“Sadarlah, Kamu itu kunikahi semata-mata karena aku ingin mendapatkan keturunan bukan karena cinta! Janganlah menganggap kamu itu wanita yang paling berharga di hidupku! Jadi mulai detik ini kamu bukan lagi istriku! Pulanglah ke kampung halamanmu!”
Ucapan itu bagaikan petir di siang bolong menghancurkan dunianya Citra.
“Ya Allah takdir apa yang telah Engkau tetapkan dan gariskan untukku? Disaat diriku kehilangan calon buah hatiku disaat itu pula suamiku yang doyan nikah begitu tega menceraikan diriku.”
Citra meratapi nasibnya yang begitu malang diceraikan oleh suaminya disaat baru saja kehilangan calon anak kembarnya.
Semakin diperparah ketika suaminya tanpa belas kasih tidak mau membantu membayar biaya pengobatannya selama di rawat di rumah sakit.
Akankah Citra mampu menghadapi ujian yang bertubi-tubi menghampiri kehidupannya yang begitu malang ataukah akan semakin terpuruk dalam jurang putus asa?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fania Mikaila AzZahrah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 15
“Ya Allah…” Citra mengusap wajahnya kasar sambil terus melangkah cepat-cepat menuju parkiran.
“Kenapa aku harus ketemu sama pria arogan dan angkuh kayak dia!? Apa salahku!? Sedikitpun aku nggak salah!” sungutnya.
Ia berjalan sambil mengomel, mendumel tumit sepatunya flatshoesnya menghentak lantai dengan keras, menandakan betapa hati dan kepalanya masih panas gara-gara insiden tak terduga yang melibatkan dirinya dengan seorang pria.
“Udah jatuh ehh dipermalukan lagi ditambah diomelin! Aku minta maaf baik-baik malah dihina seolah aku ini perempuan nggak punya harga diri,” rutuknya Citra mendengus, napasnya berat karena menahan luapan emosi.
“Pria sombong itu pikir dia siapa!? Cuma punya jabatan dan muka tampan udah bertingkah kayak dunia milik dia saja!” dengusnya.
Ia mengibas rambutnya kesal, suaranya semakin keras seiring langkahnya makin cepat.
“Kalau bukan karena aku ke rumah sakit ini demi ingin mengecek kesehatanku sebelum bekerja di rumah Nyonya Besar Hilda, sumpah aku udah pergi dari tadi! Dasar laki-laki kurang ajar! Satu sentimeter pun aku nggak mau lihat mukanya lagi!” geramnya Citra.
Saat mencapai parkiran, seseorang sudah menunggunya di sisi motor. Begitu melihat Citra, wanita itu langsung terkejut.
“Citra, apa yang terjadi kepadamu hey!?” seru wanita itu yang terlihat wajahnya penuh kecemasan.
Citra berhenti mendadak, terengah, lalu mendongak menatap sahabatnya itu.
Matanya memerah karena menahan sakit hati sekaligus amarah yang bersamaan mendera hatinya.
“Manda… aku hari ini kena sial!” suaranya bergetar antara marah dan ingin menangis.
“Gara-gara seorang pria yang sombong, angkuh, dan sok suci! Aku udah berusaha baik, tapi tetap saja aku jadi korban!” jelasnya sambil mengatur nafasnya yang tersengal-sengal.
Citra mengepalkan tangannya, nadanya suaranya terdengar getir. “Sumpah, kalau aku ketemu dia lagi aku nggak akan diam. Aku nggak akan biarin dia hina aku seenaknya! Aku akan membalasnya.” tekadnya.
Dan meskipun ia berkata begitu, di balik mata Citra tersimpan luka yang jauh lebih dalam daripada amarah.
Karena lelaki sombong itu telah menyentuh sesuatu yang paling sensitif dalam hidupnya martabatnya sebagai perempuan dan sebagai seorang janda.
Wanda geleng-geleng kepala melihat sikap dan tingkah laku sahabatnya itu.
“Sabar, jangan karena emosi Kamu sampai lupa tujuan awal kamu kembali datang ke rumah sakit. Apa kamu melupakan kalau pak Ridho sudah menunggu kita sore ini untuk bekerja di rumah nyonya besar Hilda?” Ujarnya Wanda sambil menyerahkan sebuah helm.
Citra berulang-ulang istighfar untuk meredakan amarahnya yang membuncah di dada dan kepalanya.
