lili ada gadis lugu yang Bahkan tidak pernah punya pacar. tapi bagaimana Ketika tiba di hari kiamat dia mendapatkan sebuah sistem yang membuatnya gila.
bukan sistem untuk mengumpulkan bahan atau sebuah ruang angkasa tapi sistem untuk mengumpulkan para pria.
ajaibnya setiap kali ke pria yang bergabung, apa yang di makan atau menghancurkan sesuatu, barang itu akan langsung dilipatgandakan di dalam ruangan khusus.
Lily sang gadis lugu tiba-tiba menjadi sosok yang penting disebut tempat perlindungan.
tapi pertanyaannya Apakah lili sanggup.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon samsuryati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
16
Langkah Lili menyusuri jalanan dalam pangkalan B terasa ringan meski hatinya masih sedikit menyimpan kecewa.
Dia seperti seorang istri yang di tinggal kabur oleh suaminya.
Tapi tidak masalah, pria tidak seorang,ini ada banyak di pangkalan kan.
Pilihan satu yang mengena di hati mu, hehehe.
Semangat Lili,ayo cari laki eh pria.
Lili dengan semangat perjuangan, segera keluar dari kawasan elit tempat tinggal Real ,yang berada di pusat pangkalan.
Ini rumah dalam kondisi bagus,dua lantai yang bersih dan kokoh, lengkap dengan listrik dan air bersih. Namun hari ini, dia ingin melihat seperti apa hidup orang-orang "biasa" di pangkalan ini.
Lili mungkin bisa menebaknya tapi dia sekarang memiliki misi tersembunyi.
Jalanannya mulai berubah dari batu halus menjadi semen retak lalu menjadi tanah keras. Ia tahu, itu tandanya dia sudah memasuki kawasan pemukiman tingkat menengah. Rumah-rumah di sini jauh lebih sederhana, banyak yang dibangun dari potongan logam bekas dan kayu bongkaran. Tapi atmosfernya terasa hidup. Anak-anak berlari-lari kecil, bukan untuk bermain tapi untuk menarik simpati dengan sepotong roti.
Mereka sangat kurus tapi masih bersemangat.Ini belum setahun dan semuanya memiliki beberapa keyakinan dengan pemerintah dana militer.
Tunggu sampai beberapa tahun di mana semua pemikiran indah ini hilang.
Berbanding terbalik dengan anak anak,orang dewasa lebih siap.Beberapa dari mereka bercengkerama sambil membersihkan senjata atau memperbaiki kendaraan.
Mereka berbaur antara wanita dan pria.Tapi jelas ada pemisahan, antara orang yang berniat untuk berjuang dan antara orang yang bermental menunggu bantuan.
Kelompok yang terakhir, terlihat duduk tanpa tahu harus melakukan apa.Seperti pengemis dan berpikir semua nya akan baik baik saat setelah beberapa saat.
Lili melihat itu dan tidak mau meletakkan pandangannya pas kelompok ini.
"Level mereka tidak pantas.Pasangan ku harus lah pria yang enak di mata dan enak juga di hati.Memilih mereka hanya buang buang emosi "
Lili terus berjalan pergi.
Di sanalah dia melihatnya sebuah pasar kecil yang berdiri seadanya di tengah lapangan luas. Kain terpal warna-warni dikaitkan pada tiang logam dan kayu, membentuk deretan lapak yang berjajar rapi. Orang-orang berkumpul, menawar, menjual, dan membeli… dengan semangat yang anehnya mengingatkan Lili pada hari-hari sebelum dunia berubah.
"tidak semua orang menyerah Hem, paling tidak ada yang berjuang untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik"
Lili menyukai orang orang seperti ini,dia mendekat, matanya menelusuri barang dagangan di setiap lapak.
Lapak pertama langsung menawarkan dagangannya ketika melihat lili datang.
"Kalung emas, cincin batu safir, bros antik… hanya dua poin nona…" gumamnya pelan, memandangi perhiasan mewah yang kini teronggok tak berharga, nyaris berdebu.
