kinandayu gadis cantik tapi tomboy terlihat semaunya dan jutek..tp ketika sdh kenal dekat dia adalah gadis yang caring sm semua teman2 nya dan sangat menyayangi keluarga nya....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon happy fit, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
chapter 14- sore yang tak biasa
Sore itu, langit sudah mulai berwarna jingga keemasan ketika Kinan berjalan keluar dari toko buku di dekat sekolah. Seragamnya sudah berganti jadi kaus oversize biru muda dengan celana jeans putih, rambutnya dikuncir kuda tinggi—simple tapi somehow manis banget. Angin sore semilir, membawa aroma kertas baru dan suara motor lewat.
Di seberang jalan, Danu berdiri bersandar di motornya. Jaket hitamnya terbuka, menampakkan kaus putih polos di dalamnya. Rambutnya yang sedikit berantakan malah bikin dia kelihatan effortless cool.
“Tumben nongkrong di sini?” sapa Kinan sambil nyengir, menyeberang hati-hati.
“Gak nongkrong. Nunggu kamu.”
Kinan sempat kaget, tapi buru-buru pura-pura santai. “Oh, kirain nunggu ilham.”
“Ilham siapa?”
“Ya… terserah deh, yang penting bukan aku.”
Danu ketawa kecil, matanya nyipit dikit karena sinar matahari. “Boleh gak aku nganter kamu pulang?”
“Hmm, boleh. Tapi kamu kuat gak sih ngadepin jalanan macet plus aku yang banyak ngoceh?”
“Kayaknya bisa deh. Aku udah tahan dari semester lalu,” jawabnya ringan.
Kinan menatap Danu lama. Entah kenapa, sore itu dia merasa deg-degan tapi nyaman. Mungkin karena caranya ngomong tenang, atau tatapan matanya yang gak lari-lari kayak cowok lain.
Selama perjalanan, mereka ngobrol ngalor-ngidul. Tentang ujian, film, bahkan hal receh seperti “kenapa motor kalau ngerem suka bunyi ‘cuit-cuit’.” Kinan ketawa nyaris sepanjang jalan.
“Kalau kamu jadi dokter bedah nanti, pasienmu bisa sembuh cuma karena ketawa kamu,” kata Danu tiba-tiba.
“Lah, kamu mau jadi pasien percobaan?”
“Kalau dokternya kamu, boleh.”
Motor Danu berhenti di depan rumah Kinan. Ia menoleh, sedikit menunduk supaya bisa menatap wajah Kinan dari jarak dekat. “Istirahat ya. Jangan belajar terus.”
Kinan pura-pura mainin rambut. “Siap, Kapten. Terima kasih tumpangannya.”
“Bukan tumpangan, bonus sore,” gumam Danu pelan.
Saat Danu pergi, Kinan masih berdiri di depan pagar, bibirnya mengulas senyum yang gak bisa ia tahan. Aduh, Tuhan, ini kenapa dunia kayaknya sepakat bikin aku senyum terus gara-gara dia?
---
Malamnya, di rumah.
Kinan baru selesai mandi, rambutnya masih agak lembap, wangi shampoo melati tercium lembut. Ia mengenakan sweater krem dengan celana kain panjang, duduk di ruang tamu sambil nyemil roti cokelat.
Pak Bram, ayahnya, sedang membaca koran. Bu Ratna sibuk menyiapkan teh, dan Kaisaka—adik laki-lakinya yang kelas 8 itu—main game di lantai.
“Kinan, besok berangkat pagi kan study tripnya?” tanya Bu Ratna.
“Iya, Ma. Jam enam udah harus kumpul.”
“Jangan lupa bawa jaket, nanti di sana dingin.”
“Siap, Mama. Jaket, sweater, hoodie, dan selimut batman juga siap.”
Pak Bram terkekeh. “Kayak mau pindahan aja.”
Kinan nyengir. “Daripada kedinginan terus disangka mumi.”
Bel rumah berbunyi. Kinan melongok ke luar jendela. “Hah? Kok kayaknya aku kenal motor itu…” gumamnya.
Tak lama, suara khas terdengar dari luar, “Kin, halo! Aku mampir bentar ya!”
Rafi.
Kinan buru-buru berdiri. “Aduh, Ma, itu temen aku, yaudah aku keluar bentar!”
Bu Ratna hanya mengangguk, tapi sempat saling pandang dengan Pak Bram, seolah berkata tanpa suara: temen laki-laki lagi nih…
Di depan rumah, Rafi berdiri dengan hoodie biru tua, wajahnya tampak cerah seperti biasa. Tangannya membawa tas kecil.
“Kamu belum tidur kan?”
“Belum lah, Raf. Baru mau revisi packing.”
“Ya bagus. Nih, aku bawain cokelat panas sachetan, biar kalau pagi dingin gak kaget.”
Kinan menatap cokelat yang disodorkan. “Wah, thoughtful banget kamu.”
