Jia dan Liel tidak pernah menyangka, bahwa dimulai dari sekotak rokok, pertemuan konyol di masa SMA akan menarik mereka ke dalam kisah penuh rahasia, luka, dan perjuangan.
Kisah yang seharusnya manis, justru menemukan kenyataan pahit. Cinta mereka yang penuh rintangan, rahasia keluarga, dan tekanan dari orang berpengaruh, membuat mereka kehilangan harapan.
Mampukah Jia dan Liel bertahan pada badai yang tidak pernah mereka minta? Atau justru cinta mereka harus tumbang, sebelum sempat benar-benar tumbuh.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Avalee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jalan Pulang yang Tidak Sepenuhnya Tenang
Pagi ini adalah hari kelima, dimana Jia akan pulang. Dokter beserta perawat masuk untuk memeriksa keadaan Jia. Setelah dinyatakan sehat, dokter tersebut keluar dari ruang kamar terlebih dahulu.
“Semalam, teman priamu meminta ijin dariku untuk menjengukmu sebentar. Awalnya dia hanya melihatmu dari balik pintu, lalu masuk dan memperbaiki selimutmu sebelum akhirnya pulang.” tutur si perawat seraya melepas perban di kepala dan tangan Jia.
Seketika Jia memutar otaknya. Mencoba menebak pria yang dimaksud oleh si perawat. “Wah, sepertinya dia tidak sampai memperbaiki selimutku, karena dia pulang terlebih dahulu.”
“Benarkah? Sebab dia melakukannya dini hari,” pukul 00:20.
Seraya tersenyum, perawat tersebut pergi meninggalkan Jia yang penuh dengan tanda tanya. Dia menunduk di samping ranjang yang kosong, mencoba berpikir keras.
“Apakah Liel? Hei, tidak mungkin! Kami kan sedang bertengkar! Atau … Doris? Aiiih … sepertinya tidak!!” gumam Jia seraya memegang ponselnya.
Kemudian ponselnya berbunyi, membuat Jia berhenti bicara kepada dirinya sendiri. Ayah dan Jad menghubungi Jia melalui “video call”, memastikan apakah dirinya benar-benar sudah sembuh dan bisa keluar dari rumah sakit.
Jia meyakinkan mereka bahwa dirinya baik-baik saja dan akan segera pulang. Sayup-sayup terdengar suara pintu terbuka lebar, Liel dan Nata masuk tanpa aba-aba.
Jia mengernyitkan dahi. “Kalian datang … untuk apa? Mang Ceceng akan segera tiba, menjemputku ….”
Nata tersenyum, enggan menjawab dan berlalu ke kamar mandi. Sedangkan Liel menghampiri dan membantu mempersiapkan barang-barang bawaan Jia.
Merasa diabaikan, Jia mulai merasa kesal. “Hei, dengarkan aku! Apa kalian datang bersama?”
Liel menatap tajam kepadanya. “Tidak. Kami bertemu, tepat di depan pintu rumah sakit.”
“Bukankah … semalam kamu masih marah kepadaku? Lalu … untuk apa datang ke sini?”
“Di luar permasalahan kita, bukankah teman harus saling membantu?” balas Liel ketus.
Perasaan Jia seketika bercampur aduk, antara rasa kesal dan senang. Wajah tampannya begitu mengganggu pikiran Jia, hingga tanpa sadar dia terus mengamati Liel, membuatnya lupa bahwa dirinya masih melakukan “video call” bersama ayahnya dan Jad.
Tidak butuh waktu lama untuk ayahnya menanyakan dari mana asal suara pria yang saja didengarnya. Ayahnya juga bertanya apakah Liel adalah pacarnya. Seketika mata Jia dan Liel melebar dan saling beradu pandang.
Tanpa berkata apapun, Liel memberi kode, bertanya dengan siapa dirinya melakukan “video call”.
“Sial, aku lupa mematikannya,” ujarnya dalam hati seraya mengutuk dirinya sendiri.
Beruntungnya, Nata datang, sehingga Jia tidak perlu menjelaskan apapun kepada ayahnya. Tanpa tahu yang terjadi, Nata dengan wajah polosnya menyapa ayahnya dan Jad, bahkan mengajak Liel untuk memperkenalkan diri.
Pada saat mereka saling berkenalan, tiba-tiba terdengar suara tumit sepatu yang sedang beradu dengan lantai. Seorang wanita elegan dengan penampilan rapi dan aura tajam masuk ke dalam ruangan.
Suasana yang tadinya menyenangkan kini berubah menjadi tegang. Jia terpaksa mengakhiri “video call” dari ayahnya dan Jad, sumber kebahagiaannya yang tersisa.
“Siapa wanita dewasa ini? Mengapa parasnya begitu menawan?” tanya Nata berbisik seraya menyikut tipis tangan Jia.
Jia tidak menghiraukannya. Situasi canggung pun tidak terelakkan, saat tidak ada seorangpun berbicara. kemudian, dengan wajah tidak bersalah, dia mengatakan sesuatu yang membuat Jia geram.
