Melina Lamthana tak pernah merencanakan untuk jatuh cinta ditahun pertamanya kuliah. Ia hanya seorang mahasiswi biasa yang mencoba banyak hal baru dikampus. Mulai mengenali lingkungan kampus yang baru, beradaptasi kepada teman baru dan dosen. Gadis ini berasal dari SMA Chaya jurusan IPA dan Ia memilih jurusan biologi murnni sebagai program studi perkuliahannya dikarenakan juga dirinya menyatu dengan alam.
Sosok Melina selalu diperhatikan oleh Erick seorang dosen biologi muda yang dikenal dingin, cerdas, dan nyaris tak tersentuh gosip. Mahasiswi berbondong-bondong ingin mendapatkan hati sang dosen termasuk dosen perempuan muda. Namun, dihati Erick hanya terpikat oleh mahasiswa baru itu. Apakah mereka akan bersama?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Greta Ela, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14
Siapa mahasiswa itu?
Di kelas Melina, ada satu sosok yang nyaris tak pernah benar-benar ia perhatikan sampai semester dua berjalan beberapa minggu.
Namanya Devano Larnh.
Ia duduk dua baris di depan Melina, sedikit ke kanan. Tidak mencolok, tidak berisik, tidak pernah menjadi pusat perhatian. Namun hampir selalu datang tepat waktu, mencatat dengan rapi, dan mengerjakan tugas tanpa banyak keluhan. Beberapa dosen bahkan sering menyebut namanya sebagai contoh mahasiswa yang konsisten.
Devano bukan tipe yang mudah diingat dari kesan pertama. Tapi justru itu yang membuatnya perlahan terasa hadir.
Sejak semester satu, sebenarnya Devano sudah memperhatikan Melina. Bukan dengan cara yang berlebihan. Ia tidak menatap lama, tidak mencari-cari alasan untuk berbicara. Ia hanya memperhatikan cara Melina mengangkat tangan saat menjawab, caranya berdiskusi dengan Bunga, caranya terlihat sungguh-sungguh saat praktikum.
Devano menyukai ketenangan itu.
Namun ia juga tahu batas.
Semester dua membuat dinamika kelas berubah. Praktikum lebih sering mempertemukan mereka dalam kelompok besar. Suatu siang, Miss Yolan membagi kelompok secara acak untuk pengamatan jaringan tumbuhan.
"Kelompok tiga," ujar Miss Yolan sambil membaca daftar, "Melina, Devano, Bunga, dan Raka."
Melina mengangkat kepala. Nama Devano terasa asing di telinganya, meski wajahnya tidak.
"Oh, kamu," ujar Bunga pelan sambil tersenyum ke arah Devano.
"Kita sekelompok."
Devano membalas dengan anggukan kecil. "Iya."
Itu saja.
Di laboratorium, Devano bekerja tenang. Ia tidak mendominasi, tapi selalu siap membantu. Saat Melina kesulitan mengatur fokus mikroskop, Devano berdiri di sampingnya.
"Coba putar yang ini sedikit," katanya pelan, sambil menunjuk.
"Pelan aja."
Melina mengikuti arahannya. Preparat itu akhirnya terlihat jelas.
"Oh, iya," katanya. "Makasih."
"Sama-sama," jawab Devano singkat, lalu kembali ke mejanya.
Tidak ada percakapan lanjutan. Tidak ada basa-basi yang dipaksakan.
Dan justru itu membuat Melina merasa nyaman.
Hari-hari berikutnya, Devano seperti biasa tetap dalam batas wajar. Kadang mereka pulang bersamaan setelah praktikum. Kadang hanya bertukar sapa singkat.
"Laporannya dikumpul Jumat, kan?" tanya Devano suatu sore.
"Iya," jawab Melina.
"Kayaknya minggu ini bakal panjang."
Devano tersenyum kecil.
"Iya. Tapi sejauh ini kamu kelihatannya bisa ngikutin."
Melina terkejut dengan pengamatan itu.
"Kamu perhatiin?"
Devano tampak sedikit canggung.
"Maksudnya... ya kelihatan aja."
Melina tersenyum. Tidak ada rasa terancam. Tidak ada tekanan.
Di sisi lain kelas, Erick memperhatikan perubahan kecil itu.
Ia melihat Melina mulai sering berdiskusi dengan kelompoknya. Melihat Devano berdiri cukup dekat, tapi tidak melewati batas. Erick tidak tahu siapa mahasiswa itu, tapi nalurinya menangkap sesuatu yang berbeda.
Devano tidak seperti dirinya.
Mahasiswa itu tidak mencari celah. Tidak mencoba menguasai. Tidak menuntut perhatian.
Dan itu membuat Erick gelisah tanpa alasan yang jelas.
Suatu hari, setelah kelas selesai, Erick mendengar dua mahasiswa membicarakan Devano.
"Si Devano itu rajin banget sih."
"Iya, IPK-nya tinggi."
"Katanya mau daftar asisten lab semester depan."