“Astaghfirullahaladzim, maafkan aku ya Allah,” cicitnya Citra sembari memakai helmnya.
Tapi, baru saja hendak naik ke jok belakang motor matik sahabatnya itu, sudut ekor matanya menangkap siluet tubuh seseorang yang sangat dikenalnya.
Perempuan itu adalah adik sepupunya sendiri,tapi sekaligus orang yang telah merebut dan menjadi pelakor di dalam rumah tangganya yang sudah karang dan kandas di tengah jalan.
Citra menyipitkan matanya melihat ke arah Rasmi yang berjalan seorang diri sambil sesekali memegangi perutnya yang membuncit.
“Kok dia sendirian, dimana Mas Ardian? Bukannya selama ini setiap kali dia memeriksakan kandungannya selalu ditemani suaminya,” gumamnya.
Wanda memperhatikan arah pandangannya Citra kemudian ikut menyipitkan matanya.
“Lah bukannya dia perempuan tak tahu diri itu yang merebut suami kakak sepupunya sendiri kan!?” tanya Wanda dengan nada mengejek, tanpa sadar ucapannya terdengar jelas hingga ke telinga Rasmi.
Suaranya cukup nyaring sampai beberapa orang yang ada di area parkiran diam-diam mencuri dengar pembicaraan mereka.
“Tapi kok kurusan yah!?” Wanda kembali bersuara, bibirnya melengkung sinis.
“Kayak orang busung lapar saja yang nggak pernah makan tapi hanya perutnya saja yang gede. Mirip orang cacingan,” sarkas Wanda tertawa merendahkan.
Citra memperhatikan Rasmi dari jauh, dan meski awalnya ingin diam, ia ikut menimpali, “Iye, kok kayak berbeda dengan waktu terakhir kami bertemu tiga minggu lalu. Kulitnya juga pucat sekali kayak nggak terurus dan tidak perawatan lagi.”
Wanda menyeringai puas. “Apa jangan-jangan mantan suami kamu itu dapat perempuan lain yang lebih bagus dari dia yah? Kan mantan suami kamu si Ardiansyah itu memang doyan kawin dan main perempuan kan!? Kalau nggak salah minggu lalu pernah aku lihat keluar masuk tempat karaoke bareng LC,” cibirnya diiringi tawa meremehkan.
Citra menambahkan dengan senyum mengejek, “Kasihan sih, sudah rebut suami orang eh akhirnya direbut lagi sama perempuan lain. Karma itu manis ternyata dan tentunya Kamu sudah menikmati karma atas perbuatan jelek Kamu.”
“Oh atau jangan-jangan…” Wanda mencondongkan badan ke arah Citra sambil menutup mulutnya pura-pura berbisik padahal volume suaranya sengaja dibuat keras.
“Kayaknya dia memang sudah nggak laku di mana-mana, jadi cuma bisa bertahan sama laki-laki perebut perempuan lain.” cibirnya.
Citra tertawa kecil, “Pantesan datang ke rumah sakit sendirian. Mungkin sudah ditendang dari rumah baru dia.”
Awalnya Citra sempat berempati melihat kondisi Rasmi yang tak biasa, tetapi sikapnya Rasmi yang tak berubah sehingga membuat Citra tak simpatik dan tak peduli lagi.
Rasmi berhenti melangkah dan menatap tajam ke arah keduanya. Ada amarah besar yang ia tahan, rahangnya mengeras.
Andaikan ia tidak memiliki tujuan lain dan sedang terburu-buru, mungkin ia akan meladeni pembicaraan Citra dan Wanda yang semakin menjadi-jadi telah berani menghinanya di hadapan orang banyak.
Wanda baru membuka mulut untuk menyindir lagi karena belum merasakan puas menyindir perempuan yang dianggapnya sangat tak tahu diri itu, “Kok cuma bisa melotot? Nggak ada pembelaan atau sudah capek bela diri karena semua orang tahu kelakuannya sudah jelas-jelas merugikan orang lain.”
Namun Rasmi menyela dengan suara rendah tapi tegas, “Silahkan kalian berdua tertawa lebar dan merendahkan. Tapi ingat ini baik-baik aku nggak akan diam kalau kelak kita dipertemukan lagi.”
