Di dunia kultivasi Cangxuan, Han Wuqing bereinkarnasi dari bumi ke dunia kultivasi abadi yang penuh kekuatan dan ketidakadilan.
Setelah berkultivasi selama 10 tahun dengan susah payah, tanpa dukungan apapun. Akhirnya cheat system muncul mewajibkan dia membuat sektenya sendiri.
System aneh yang mengizinkannya memanggil kesadaran orang orang dari bumi, seolah dunia adalah game virtual reality.
Orang-orang dari bumi mengira ini hanya permainan. Mereka menyebutnya "VR immortal".
Mereka pikir Han Wuqing NPC...
Mereka pikir ini hanya ilusi...
Tapi didunia ini— Dialah pendirinya, dialah tuhan mereka. Sekteku Aturanku
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dwalkii, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Interaksi pemain dan Para NPC
Sementara itu di sekte yuandao.
Salah satu pemain—berpakaian gelap dengan nickname [ShadowFury]—berjalan cepat dari sisi barat. Di belakangnya, dua temannya ikut mengekor.
“Aku udah tekan tombol ‘ambil misi’. Harusnya kita dapat slot escort sekarang,” katanya sambil membuka panel sistem di udara. “Ini gampang. Jalanin aja, dapet EXP, reputasi, dan—”
Langkahnya berhenti.
Tubuhnya mendadak kaku. Cahaya biru pucat menyelimuti seluruh badannya, seperti medan tak kasatmata yang menahannya. Tak sakit, tapi juga tak bisa bergerak.
“Eh... kenapa gua...?”
Layar transparan muncul di depan wajahnya:
[Akses Ditolak. Karma Poin Anda berada di bawah ambang batas.]
[Sistem perlindungan ketua sekte aktif. Anda tidak memenuhi kriteria moral untuk tugas ini.]
[Status: Dibekukan sementara. Otomatis dilepas dalam 60 detik.]
“Astaga, serius?!” bentaknya. “Cuma karena karma minus satu? Itu waktu gua ngetroll kakak yue kemarin!”
Dua temannya terhenti di belakangnya. Salah satu dari mereka, [GuHandsome], mengangkat tangan.
“Bro, jangan marah ke sistem... Ayo lebih baik kita bersih-bersih sekte atau... kalian mau ke gua ratapan? Kalau Bertiga setidaknya kita tidak bosan menunggu”
ShadowFury: Huft, baiklah...ayo ke gua ratapan”
Di langit siang di atas Seribu Gunung tak terlalu terik—cahayanya keperakan, menembus tipis kabut lembah yang belum sepenuhnya hilang. Tapi bagi sebagian pemain yang baru tiba di Lembah Batu Merah, peluh sudah membasahi punggung mereka.
“Kita... sudah lari berapa li barusan?”
“Gue kira lembah ini ‘cuma’ 70 li. Tapi kenapa kayak 700...”
“Karena kita BUKAN NPC berkuda, bro.”
Di atas tanah hangus sisa pertempuran, lebih dari dua belas pemain berdiri berkelompok. Senjata di punggung, antusiasme masih membara—namun tatapan mereka berubah saat melihat pemandangan yang menyambut.
Puluhan manusia—lelaki, perempuan, tua, muda, bahkan anak-anak—duduk berjejer di sisi lembah. Sebagian tertidur bersandar pada batu, sebagian lainnya duduk memeluk lutut, mata mereka masih kosong.
Saat mereka melihat para korban yang duduk dalam diam—mata kosong, tubuh penuh luka lama, beberapa anak masih bersandar lemah di pelukan ibu mereka—lelucon pun menguap. Tak ada lagi yang tertawa.
Para pemain terdiam.
Han Wuqing berdiri tak jauh, tubuhnya kini telah sembuh total setelah menerima hadiah dari sistem. Ia menoleh ke arah Ziyan, yang berdiri gagah tak jauh dari altar, bulunya yang berkilau dalam cahaya fajar tampak memantulkan api ungu samar.
“Ziyan,” panggil Han pelan, namun cukup untuk terdengar jelas. “Kita punya prioritas.”
Burung itu mengeluarkan suara lirih yang dalam—gemuruh halus seperti bara yang bergolak. Ia melangkah mendekat, sayap-sayapnya mengepak perlahan, menyebar angin hangat ke arah para korban.
Han menoleh ke Lao Zhen. “Bawa anak-anak dan para lansia yang tak bisa berjalan jauh. Mereka naik di punggung Ziyan.”
Lao Zhen menatap makhluk itu dengan mata membelalak. “Kau… kau ingin mereka menunggangi...?”
“Ziyan tidak akan menyakiti siapa pun,” kata Han tegas. “Ia tahu siapa yang harus dilindungi.”
Ziyan menunduk sedikit, seperti mengizinkan. Beberapa anak sudah terpukau—mata mereka berbinar untuk pertama kalinya sejak tragedi.
Tanpa ragu, Han membuka panel sistemnya.
[Toko Sistem > Kebutuhan Dasar]
– Pakaian Linen Sederhana x50
→ Beli Sekarang
Dalam sekejap, tumpukan pakaian bersih dan sederhana muncul di udara, melayang perlahan lalu mendarat di tangan Han.
“Bagikan ini,” katanya pada Lao Zhen. “Tak ada yang pulang ke tempat baru dengan pakaian robek.”
Lao Zhen menunduk dalam. Beberapa korban mulai bergerak pelan, mengganti pakaian di balik batu atau bantuan kain tirai seadanya yang disediakan oleh para pemain. Seorang anak kecil tersenyum untuk pertama kalinya saat bulu leher Ziyan menyentuh pipinya—hangat, lembut, seperti selimut langit.