Erick mengingat nama itu.
Devano Larnh.
Sementara itu, Bunga mulai memperhatikan sesuatu yang lain.
"Mel," kata Bunga suatu malam sambil menyusun laporan,
"si Devano itu sering satu kelompok sama kamu, ya?:
"Iya, kebetulan aja," jawab Melina santai.
"Dia orangnya enak," lanjut Bunga.
"Gak banyak gaya."
Melina mengangguk.
"Iya. Kerja barengnya nyaman."
Bunga menatap Melina sejenak.
"Kamu keliatan lebih... ringan belakangan ini."
Melina terdiam. Ia menyadari itu juga. Ada perubahan kecil dalam dirinya, bukan jatuh cinta, tapi rasa aman yang sederhana.
Devano tidak pernah bertanya hal-hal pribadi. Tidak pernah mengirim pesan larut malam. Tidak pernah menuntut waktu. Interaksi mereka terbatas pada kampus dan praktikum.
Dan itu membuat segalanya terasa aman.
Suatu sore, hujan turun deras saat mereka selesai praktikum. Melina dan Bunga berdiri di bawah tangga menunggu hujan reda.
"Kalian gak bawa payung?" tanya Devano sambil berhenti di dekat mereka.
Bunga menggeleng.
"Enggak."
Devano menghela napas kecil.
"Aku ada satu payung. Tapi kecil."
Melina dan Bunga saling pandang.
"Ya udah," kata Bunga cepat.
"Aku bisa nunggu hujan reda. Kamu sama Melina aja."
Melina refleks menoleh. "Bung-"
"Udah," potong Bunga sambil tersenyum penuh arti.
"Aku gak keberatan."
Sebenarnya Melina agak keberatan dengan usulan itu. Satu payung bagi tiga. Ia takut kalau dilihat oleh Pak Erick dan posisi mereka itu si Melina tepat disamping Devano dan sedikit bersentuhan.
Tentu saja Erick melihat mereka pulang bertiga dengan payung itu. Ia menatapnya dari parkiran mobilnya.
"Siapa laki-laki itu? Apa jangan-jangan itu Devano." ujarnya sendiri.
Erick lalu memutar mobilnya dan kembali menuju rumahnya. Ia masih memikirkan apa yang dikatakan mahasiswa yang lewat tadi bahwa Devano itu pintar, IPK tinggi. Bahkan Erick pun sampai tak menyadari bahwa dikelas Biologinya Melina ada mahasiswa yang bernama Devano. Ia hanya fokus pada nama Melina pujaan hatinya itu.
Mereka berjalan berdampingan di bawah payung kecil. Jarak mereka terjaga, bahu nyaris bersentuhan tapi tidak benar-benar.
"Maaf kalau agak sempit," kata Devano.
"Gak apa-apa," jawab Melina.
Hujan menutupi suara langkah mereka. Ada keheningan yang tidak canggung.
"Kamu capek?" tanya Devano tiba-tiba.
"Capek," jawab Melina jujur. "Tapi masih bisa."
Devano mengangguk. “Aku juga. Tapi aku suka praktikum."
"Makasih payungnya," kata Melina.
"Iya," jawab Devano. "Sampai besok."
Ia pergi tanpa menoleh lama.
Malam itu, Melina duduk di kamar sambil menulis laporan. Ia menyadari, untuk pertama kalinya setelah lama, pikirannya tidak buntu.
Pesan masuk dari Erick
@Erick:
"Tadi pulang bertiga ya pakai payung?"
Sontak Melina langsung terkejut.
"Erick melihatnya?" gumamnya dalam hati
Melina lalu membalas dengan tangan gemetar
"Iya. Kenapa?" tanyanya
"Siapa laki-laki itu? Devano?" tanya Erick langsung ke intinya
"Iya, Pak. Itu Devano."
Diruangan, Erick merasa aneh. Ia tak suka melihat siapapun laki-laki mendekati Melina termasuk si Devano teman sekelasnya.
Erick langsung mengeluarkan sifat posesifnya.
"Aku tidak suka kamu terlalu dekat dengan laki-laki. Aku tahu kita masih jaga jarak." balas Erick
Melina membaca itu dengan perasaan agak geli. Tapi Ia tahu Erick benar. Dia sudah menjadi milik Erick, wajar memang jika Erick merasakan perasaan cemburu.
"Iya, Pak maaf. Kami hanya sekelas dan satu kelompok praktikum." balas Melina
"Oh bagus. Kalau begitu istirahatlah." balas pak Erick lagi.
Melina lalu membalas singkat pesan itu dan mulai kembali mengerjakan lapraknya. Ia tak berpikir sejauh itu kalau Erick akan seposesif ini padanya. Padahal perasaan Melina, ia tak ada hubungan apa-apa dengan Devano. Tapi sebaliknya, Devano menyukai Melina.
Dan malam itu masuk nontifikasi di instagram Melina
"@Devano12 melihat profil anda."