Sorot matanya dingin, penuh janji tak terucap. Tanpa menunggu balasan, Rasmi berbalik dan berjalan menuju lobi rumah sakit dengan langkah mantap, meninggalkan dua perempuan itu yang tiba-tiba terdiam namun masih berusaha menyembunyikan kegugupan dengan tawa kecil.
Di belakang, Wanda berbisik sengit, “Sok kuat banget padahal jelas-jelas sudah diambang kehancuran karena terkena karma dari atas perbuatannya sendiri yang tak tahu diri.”
Citra mengangguk, namun sorot matanya tidak lagi se-yakin tadi. “Entah kenapa aku merasa kita belum selesai sama dia.”
“Sudah ah, Pak Ridho sudah nelepon sama chat beliau sudah menunggu kedatangan kita,” ucap Citra sambil memperlihatkan layar ponselnya.
Citra kemudian memakai helmnya dan tidak ingin terlambat datang ke rumah calon majikannya.
“Ya Allah… ampunilah segala dosa-dosaku barusan. Jangan biarkan aku larut dalam kemarahan dan dendam. Aku nggak ingin seperti mereka yang terbakar api dendam yang membabi buta.” Batinnya Citra.
Wanda dan Citra sama-sama akan bekerja di rumah megah itu, hanya saja Citra akan bekerja sebagai pengasuh bayi kembar milik majikannya sedangkan Wanda sebagai asisten koki.
“Kamu baik-baik saja kan? Apa ada yang sakit?” Tanyanya Wanda sebelum menyalakan mesin roda duanya karena melihat Citra terdiam dan seperti orang yang banyak pikiran.
“Aku baik-baik saja kok, Alhamdulillah perutku nggak pernah sakit lagi,” balasnya Citra.
Keduanya kemudian meninggalkan parkiran setelah melewati beberapa kejadian tak mengenakkan bagi Citra terutama.
“Ya Allah… lancarkanlah segalanya. Sore ini adalah hari pertama aku bekerja di rumah Nyonya Hilda,” batinnya Citra.
Berselang beberapa menit kemudian…
Motor matic berwarna merah maroon itu berhenti tepat di depan pagar rumah yang menjulang tinggi dengan desain kokoh dan elegan.
Lampu sorot taman menyinari bagian depannya, membuat cat pagar berwarna hitam pekat itu tampak berkilau seperti baru dipoles.
Seorang security yang berjaga di pos langsung berdiri tegap begitu melihat kedatangan keduanya.
Tanpa banyak tanya, ia menekan tombol otomatis, dan pagar raksasa itu perlahan bergeser membuka, seakan menyambut para tamu dengan wibawa yang menakutkan sekaligus memukau.
“Makasih banyak, Pak Anwar,” ucap Wanda santai namun tetap sopan.
.
Dia jelas sudah akrab dengan security senior tersebut karena sudah beberapa kali datang ke rumah tersebut.
“Sama-sama, Mbak Wanda. Selamat datang, semoga betah bekerja di rumah ini,” balas Pak Anwar ramah sambil memberikan sedikit senyum.
Citra masih terpaku di atas motor. Matanya tak henti mengagumi pemandangan yang tersaji di depannya.
Segalanya tampak seperti dunia lain yaitu bangunan megah berlantai tiga bergaya arsitektur Eropa modern, dengan dinding putih bersih dan jendela tinggi berbingkai cokelat tua.
Ketika motor mereka melaju masuk lebih ke dalam, suara gemericik air mancur di taman melengkapi suasana seolah menyambut dengan kemewahan yang berlebihan.
“Masya Allah… ini rumah apa hotel bintang tujuh sih kok bagus banget nggak ada jelek-jeleknya?” gumam Citra pelan, nyaris tanpa suara, namun sorot matanya penuh keterpukauan.
Taman yang luas terbentang seperti lapangan mini lengkap dengan jalur batu marmer, bunga-bunga tertata simetris, hingga patung kuda besar yang berdiri di tengah air mancur.
Aroma wangi rumput dan beberapa jenis bunga tercium begitu pintu pagar tertutup di belakang mereka, membuat suasana terasa eksklusif seperti dunia yang tidak semua orang bisa masuki.
Rumah itu bagi Citra bukan lagi sekadar mewah. Rasanya seperti melihat istana dalam negeri dongeng dan untuk pertama kalinya ia melihat hal seperti ini secara langsung.