“Jia, ada apa ini, kamu ingin pergi kemana?” tanyanya.
Jia menghela napas panjang sambil menahan sesak di dada. “Ibu bahkan tidak tahu ini hari aku keluar dari rumah sakit. Sudahlah, mari kita bicarakan di rumah saja, aku pergi dulu.”
Nata terkejut, matanya melebar seraya menutup bibirnya yang sempat terbuka lebar. Bagaimana tidak, siapapun yang melihat ibunya, pasti mengira dia adalah seorang wanita dewasa yang cantik bak selebriti.
Kemudian ibunya Jia menahan langkah Nata dan Liel yang mengikuti Jia. “Kalian berdua temannya? Maafkan Jia jika merepotkan kalian, sekarang pulanglah, biar aku yang mengurusnya,” sela ibunya dengan arogan.
Liel dan Nata hanya mampu mengangguk pasrah. Mereka berdua berusaha untuk diam, bahkan berencana untuk meninggalkan Rumah Sakit.
“Tidak usah berperan seolah-olah perhatian padaku, aku akan tetap pergi bersama mereka.”
“Jia, jangan mendramatisir keadaan, ibu harus menguji sidang skripsi beberapa mahasiswa dan melakukan penelitian.” jawab ibunya, tanpa menatap langsung anaknya.
“Faktanya begitu. Lagipula, mereka yang tidak sedarah denganku ini, lebih peduli padaku daripada ibu.”
“JIAA!!!” Bentak ibunya seraya menahan rasa marah.
“Nat, Liel, mari kita pergi.” Ucap Jia seraya meninggalkan ibunya yang terdiam mematung di ruang kamar rumah sakit.
...****************...
Mereka bertiga berjalan keluar dari rumah sakit, menuju mobil Cincoln Navigatornya Liel, tanpa berbicara sepatah katapun. Jia menyadari tatapan Nata sedari tadi menatapnya, menunggu Jia untuk angkat bicara.
Jia menghela napas panjang, memulai percakapan. “Bicara lah Nat, aku baik-baik saja, maafkan aku jika kalian harus melihat hal tadi.”
“Ah, tidak apa-apa Jia, kami sangat memahami apa yang terjadi, ceritakanlah kepada kami saat kamu sudah siap, bukan begitu Liel?”
Liel hanya diam, tidak merespon. Matanya fokus ke depan untuk menyetir mobil. Seketika wajah cemberut Nata tidak dapat disembunyikan saat tahu dirinya diabaikan. Kemudian, dia pun kembali berbicara.
“Jia, sekarang aku mengerti darimana paras cantikmu berasal. Tidak hanya dari ayahmu, bahkan ibumu pun terlihat menawan, fashion nya seperti anak muda namun sopan, kemudi—”
Liel memotong pembicaraan Nata. “Nat, bukankah saat ini tidak tepat untuk membahas topik tersebut?”
“Aku hanya memuji kecantikkan Jia yang berasal dari orang tuanya,” sela Nata cepat.
“Tanpa kamu bahas pun semua orang tahu kecantikannya berasal dari orang tuanya.”
Seketika semuanya terdiam. Mata Jia melebar, secepat kilat Jia menoleh ke arah Liel. Meskipun ekspresinya datar, namun terlihat Liel menggigit tipis bibirnya. Bisa dipastikan Liel sekarang sedang salah tingkah meskipun tidak terlihat.
“HAH, APA?? AKU TIDAK SALAH DENGAR BUKAN?” Ucap Nata dengan senyum sumringahnya sembari menggoda Jia dan Liel.
“Ibuku, Jia dan kamu … cantik. Semua wanita pada umumnya cantik.”
“Tidak usah berkelit, apakah kelepasan berbicara seperti ini adalah caramu mengungkapkan rasa pada Jia?” Balas Nata sembari tertawa terbahak-bahak.
Liel tidak menjawab satu patah kata pun, dari pertanyaan yang dilontarkan Nata padanya. Meski sangat penasaran akan jawabannya, entah mengapa Pikiran Jia berada di tempat lain. Mengingat perdebatan sengit antara dia dan ibunya membuat suasana hatinya menjadi tidak karuan.
Kemudian dia melihat bahwa letak rumahnya sudah tidak jauh dari jangkauan matanya. “Sepertinya kita harus berpisah, terima kasih karena kalian sudah mengantarku sampai ke rumah.”
“Jia, apa sebaiknya kita makan bersama dulu?” tawar Nata sembari mengeluarkan sedikit kepalanya dari kaca jendela belakang mobil.
“Hm, sepertinya tidak perlu … ah, tunggu, apa kalian sudah mendapat kabar tentang Sanna?” cecar Jia penasaran.
“Bukankah dia pindah sekolah? Baca saja infonya di grup kelas kita.”
“APA? PINDAH SEKOLAH??” teriak Jia seraya meremas tali tasnya.
,, suka deh puny sahabat macam Nata