Banxue tidak pernah meminta kekuatan—apalagi anugerah terkutuk berupa Tubuh Surgawi—kekuatan kuno yang diburu oleh sekte-sekte suci dan klan iblis sekaligus. Ketika masa lalunya dihancurkan oleh pengkhianatan dan masa depannya terancam oleh rahasia, ia memilih jalan sunyi dan pedang.
Dalam pelarian, dikelilingi oleh teman-teman yang tak sepenuhnya bisa ia percaya, Banxue memasuki Sekte Pedang Azura… hanya untuk menyadari bahwa kepercayaan, sekali retak, bisa berubah menjadi senjata yang lebih tajam dari pedang manapun.
Di tengah ujian mematikan, perasaan yang tak diucap, dan badai takdir yang semakin mendekat, Banxue harus memilih: berjuang sendirian—atau membiarkan seseorang cukup dekat untuk mengkhianatinya lagi?
Di dunia di mana kekuatan menentukan nilai diri, sejauh apa ia akan melangkah untuk merebut takdirnya sendiri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kimlauyun45, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
keretakan
Langit siang itu tetap cerah, namun langkah Banxue terasa berat saat ia turun dari Paviliun Utara. Cahaya matahari menyinari batu-batu jalan setapak, menciptakan bayangan yang bergoyang seiring langkahnya.
Di halaman bawah, Wayne dan Linrue sudah menunggunya. Wayne bersandar pada tiang kayu dengan tangan terlipat, sedangkan Linrue duduk di tangga batu, memainkan ujung pita rambutnya.
"Kau lama sekali di sana," gumam Wayne pelan, matanya tak melepaskan pandangan dari Banxue. "Dengan dia."
Banxue hanya menatap Wayne tanpa menjawab. Suara langkahnya terhenti, dan sorot matanya tampak dingin.
"Itu bukan urusanmu," ucapnya akhirnya. Nada suaranya datar, namun tegas.
Wayne terlihat hendak membalas, namun sebelum sempat berbicara, Fengyu muncul dari arah kiri, langkahnya cepat dan rapi.
"Kau bicara dengan Jingyan? Apa yang dia katakan?" tanyanya langsung tanpa basa-basi.
Wayne menyipitkan mata. "Sejak kapan kau jadi penyidik?"
Fengyu menatap tajam. "Sejak aku menyadari banyak hal aneh yang terjadi setelah dia muncul."
"Kau terlalu mencurigai segalanya, Fengyu. Tidak semua orang datang untuk menusukkan pedang ke punggungmu," sergah Wayne.
"Dan kau terlalu mudah percaya, Wayne. Dunia ini bukan seperti dongeng. Kau harus tahu siapa musuhmu."
Linrue berdiri buru-buru, mencoba menenangkan.
"Sudah, cukup. Kita satu kelompok. Tidak seharusnya saling mencurigai begini."
Fengyu mengalihkan tatapan pada Linrue. "Kau juga harusnya tahu, Linrue. Banxue bukan murid biasa. Apa pun yang menyangkut dia... akan menyangkut kita semua."
Wayne mengepalkan tangan. "Kau berbicara seolah dia beban."
Fengyu menghela napas panjang. "Bukan beban. Tapi... pemicu. Kau lihat sendiri apa yang terjadi di aula. Sekte sedang bergerak. Banyak mata yang memandang ke arah kita sekarang."
"Termasuk matamu?" tantang Wayne.
Fengyu menegang. "Aku menjaga dari dalam. Bukan mengintai. Tapi kalau kau ingin mengujinya, silakan."
Suasana menjadi tegang. Linrue menoleh pada Banxue, berharap ia akan menghentikan keduanya. Tapi Banxue hanya berdiri diam. Matanya menatap tanah, wajahnya tak menunjukkan apa pun—namun pikirannya kacau.
"Aku lelah," katanya tiba-tiba, suaranya hampir tak terdengar. "Kalau kalian ingin bertengkar, lakukan tanpa membawa namaku."
Ketiganya terdiam.
Banxue melangkah pergi, meninggalkan mereka dalam keheningan yang tebal. Saat langkahnya menjauh, Linrue menatap Wayne dan Fengyu bergantian.
"Kalian berdua... harus bicara baik-baik. Kita tidak bisa terus begini."
Wayne hanya menatap bayangan Banxue yang semakin jauh. "Dia sudah cukup banyak menanggung. Kita seharusnya menjadi penopangnya. Bukan sumber luka baru."
Fengyu mengangguk pelan, namun di balik ekspresinya, masih ada ketegangan yang belum terurai.
Di tempat lain, Jingyan berdiri di atas atap paviliun kecil, memperhatikan kejadian tadi dari kejauhan. Angin siang meniup rambut peraknya lembut. Ia tersenyum kecil.
"Retakan kecil dalam kelompok kuat... bisa jadi awal kehancuran. Tapi Banxue, kau akan bertahan. Aku yakin itu."
Ia memalingkan wajah ke langit. "Dan aku akan memastikan mereka tak membuatmu jatuh."
Bayangan awan perlahan menutupi matahari.
Sementara itu, Banxue berjalan sendirian menyusuri jalan setapak menuju taman latihan belakang. Di tempat itu, biasanya hanya suara angin dan bambu yang menemani. Hari ini pun begitu—sunyi, namun terasa menenangkan.
Ia duduk di atas batu besar, memejamkan mata. Namun yang muncul bukan ketenangan, melainkan bayangan-bayangan percakapan tadi.
Wayne dan Fengyu bertengkar karena dirinya. Linrue mencoba menjaga semuanya tetap utuh, tapi Banxue bisa merasakan jarak yang mulai tumbuh.
Ia membuka mata perlahan, menatap ujung langit biru yang tenang.
"Jika aku bukan pusat kekacauan ini... mungkin semua akan lebih mudah," bisiknya.
Tapi ia tahu. Dirinya berbeda. Bukan karena keinginannya, tapi karena kenyataan yang tak bisa diubah.
Ia mengepalkan tangan. "Kalau mereka semua mulai retak... maka aku harus menjadi pengikatnya."
Langkahnya kembali mantap. Dan di dadanya, rasa kecewa itu berubah menjadi tekad.
Hari itu, di bawah langit biru yang palsu tenangnya, seorang murid dengan tubuh surgawi mempersiapkan dirinya. Bukan hanya untuk bertahan, tapi untuk menantang apa pun yang akan datang.