Long Zhu, Kaisar Dewa Semesta, adalah entitas absolut yang duduk di puncak segala eksistensi. Setelah miliaran tahun mengawasi kosmos yang tunduk padanya, ia terjangkit kebosanan abadi. Jenuh dengan kesempurnaan dan keheningan takhtanya, ia mengambil keputusan impulsif: turun ke Alam Fana untuk mencari "hiburan".
Dengan menyamar sebagai pengelana tua pemalas bernama Zhu Lao, Long Zhu menikmati sensasi duniawi—rasa pedas, kehangatan teh murah, dan kegigihan manusia yang rapuh. Perjalanannya mempertemukannya dengan lima individu unik: Li Xian yang berhati teguh, Mu Qing yang mendambakan kebebasan, Tao Lin si jenius pedang pemabuk, Shen Hu si raksasa berhati lembut, dan Yue Lian yang menyimpan darah naga misterius.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sang_Imajinasi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15: Retakan, Bakpao, dan Pintu Keluar Penyelundup
Fajar di Kota Fenglei membawa serta keributan pasar pagi dan... keheningan yang canggung di halaman Penginapan Kuda Tidur.
Li Xian tidak tidur. Dia telah menghabiskan sepanjang malam menempel di dinding, menghitung setiap retakan kecil dan celah di bawah sinar bulan sampai matanya perih. Dia akhirnya selesai saat matahari terbit, dengan total tiga ribu dua ratus empat belas retakan. Dia merasa pusing, lapar, dan lebih bingung dari sebelumnya.
Dia terhuyung-huyung ke tengah halaman, matanya merah. Shen Hu sudah bangun, melakukan pemanasan pagi yang tenang. Pemanasan Shen Hu terdiri dari mengangkat bak air batu besar milik penginapan (yang berisi air untuk seratus orang) di atas kepalanya dengan satu tangan, sementara dia menggunakan tangan lainnya untuk menyikat giginya dengan ranting.
Mu Qing juga sudah bangun. Dia tidak tidur. Dia telah bermeditasi di sudut, memulihkan energinya. Dia sekarang sedang menyapu halaman dengan sapu lidi. Bukan karena itu tugasnya, tapi karena dia tidak bisa hanya duduk diam. Dia melakukannya dengan efisiensi yang dingin, setiap sapuan disengaja, seolah-olah dia sedang berlatih bentuk pedang.
Lalu, pintu kamar Zhu Lao terbuka.
Li Xian dan Mu Qing membeku.
Pemuda tampan yang tak terlukiskan itu melangkah keluar ke cahaya pagi. Sinar matahari pertama memahkotai rambut hitamnya yang sempurna dengan lingkaran cahaya keemasan. Jubah hitamnya berkibar lembut ditiup angin pagi.
Dia berdiri di sana selama satu menit penuh. Lalu dia menguap.
Itu bukan uapan yang anggun. Itu adalah uapan yang dalam, lebar, dan sama sekali tidak sopan, yang merusak citra agung itu sepenuhnya. Dia meregangkan punggungnya, persendiannya berbunyi krek—suara yang sama sekali tidak sesuai dengan penampilannya yang berusia dua puluhan.
"Ugh," katanya, suaranya yang merdu terdengar serak karena tidur. "Aku benci kasur fana. Aku bisa merasakan setiap gumpalan kapuk di dalamnya. Punggungku pegal."
Dia menggosok matanya yang sempurna dengan buku jari, terlihat kesal.
Wajah Tao Lin muncul dari pintu di sebelahnya. Jelas dia telah berjaga sepanjang malam di luar pintu Leluhurnya. Matanya merah, tetapi dipenuhi dengan semangat fanatik.
"Selamat pagi, Leluhur!" seru Tao Lin, membungkuk dalam-dalam. "Saya telah mengambilkan air cuci muka! Dan... sarapan?" Dia menunjuk ke nampan di tangannya, yang dia rampas dari dapur penginapan. Di atasnya ada setumpuk bakpao kukus yang panas dan berminyak.
"Akhirnya," kata Zhu Lao, mengabaikan formalitas. Dia mengambil bakpao terbesar, yang minyaknya menetes-netes, dan menggigitnya dalam-dalam.
Keempat murid lainnya hanya menonton.
Pemandangan itu sureal. Makhluk Agung yang tampak seperti Kaisar Langit dari gulungan kuno, kini berdiri di halaman yang berdebu, melahap bakpao babi berminyak, dengan saus menetes di dagunya yang sempurna.
Zhu Lao menangkap Mu Qing yang sedang menatapnya. Dia menelan. "Apa? Kau mau?"
Mu Qing dengan cepat membuang muka, wajahnya sedikit memerah. "Tidak."
"Bagus. Berarti lebih banyak untukku." Zhu Lao mengambil bakpao kedua.
Li Xian, melihat tuannya sedang dalam suasana hati yang baik (yaitu, sedang makan), memberanikan diri. "Zhu Lao."
"Hm?" (Suaranya tidak jelas karena bakpao).
"Laporan... laporanku," kata Li Xian, gemetar karena kelelahan. "Tiga ribu dua ratus empat belas retakan. Di dinding itu."
Zhu Lao mengunyah perlahan, menatap Li Xian. Dia mengambil bakpao ketiga. "Dan?"
"Dan... apa?"
"Apa yang kau pelajari?" tanya Zhu Lao.
"Bahwa... dindingnya sangat tua? Dan... tukang batunya tidak rapi?"