Dulu seseorang merasa di atas awan ketika bisa membeli nya.Tapi sekarang, siapa yang masih peduli dengan fashion.
Ketika makanan lebih berharga, perhiasan ini tidak berguna sama sekali.
Tak ada yang menoleh, tak ada yang tertarik.Tapi Lili terlihat seperti nona muda sebelum kiamat, cantik dan.. boros.
"Nona.."
"Maaf... hehehe"jawaban Lili membuat pedagang kembali lesu.
Lapak sebelah menjual tumpukan buku lama. "Komik, novel romansa, kamus bahasa Inggris…" dijual dengan harga satu poin untuk tiga buku. Tapi sama saja, tak ada yang melirik.Lili juga tidak sama sekali.
Kamus apa?is..dunia ini tidak lagi perlu makanan rohani, mereka butuh makan.Lili meninggalkan lapak buku dan terus melihat tanpa niat untuk membeli.
Ini karena tidak ada yang istimewa.
Namun ketika ia berpaling ke lapak di ujung gang sempit, matanya membelalak.
"Tomat?"
Satu butir tomat merah, segar, mengkilap… dipajang sendirian di atas nampan. Di bawahnya tertulis: 3 poin.
Tidak ditawar.
Dan ada dua orang sedang berebut untuk membelinya.
"Aku duluan,kau...
"Apa?aku akan bayar empat poin "
Yang lain tidak senang dia melotot dan berkata,"Lima poin...
"Oh enam poin dan bungkus dua buah..huh..
Pertempuran membuat pedagang tetawa tapi Lili tersenyum miris. “Di dunia yang hancur, bahkan tomat bisa jadi lebih berharga daripada cincin berlian.”
Ia melangkah pelan, mengamati bagaimana dunia ini sudah bergeser begitu jauh dari masa lalu. Perhiasan kini tak lebih penting daripada hidupmu. Bahkan buku ilmu dan hiburan,tak lagi dibutuhkan jika perut lapar dan tubuh harus tetap bertahan.
“Kiamat benar-benar mengubah segalanya,” bisiknya dalam hati. Tapi justru di tengah absurditas inilah, dia tahu, ada peluang.
Apakah pria tampan dan penurut juga di jual?
Dan Lili tak akan melewatkannya.
Langkah Lili masih ringan saat ia menyusuri lorong sempit di antara lapak-lapak pasar. Suasana pasar cukup ramai dan penuh hiruk-pikuk. Ia merasa biasa saja, tak menyadari bahwa setiap pasang mata kini tertuju padanya.
Pakainya terlalu bersih. Wajahnya tampak segar, rambutnya terikat rapi, dan bahkan sepatu yang ia kenakan tidak belepotan lumpur atau debu seperti milik orang-orang di sekitarnya. Ia terlihat mencolok di tengah kerumunan yang terbiasa hidup dalam debu, darah, dan kelangkaan.
"Eh, nona! Lihat ini! Gelang kulit asli, tahan lama dan modis!"
"Mbak! Aku punya korek api! Baru! Cuma minta setengah bungkus mie aja!"
"Nona cantik! Lihat ini ,panci anti lengket! Bisa masak tanpa minyak! Aku tukar satu, cukup dengan dua batang sosis kaleng!"
Tiba-tiba suara-suara itu mengerubunginya dari berbagai arah. Lili mematung sejenak, tidak menyangka kalau keberadaannya akan menarik perhatian sebanyak ini. Ia menoleh ke kanan, ke kiri dan benar saja, semua pedagang terlihat berharap padanya. Beberapa bahkan maju mendekat, mengangkat dagangan mereka nyaris ke wajahnya.
"Aku… aku tidak punya mie…" ucap Lili gugup, berusaha menolak dengan sopan.Sekerang dia makan dari real mana ada uang untuk belanja.