Han kemudian menoleh ke para pemain.
“Bentuk perimeter melingkar sejauh dua puluh meter. Dua di depan, dua di belakang. Sisanya menyebar. Yang bertugas di depan dan belakang, bantu siapa pun yang butuh pegangan atau kehabisan tenaga. Kita jaga jarak aman dari wilayah beast, tapi jangan pernah lengah.”
Ironshade mengangguk. “Dimengerti, Ketua.”
Pemain-pemain langsung bergerak. Tanpa formasi kaku, mereka menyesuaikan posisi seperti sungai yang mengalir di antara bebatuan—melingkupi para korban dalam keheningan, bukan sebagai penjaga, tapi sebagai pagar yang hidup.
Han Wuqing berdiri sebentar, menatap mereka semua—pemain, korban, langit merah keemasan, dan api ungu samar di bulu Ziyan.
Kemudian ia berkata pelan,
Bawa mereka pulang”
Tak perlu aba-aba tambahan. Pemain-pemain mulai bergerak mengikuti formasi. Namun, satu langkah lebih cepat dari mereka—Ziyan. Burung roh itu mengibaskan sayapnya sekali. Angin hangat menyapu tanah lembah, menggugurkan debu dan sisa abu dari pertempuran. Di punggungnya, para korban yang paling lemah—anak-anak kecil, lansia dengan tubuh gemetar, serta satu-dua orang yang masih belum bisa berdiri tanpa bantuan—telah diposisikan dengan hati-hati, disangga oleh bulu-bulunya yang lembut namun kokoh seperti bantalan Qi.
Ziyan mengeluarkan suara rendah, seperti alunan seruling yang tertahan, lalu mengepakkan sayapnya kuat-kuat.
Dalam sekejap, ia melesat ke langit, membawa serta harapan paling rapuh dari kelompok itu. Siluetnya memudar perlahan di balik kabut pagi, meninggalkan jejak api ungu samar di langit timur.
Han Wuqing tetap diam, hanya menatap ke arah langit. Dalam hatinya, ia menghitung waktu tempuh—Ziyan cukup cepat untuk bolak-balik ke sekte dan kembali sebelum barisan utama melintasi separuh jalan.
Ia lalu bicara tanpa menoleh,
“Kita tetap jalan. Ziyan akan menyusul.”
Suara langkah kaki menyusuri tanah lembah, melewati reruntuhan altar dan pohon hangus. Tak ada yang bicara. Hanya suara napas, gesekan sepatu dan sandal jerami, serta sesekali batuk kecil dari para korban.
Di tengah barisan, seorang anak kecil menoleh ke samping dan menarik lengan seorang pemain yang berjalan di dekatnya.
“...Kak, nama burungnya siapa?”
Pemain yang dipanggil, [Fireframe], sempat tertegun. Ia menoleh perlahan. “Hah? Eh... Ziyan. Namanya Ziyan.”
Anak itu mengangguk kecil, lalu bersandar lagi di tubuh ibunya.
Di sisi lain, [CallMeZilong] membantu seorang pria tua melewati akar-akar pohon besar. Langkahnya pelan, tombak di punggungnya bergoyang setiap kali ia menyesuaikan langkah dengan si kakek.
“Kenapa kalian... ikut membantu kami?” tanya pria tua itu pelan. “Kalian bisa saja... mengabaikan semua ini, bukan?”
Zilong menoleh pelan, senyum tipis muncul di wajahnya. Suaranya ringan, tapi penuh keyakinan.
“Karena aku pahlawan!” katanya, seolah itu jawaban paling sederhana di dunia.
Pria tua itu sempat terdiam. Langkahnya terhenti sejenak di atas akar, menatap pemuda di sampingnya dengan pandangan samar antara kagum dan bingung.
“Pahlawan, ya…” gumamnya lirih. “Sudah lama… tak ada orang yang berkata seperti itu dengan serius.”
Di depan Zilong ada [AshenVale]—yang biasanya cerewet—berjalan diam sambil membawa dua kantong air. Di sisinya, seorang anak perempuan menatap langit dan berkata,
“Langitnya... lebih biru di luar lembah.”
AshenVale tidak menjawab. Tapi ia tersenyum kecil, lalu menunduk sedikit, menyembunyikan ekspresinya.
Di antarmuka pribadinya, ia membuka log diam-diam dan mengetik satu baris:
[Log Pemain – Catatan Pribadi]
Ini masih game, kan? Tapi kenapa aku beneran ngerasa... bersalah kalau jalan terlalu cepat dan ninggalin kakek di belakang.
Tak jauh dari sana, [Fireframe] menoleh ke seorang korban yang tertinggal.
“Perlu digendong, Pak?”
Pria tua itu ragu. “Apa... tidak merepotkan?”
Fireframe tersenyum. “Nggak juga. Aku punya statistik stamina kayak keledai. Bukan bercanda.”
Ia memang berkata begitu sambil bercanda. Tapi tangannya tetap sigap. Gendongannya lembut. Dan dalam diam... ia juga tahu. Ini masih game. Tapi entah kenapa, berat tubuh orang tua itu—nyata.
Di depan, Han Wuqing berjalan tanpa menoleh ke belakang.
Ia tidak menegur mereka yang melambat. Tidak juga memuji mereka yang mulai diam.
Ia hanya tahu, mereka masih menganggap ini dunia virtual. Tapi hati mereka sudah mulai hidup di dalamnya.
semangattt/Determined//Determined/