Zhu Lao menghela napas. Itu adalah desahan melodi yang indah yang terdengar seperti kekecewaan murni. "Kau melihat jumlah. Kau tidak melihat kisahnya."
"Kisah?"
"Ya," kata Zhu Lao, menunjuk ke dinding dengan bakpao yang setengah dimakan. "Retakan di sana," (menunjuk ke bawah) "disebabkan oleh akar pohon willow yang mendorong fondasi. Kuat, tapi lambat. Itu adalah kekuatan pertumbuhan. Retakan di sana," (menunjuk ke atas) "adalah karena sambaran petir tiga tahun lalu. Itu adalah kekuatan mendadak. Satu retakan adalah tentang ketahanan, yang lain tentang kehancuran."
Dia menatap Li Xian. "Kau menghabiskan sepanjang malam hanya untuk menghitung. Kau adalah tikus yang buta. Kau bahkan tidak melihat aliran Dao di depan wajahmu. Kau gagal."
Hati Li Xian tenggelam ke perutnya.
"Latihanmu hari ini," lanjut Zhu Lao, "adalah pergi ke pohon willow di sana." Dia menunjuk. "Dan hitung pori-pori di setiap daun di dahan terendah. Jangan kembali padaku sampai kau mengerti perbedaan antara pori-pori yang menghadap matahari dan yang menghadap bayangan."
Li Xian merasa ingin pingsan. "Tapi... pori-pori..."
"Pergi," kata Zhu Lao.
Li Xian, dengan bahu terkulai kalah, berjalan terseok-seok ke pohon willow dan mulai menatap sehelai daun dengan putus asa.
Zhu Lao menghabiskan bakpao terakhir. Dia bertepuk tangan untuk membersihkan remah-remah. "Baiklah. Aku sudah selesai dengan kota ini. Anggurnya lumayan, tapi cabainya tidak cukup pedas. Membosankan."
Mu Qing melangkah maju, sapunya diam. "Patung-patung es itu," katanya, suaranya tegang. "Mereka pasti sudah mencair sekarang."
"Tentu saja," kata Zhu Lao. "Es dari anggur murahan tidak akan bertahan lama. Mungkin juga sudah encer. Para murid itu mungkin sekarang basah, kedinginan, dan sangat marah. Mereka mungkin sedang mengeluh kepada tuan mereka saat ini."
"Mereka akan mencari kita!" kata Mu Qing, ada sedikit urgensi dalam suaranya.
"Jelas," kata Zhu Lao, seolah dia sedang berbicara dengan anak kecil. "Itulah mengapa kita pergi. Aku benci konfrontasi sebelum aku minum teh pagi. Terlalu merepotkan."
Dia menoleh ke Tao Lin, yang langsung berdiri tegak.
"Pemandu Anggur."
"Ya, Leluhur!"
"Kau tahu jalan keluar dari kota ini yang tidak melibatkan gerbang depan? Aku sedang tidak ingin berpapasan dengan penjaga yang terlalu bersemangat."
Mata Tao Lin berbinar. "Tentu saja, Leluhur! Setiap peminum yang baik tahu jalan keluar darurat. Jalur Penyelundup Anggur! Di bawah dermaga. Sedikit bau, tapi sangat rahasia!"
"Sempurna," kata Zhu Lao. "Aku suka tempat bau. Mengingatkanku pada kedai yang enak."
Dia berjalan menuju gerbang belakang penginapan. "Ayo. Pimpin jalan."
"Shen Hu, bawa ubi," perintahnya. "Siap, Zhu Lao!" "Mu Qing, bawa cangkirku. Aku mungkin ingin minum nanti." Mu Qing mengangguk, mengambil cangkir yang sudah dia cuci lagi pagi ini. "Li Xian!" teriak Zhu Lao ke arah pohon willow. "Ya?!" suara Li Xian terdengar putus asa. "Kau boleh berhenti menghitung daun. Latihanmu adalah berjalan dan tidak mengeluh."
Li Xian berlari menyusul mereka, hampir menangis karena lega.
Kelompok itu seorang Kaisar Dewa yang menyamar sebagai bangsawan tampan, seorang Master Pedang fanatik, seorang raksasa yang terobsesi ubi, seorang gadis es yang berutang, dan seorang calon murid yang kelelahan menyelinap keluar dari penginapan, menuju lorong-lorong bau di dermaga.
Tepat lima menit setelah mereka pergi, pintu depan Penginapan Kuda Tidur ditendang terbuka.
Seorang pria paruh baya berjubah biru es, wajahnya muram dan memancarkan aura sedingin gletser jelas seorang tetua Ranah Raja melangkah masuk. Di belakangnya ada Fan Jian dan murid lainnya, basah kuyup, gemetar karena kedinginan dan malu.
Pemilik penginapan yang ketakutan itu bersujud. "T-Tuan Abadi! Mereka baru saja pergi! Seorang kakek tua... tidak, maksudku... seorang pemuda tampan... dan seorang raksasa... dan seorang pemabuk...!"
Tetua itu mengabaikannya. Dia berjalan ke halaman. Dia menyentuh sisa-sisa bara api Shen Hu. Masih hangat. Dia melihat ke dinding tempat Li Xian menghabiskan malam. Dia melihat ke pohon willow.
"Mereka ada di sini," katanya pelan. "Aura pembekuan dari gudang anggur itu... ada di sini. Itu bukan teknik Sekte Es Abadi. Itu murni... Hukum Es."
Dia menoleh ke Fan Jian. "Temukan mereka. Hidup atau mati. Terutama gadis itu. Dan... makhluk yang bersama mereka."
😍💪
💪