Gudang blok R masih di kunci , jadi dia benar benar miskin sekarang.Ini asli nggak bohong.
"Apa? kau bohong kan.Tapi kau kelihatan seperti punya segalanya!" sahut seorang ibu paruh baya dengan mata penuh harap.
"Aku hanya... tinggal di tempat kerabat,, aku bukan dari sini," tambah Lili cepat.
Namun penolakan halusnya hanya membuat para pedagang semakin antusias.
"Kalau begitu barter saja! Ini syal hangat! Musim dingin sebentar lagi!"
"Aku cuma minta satu biskuit! Cuma satu!"
"Minta saja pada kerabat mu! mereka pasti punya banyak!"
Lili mundur panik, mulai menyadari bahwa ia telah jadi pusat perhatian yang tidak diinginkan. Meski mereka tidak memaksanya secara kasar, tatapan mereka penuh harap dan nyaris putus asa,membuat dadanya sesak.
"Maaf… maaf, aku sungguh tidak bisa membeli apapun…!"serunya, lalu dengan langkah terburu-buru ia mulai menyelinap di antara kerumunan.
Para pedagang yang kecewa hanya bisa menghela napas, namun beberapa tetap mencoba mengikuti sambil mengangkat barang dagangan mereka tinggi-tinggi.
Akhirnya, setelah melewati dua gang sempit dan memutar ke belakang lapak sayuran, Lili berhasil lolos dari kerumunan. Napasnya tersengal, dan keringat mulai membasahi pelipisnya.
Ia bersandar di dinding toko kosong dan menghela napas panjang.
"Ini... gila," gumamnya pelan. "Aku pikir hanya ingin jalan-jalan… tapi ternyata… aku lupa dunia ini sudah berubah sepenuhnya."
Di dalam hati, Lili menyesal. Semua yang ia miliki,rumah nyaman, makanan, dan pakaian bersih,adalah pemberian dari Real. Tanpa pria itu, ia bahkan tidak bisa bertahan satu hari di tempat seperti ini.
Untuk pertama kalinya, ia merasa sedikit malu.
Tapi juga, ia tahu… dunia ini tidak akan memberinya tempat gratis selamanya.
Ia berjalan perlahan, menenangkan napas dan menata kembali emosinya yang sempat kacau. Pangkalan ini jauh lebih keras dari yang ia kira.
Di tengah pikirannya yang melayang, Lili tiba-tiba berhenti.
Di bawah bayangan sebuah tiang penyangga bangunan, berdiri seorang anak kecil. Kurus seperti batang bambu, kulitnya hitam legam terbakar matahari, dan kedua matanya besar dan bulat menatap Lili dengan diam. Tidak ada tangisan, tidak ada rengekan, bahkan tidak ada permintaan. Hanya tatapan… yang seolah meminta dunia untuk sedikit lebih ramah.
Lili tertegun. Bocah itu tidak berkata apa pun, hanya berdiri memandangi dirinya seperti seorang pengamat yang tidak diundang. Satu tangan anak itu menggenggam sesuatu yang sudah tidak bisa dikenali,mungkin sisa boneka, mungkin potongan kain lusuh. Tubuhnya gemetar pelan.
Sangat menyedihkan sampai hati lili bergetar.
“Hei… siapa namamu?” Lili akhirnya bertanya, mendekat dengan hati-hati.
Anak itu tidak langsung menjawab, tapi matanya melirik ke arah suara itu. Ada sedikit keraguan di wajahnya, namun akhirnya ia berbisik pelan.
“Min.”
“Kamu tinggal di mana, Min?”
Anak itu menunjuk dengan dagunya ke arah deretan bangunan reyot di ujung jalan pasar. Tempat yang bahkan tidak bisa disebut rumah. Lili menoleh sejenak, lalu kembali menatap bocah itu. Tubuh kecil itu tampak terlalu rapuh untuk dunia seperti ini.
