke tempat tinggal baru kalian sesuai perintah Tuan Besar. Saya harus memastikan Tuan Arya sudah siap."
"Ah, dia masih tidur," kata Amara, menunjuk ke ranjang.
Bima berjalan mendekati ranjang. "Tuan Arya, sudah pagi. Waktunya untuk berangkat."
Arya bergumam pelan, berusaha mempertahankan pura-pura tidurnya.
Bima tidak sabar. "Tuan Arya, ada Kakek Umar. Beliau menelepon dan menanyakan apakah Anda sudah berangkat menuju apartemen."
Mendengar nama Kakek Umar, Arya langsung membuka mata dan duduk tegak dengan cepat. Rasa kantuknya hilang, digantikan kepanikan.
"Kau membohongiku, Bima," desis Arya. Ia menyadari ia harus segera menghilangkan jejak Olivia. Arya langsung melompat dari ranjang dan berlari cepat masuk ke kamar mandi, membanting pintu dan menguncinya.
Bima hanya tersenyum tipis, misinya berhasil. Sementara Amara hanya bisa menatap bingung.
...***...
Setelah Arya mengunci diri di kamar mandi, Amara dan Bima ditinggalkan dalam keheningan yang canggung. Bima memastikan Pelayan room service sudah keluar, lalu menutup pintu.
Amara mendekati troli sarapan. Ia mengambil piringnya dan duduk di sofa—tempat tidurnya semalam—dan mulai makan.
Bima tetap berdiri di tengah ruangan. Matanya menyapu kamar, mencatat setiap detail: selimut yang dilipat Amara dengan rapi, koper yang sudah siap, dan pintu kamar mandi yang tertutup rapat.
"Nyonya Amara, apakah ada masalah semalam?" tanya Bima, suaranya pelan dan serius. Ia tidak bertanya karena ingin tahu, tetapi karena diperintahkan untuk memastikan Arya tidak melakukan apa pun yang melanggar janji keluarga.
Amara mengangkat pandangannya dari piring. Ia menatap Bima dengan tenang, wajahnya kembali pada topeng profesional yang ia pasang di altar.
"Tidak ada masalah, Bima," jawab Amara datar. "Tuan Arya hanya sedikit kelelahan setelah resepsi yang panjang."
Bima mengangguk, menerima jawaban itu, tetapi kecurigaan di matanya tidak hilang. Ia tahu bahwa Arya dan Amara menghabiskan malam pengantin di ranjang yang berbeda. Tugasnya adalah memastikan rahasia ini tidak bocor.
Lima belas menit kemudian, Arya keluar dari kamar mandi. Ia sudah mengenakan pakaian kasual yang ia siapkan—pakaian yang baru dan tidak membawa aroma Olivia. Ia tampak segar dari luar, tetapi matanya terlihat lelah.
"Ayo, kita berangkat," kata Arya, suaranya tegas. Ia sama sekali mengabaikan Amara.
"Tuan Arya, sarapan dulu," kata Bima, menunjuk troli yang masih penuh.
"Tidak ada waktu," potong Arya. "Kita harus segera sampai sebelum Kakek Umar menelepon lagi."
Arya mengambil kopernya. Amara yang sudah selesai sarapan, mengikuti langkah Arya tanpa sepatah kata pun. Mereka mulai meninggalkan kamar hotel. Bima menuntun Arya dan Amara memasuki lift.
Di dalam lift, Amara berdiri di sudut. Arya berdiri kaku, sementara Bima mengawasi keduanya melalui pantulan pintu lift.
Sementara itu, di lantai yang sama, Olivia tersenyum penuh kemenangan saat melihat Arya dan Amara masuk ke lift bersama Bima.
Sesampainya di basement hotel, Bima mengarahkan Arya dan Amara ke mobil yang sudah menunggu.
Bima segera membuka pintu belakang untuk mereka. Arya dan Amara masuk di kursi belakang, sementara Bima duduk di kursi depan, siap mengantarkan mereka.
Tepat saat mobil mereka mulai bergerak menjauh, di sudut lain basement, Olivia juga keluar dari hotel, tersenyum penuh kemenangan karena misinya telah selesai.
...***...
Perjalanan menuju apartemen mewah yang disiapkan Kakek Umar terasa sangat panjang. Di kursi belakang, Arya dan Amara duduk terpisah, dipisahkan oleh keheningan yang tebal dan Bima sebagai pengawas di depan.
Arya mencoba memeriksa ponselnya, tetapi ia menyadari Bima mengawasinya melalui kaca spion tengah. Ia terpaksa menyimpan ponselnya, pura-pura fokus pada pemandangan.
Amara mencoba membuka percakapan, sekadar untuk meredakan ketegangan.
Apartemen baru kita... di daerah mana?" tanya Amara, menoleh ke Arya.
Arya bahkan tidak menoleh padanya. Ia menatap ke luar jendela dengan ekspresi bosan.
"Tanyakan pada Bima," jawab Arya dingin. "Dia yang tahu logistiknya."
Amara tersentak. Ia menatap Bima.
"Apartemen Anda di kawasan Kemang, Nyonya Amara," jawab Bima sopan, berusaha menengahi. "Itu adalah salah satu kompleks termewah dan terjaga keamanannya di Jakarta."
"Terima kasih, Bima," kata Amara.
Amara kembali menatap Arya, mencoba untuk tidak menunjukkan rasa sakit hati atas penolakan Arya yang begitu terbuka.
Aku adalah istrinya, dan ia bahkan tidak mau bicara padaku, batin Amara. Ia menghela napas, memutuskan untuk mengikuti keputusan malam tadi: sandiwara profesional. Ia memalingkan wajah dan menatap ke luar jendela, menjaga jarak yang Arya inginkan.
Bima, yang menyaksikan interaksi dingin ini dari kursi depan, kembali menyimpan kecurigaan yang dalam.
Bersambung......