“Ya Allah… gimana rasanya hidup dan tinggal di rumah segede ini? Caranya dibersihkan gimana pula pasti capek banget deh,” cicitnya.
Biasanya, ia hanya menikmati pemandangan seperti ini lewat televisi atau majalah, bukan berada di jarak hanya beberapa meter.
“Cit, jangan melongo begitu. Nanti dikira orang kampung baru pertama masuk rumah orang kaya,” bisik Wanda sambil terkekeh, menggoda Citra yang menganga lebar.
Citra tersentak, buru-buru menegakkan badannya dan mengusap keringat dingin di telapak tangannya. “Ma—maaf. Cuma ini luar biasa sekali.” jawabnya dengan sedikit tergagap.
“Makanya kerja baik-baik. Di sini kalau loyal, rezekinya besar. Kalau salah langkah yah selesai dan wassalam nasib kita,” ujarnya.
Wanda menatapnya dengan senyum penuh arti antara nasihat dan juga peringatan.
Citra kesulitan menelan ludahnya, Ada rasa bangga, takut, dan penasaran yang bercampur jadi satu.
Ia belum memasuki rumah itu, tapi hatinya sudah tahu kalau di balik keindahan megah ini pasti ada rahasia, tekanan, dan dinamika keluarga yang tidak sembarang orang bisa hadapi. Langkah pertamanya saja sudah terasa seperti memasuki babak baru kehidupan.
“Bismillahirrahmanirrahim,” cicitnya pelan sambil menarik napas panjang, berusaha menenangkan detak jantungnya yang sudah sejak tadi tak karuan.
Baru satu langkah ia ayunkan, suara deru mesin mobil di belakang membuatnya dan Wanda langsung berhenti seketika. Seakan ada magnet kuat yang memaksa keduanya menoleh bersamaan.
Saat itu apa yang dilihat Citra membuat seluruh tubuhnya kaku. Pintu mobil mewah pertama terbuka.
Citra membatu seolah-olah dia menjadi patung Roro Jonggrang yang dikutuk oleh Bandung Bondowoso.
Mata Citra langsung membulat sempurna, seakan bola matanya hendak meloncat keluar dari dalam kelopak matanya.
Napasnya otomatis tertahan, dan bibirnya terbuka sedikit tanpa suara yang mampu keluar.
Tangannya yang memegang jaket kerja refleks gemetar lalu terlepas, menjatuh ke lantai taman tanpa ia sadari.
“Ya Allah…” desis yang sangat pelan lolos begitu saja dari mulutnya, bukan berupa ucapan, tetapi lebih seperti helaan nafasnya karena kaget.
Darah seolah surut dari wajahnya, pipinya memucat hanya dalam hitungan detik. Lututnya melemah hingga tubuhnya seperti kehilangan keseimbangan.
Dia melangkah mundur satu kali, lalu berhenti, tangannya terangkat ke dada seakan menahan jantungnya agar tidak pecah karena degupannya begitu kencang.
Jari-jarinya mencengkeram kerah bajunya sendiri, kaku dan gemetar. Bahunya naik turun cepat, menandakan betapa ia sedang berusaha mengendalikan nafas yang mendadak seperti tidak mau masuk.
Matanya tak bisa berkedip, tatapannya terkunci penuh pada orang yang baru saja turun dari mobil itu seolah seluruh dunia mendadak menghilang dan hanya sosok itu yang tersisa di pandangannya.
Citra mengangguk-anggukkan kepala kecil sekali, bukan sebagai persetujuan tetapi gerakan refleks orang yang tidak bisa menerima kenyataan yang sedang dilihatnya.
Lehernya menegang rahangnya mengeras. Namun tubuhnya gemetar hebat perpaduan antara kaget, takut, tidak percaya, dan perasaan yang tidak mampu ia namai.
“Cit… Cit, sadar!” bisik Wanda yang panik melihat ekspresi temannya.
Citra menoleh pelan, seperti robot saking kakunya. Bola matanya berair, bukan karena ingin menangis, tetapi karena terkejutnya.
Mulutnya bergetar sebelum akhirnya ia berhasil memaksa keluar sepatah kata, hampir seperti orang tersengal.
“Itu dia… oh my God.. oh Tuhan tidak mungkin!” cicitnya.
itu suami kayak bagaimana ya ga ada perasaan dan hati nurani kpd istrinya yg baru saja keguguran.