Ia membuka tas kecil pemberian Real dan mengeluarkan sisa roti kukus yang belum sempat ia makan pagi tadi. Ia menoleh ke kanan dan kiri, memastikan tidak ada orang yang memperhatikan, lalu berjongkok.
“Ini… makanlah. Aku kenyang, dan kamu sepertinya lebih membutuhkannya.”
Min menatap roti itu seolah itu adalah barang langka , namun ia tetap ragu.
“Aku… gak punya apa-apa buat ditukar,”gumamnya.
Mata berkaca-kaca tapi dia menelan ludah ketika melihat roti.Lili langsung kempes.
“Tidak apa-apa, Min. Ini bukan barter.,kakak memberi mu dengan ikhlas”
Anak itu memandang Lili sebelum akhirnya menerima roti itu dengan dua tangan kecilnya.Dia memegang nya dengan penuh kehati-hatian, seakan takut roti itu akan menghilang jika ia terlalu kasar memegangnya. Matanya berbinar.
“Terima kasih…”
Ia tidak menunggu lama, langsung berbalik dan berlari kecil ke arah rumah-rumahan reyot yang tadi ia tunjuk, meninggalkan Lili yang masih berjongkok di tempat. Ia melihat punggung kecil itu pergi,terasa asing dan hangat di saat bersamaan.
“Setidaknya… satu orang hari ini tidak minta mie dariku,” gumam Lili pelan, tersenyum lelah.
Dan entah kenapa, senyuman anak kecil itu jauh lebih tulus daripada yang pernah ia terima sejak datang ke pangkalan ini.
Lili memandangi punggung kecil itu menjauh, tapi langkahnya tidak berhenti. Tanpa sadar, ia mengikuti gadis kecil bernama Min hingga ke ujung kawasan pasar, tempat deretan tenda reyot berdiri di atas tanah keras dan penuh debu.
Di sinilah kawasan kumuh berada wilayah yang jarang dikunjungi oleh orang-orang dari pemukiman elit seperti dirinya.
Min menyibakkan tirai tipis tenda yang robek dan masuk ke dalamnya. Lili berdiri tak jauh, bersembunyi di balik dinding seng yang bolong, nyaris tak bernapas. Suara dari dalam tenda terdengar sayup namun cukup jelas untuk membuat dadanya terasa sesak.
“Min, dari mana kamu dapat roti ini?” tanya suara seorang pria parau dan lemah, mungkin ayahnya.
“Dikasih… sama kakak cantik. Aku ketemu dia di luar pasar,”jawab Min cepat. “Ayah makan ini, ya… aku masih kuat, ayah yang butuh makan.”
“Ayah nggak lapar, Min… Ayah masih kuat juga. Kamu makan saja.”
“Jangan bohong!” tangis Min pecah. “Ayah udah batuk-batuk terus… Ayah nggak boleh mati. Aku nggak mau sendiri…”
Terdengar suara isakan tertahan, dan suara kain yang diseret ,mungkin Min mencoba menyodorkan roti itu ke tangan ayahnya dengan paksa.
“Ayah… Ibu udah jadi zombie. Kakak juga… aku nggak punya siapa-siapa lagi kecuali Ayah…”
"Min...ayah.."
"Ayah cepat man dan sembuh lah,min akan punya roti lagi jika ayah sembuh"
Kata-kata itu menghantam Lili seperti palu.
Tubuhnya gemetar, dan sebutir air mata jatuh di pipinya tanpa bisa ia cegah. Suara tangis Min mengoyak sisi lembut dalam dirinya yang nyaris ia lupakan sejak hari kiamat dimulai.
Di balik tenda reyot itu, dua jiwa kecil masih bertahan dengan sisa harapan. Sementara dirinya,diberi tempat tinggal elit, makanan gratis, dan keamanan karena statusnya sebagai pasangan dari seorang kapten. Padahal, ia tidak melakukan apa-apa. Tidak bertarung, tidak mencari poin, bahkan belum benar-benar berguna untuk siapa pun.