“Ya harus dong. Besok kamu di bus satu kelompok sama aku kan?”
“Kayaknya iya. Eh, tapi aku belum tahu fix-nya.”
Rafi menatapnya agak lama. “Kalau bisa, aku minta panitia biar kamu di bangku sebelahku.”
Kinan nyengir. “Gak takut aku banyak ngomong?”
“Justru itu. Biar perjalanan gak sepi.”
Suasana tiba-tiba agak aneh. Hangat, tapi bukan dari udara. Kinan sempat gugup, tapi sebelum sempat ngomong, Kaisaka nongol dari balik pintu sambil teriak, “Kak Kinan, Mama suruh masuk! Udah malam!”
Rafi tertawa. “Adikmu lucu banget.”
“Lucu buat kamu, ngeselin buat aku.”
“Yaudah, aku balik deh. Sampai besok ya, Kin. Jangan lupa sarapan.”
Kinan melambaikan tangan. “Siap, partner bus!”
Begitu Rafi pergi, Kinan menutup pagar dengan pipi merah muda. Dua cowok di hari yang sama—Danu di sore, Rafi di malam—otaknya auto buffer. Tolonglah, sistem saraf otonomku gak sekuat ini.
---
Keesokan paginya, suasana rumah heboh sejak subuh. Bu Ratna bolak-balik bantuin Kinan siap-siap, sementara Pak Bram udah siap antar sampai sekolah. Kaisaka, dengan seragam olahraga-nya sendiri, ngelihat kakaknya heboh dan nyeletuk, “Kak Kinan kayak mau shooting film, bukan study trip.”
Kinan menjulurkan lidah. “Biar kece di dokumentasi sekolah, sayang.”
Rambutnya dikuncir kuda tinggi, beberapa helai kecil jatuh lembut di sisi wajah. Seragam olahraga birunya dilapisi jaket putih gading, sepatu sneakers putih bersih. Tas ransel biru tua di punggungnya hampir sebesar badannya.
Bu Ratna menatap anak gadisnya dengan senyum bangga. “Cantik banget sih kamu.”
Kinan mencubit pipi ibunya pelan. “Gen Mama dong, jelas.”
Saat mobil mereka sampai di sekolah, halaman sudah ramai oleh siswa. Bus besar berjejer di depan gerbang, panitia OSIS sibuk mengatur barisan. Dan di antara keramaian itu, ada dua tatapan yang langsung tertuju pada Kinan—Danu dan Rafi.
Danu yang berdiri di dekat bus menatap diam, ekspresinya seperti biasa tenang tapi jelas menyimpan sesuatu. Sedangkan Rafi langsung melambaikan tangan sambil teriak, “Kin! Sini!”
Kinan sempat bingung. Tapi sebelum sempat melangkah, suara pelan Danu terdengar dari sisi lain. “Pagi, Kin.”
Dia noleh. “Eh, pagi, Danu!”
“Udah siap?”
“Siap banget! Aku udah kayak prajurit siap perang.”
Danu tersenyum tipis. “Semangat ya. Nanti kalau bus-nya sama aku, aku jagain kamu.”
Kinan membalas dengan senyum kikuk. “Kamu ngomong gitu kayak aku bocah dua tahun.”
“Ya emang kadang kamu kayak bocah.”
“Serius deh, Danu! Aku tuh—”
“Lucu,” potongnya cepat.
Kinan langsung speechless. Untung Rafi datang nyelip di antara mereka sambil nyeletuk, “Lucu tapi kuat ngeladenin ujian minggu lalu ya?”
Danu menatap Rafi sekilas, lalu berbalik ke arah panitia. “Aku ke panitia dulu.”
Kinan bengong. Rafi menatapnya penuh senyum tapi matanya menyimpan sesuatu. “Kayaknya dia agak gak suka aku deket kamu.”
Kinan langsung cengar-cengir. “Kamu halu, Raf. Danu itu tenang, gak drama.”
“Tapi cowok tenang kalau cemburu justru yang paling bahaya, Kin.”
Kinan terdiam. Entah kenapa kalimat itu terasa terlalu tepat buat suasana pagi itu.
---
Sore yang gak biasa itu akhirnya berubah jadi pagi penuh tanda tanya.
Kinan duduk di bangku bus, headset di telinga, tapi pikirannya masih berputar di dua hal: senyum Danu, dan cokelat panas dari Rafi.
Dari kursinya di belakang, Danu memperhatikan diam-diam.
Dari kursinya di seberang lorong, Rafi juga sesekali melirik.
Dan di luar bus, langit perlahan cerah—menandakan perjalanan ini baru saja dimulai, bukan cuma ke Gunung Pancar, tapi juga ke arah yang bahkan Kinan sendiri belum tahu ujungnya.
---
✨ To Be Continued...
Best lagi lagi aku ingetin nih ya jangan lupa like nya biar author semangat 😘😘