Di sisi lain pangkalan, sebungkus mie bisa menjadi penentu antara hidup dan mati. Dan di sini, sebutir roti kukus bisa jadi sisa cinta terakhir yang bisa dibagikan seorang anak untuk ayahnya.
Lili memalingkan wajah, menyeka air matanya diam-diam.
Ia tak bisa masuk ke dalam dan mengubah segalanya, tapi saat itu juga, hatinya mulai berubah. Dunia ini tak lagi soal bertahan untuk dirinya sendiri… tapi tentang apa yang bisa ia berikan pada dunia yang hancur ini.
Setelah menenangkan dirinya sejenak, Lili mengambil langkah kecil mendekati tenda. Ia membuka tirai perlahan dan menyapa dengan suara lembut, “Bolehkah aku masuk?”
Min menoleh, terkejut tapi tidak menunjukkan ketakutan. Sebaliknya, mata gadis kecil itu membulat. “Kakak cantik…”
Ayah Min yang terbaring di atas tikar lusuh pun mengangkat kepala dengan susah payah. Matanya sayu dan wajahnya pucat, namun ia tetap mencoba bangkit untuk bersikap sopan. “Maaf… roti nya..
"Tidak apa apa, makan saja"
"Nona kami tidak punya apa-apa untuk barter…”
Lili menggeleng cepat, lalu berlutut di dekat Min dan ayahnya. “Aku hanya ingin melihat kalian baik-baik saja… Aku tak tahu ada orang yang hidup dalam kondisi seperti ini di pangkalan…”
Min menarik ujung bajunya dan berkata pelan, “Kami bukan pengguna kemampuan… jadi tak dapat jatah lebih…”
Kalimat itu menggema dalam kepala Lili. Dunia ini tidak adil. Mereka yang tidak memiliki kekuatan dikucilkan, ditinggalkan untuk mati perlahan dalam kemiskinan dan kelaparan. Sementara itu, dirinya hanya karena sistem ,dia bisa , hidup di rumah elit dan makan makanan bersih.
Lili menggenggam tangan Min. “Aku tak bisa tinggal diam melihat ini.”
Ayah Min menatapnya, bingung dan lemah. Tapi Lili tahu, pandangan itu menyimpan sedikit harapan yang nyaris padam.
Saat itulah sebuah tekad tumbuh dalam dirinya.
Kalau dia bisa membangun sebuah kota,sebuah tempat perlindungan yang tidak memihak antara pengguna kekuatan dan mereka yang tidak punya kemampuan,maka anak-anak seperti Min tidak harus menangis karena takut hidup sendirian.
Begitu keluar dari tenda, Lili berbicara dalam hatinya dan memanggil: “Sistem harem?”
Sistem menjawab dengan suara ceria khasnya: “Ya, Tuan rumah! Ada yang bisa saya bantu?”
"Bisakah aku menemukan pasangan lain yang cocok meskipun bukan Real? Aku tidak bisa menunggu pria itu selamanya…"
“Tentu saja bisa! Di pangkalan ini ada banyak kandidat—tak harus 100% cocok untuk jadi pasangan resmi"
Lili mengangguk sendiri, matanya bersinar oleh tekad baru. Ia bukan hanya ingin bertahan hidup,ia ingin menciptakan dunia baru. Dan untuk itu, ia perlu kekuatan. Kekuatan yang hanya bisa ia bangun lewat sistem ini.
“Kalau begitu… mari kita mulai mencari.”
Dengan semangat yang menyala dalam dadanya, Lili melangkah pergi dari kawasan kumuh, tapi kali ini dengan tujuan yang jauh lebih besar.
Ayo cari suami.
thanks kak😁👍
blok R kan buat tim militer
ok ok 👍
kedepannya bakal ada blok apa yaa...
mungkin ada blok rumah sakit atau khusus kesehatan😃
nanti Tek TF pulsa 100rb 😘
wkwkwkwk aku suka cerita zombie