Kevia tak pernah membayangkan hidupnya berubah jadi neraka setelah ayahnya menikah lagi demi biaya pengobatan ibunya yang sakit. Diperlakukan bak pembantu, diinjak bak debu oleh ibu dan saudara tiri, ia terjebak dalam pusaran gelap yang kian menyesakkan. Saat hampir dijual, seseorang muncul dan menyelamatkannya. Namun, Kevia bahkan tak sempat mengenal siapa penolong itu.
Ketika keputusasaan membuatnya rela menjual diri, malam kelam kembali menghadirkan sosok asing yang membeli sekaligus mengambil sesuatu yang tak pernah ia rela berikan. Wajah pria itu tak pernah ia lihat, hanya bayangan samar yang tertinggal dalam ingatan. Anehnya, sejak malam itu, ia selalu merasa ada sosok yang diam-diam melindungi, mengusir bahaya yang datang tanpa jejak.
Siapa pria misterius yang terus mengikuti langkahnya? Apakah ia pelindung dalam senyap… atau takdir baru yang akan membelenggu selamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
14. Dua Sosok Berbeda
"Ayo."
Yoga kembali menarik lembut tangan Kevia, membuat gadis itu setengah berlari kecil mengikutinya.
“Ke mana?” tanya Kevia bingung, tapi langkah kakinya tetap patuh mengikuti pria itu.
Yoga justru balik bertanya, “Kulit kamu sensitif, nggak? Atau punya alergi?”
Pertanyaan aneh itu membuat Kevia mengernyit. Tapi ia tetap menjawab, “Aku nggak punya alergi. Kulitku juga nggak sensitif.”
Senyum tipis muncul di wajah Yoga. “Bagus.”
Ia terus melangkah hingga berhenti di sebuah toko kecantikan yang berkilau terang di dalam mall. Tanpa ragu, Yoga langsung menghampiri pramuniaga. “Kak, skincare terbaik untuk gadis seusia dia.”
Kevia terbelalak. “Om… eh, Kak… beli skincare buat siapa?” tanyanya dengan ragu.
“Buat kamu. Buat siapa lagi?” Yoga menoleh, lalu dengan nakalnya mencolek ujung hidung Kevia.
Wajah gadis itu langsung memanas. “Eh, nggak perlu… Kakak nggak usah repot-repot.”
Yoga mendekat, menempelkan telunjuknya ke bibir Kevia.
“Sstt… jangan menolak. Kalau kamu nolak…” matanya menatap dalam, “…ini terakhir kita ketemu.”
Kevia terperanjat. Jantungnya berdegup kencang. Ia begitu bahagia bisa bertemu lagi dengan pria ini, bagaimana mungkin ia berani mengambil risiko kehilangan? Maka, ia memilih diam.
Setelah itu, Yoga membelikan beberapa stel pakaian. “Untuk kuliah,” ujarnya singkat saat Kevia membuka mulut untuk menolak.
Dua anak buah Yoga yang sejak tadi membuntuti dari jauh benar-benar melongo, nyaris tak percaya dengan pemandangan di depan mata.
“Aku gak salah lihat 'kan?” bisik salah satunya.
“Kita gak salah ngikutin orang 'kan? Itu… beneran bos kita?”
“Rasanya aku juga gak percaya. Bos kita yang dingin, berwibawa, bahkan suka bikin orang ciut nyali… bisa sehangat itu pada seorang gadis.”
“Bahkan rela belanjain kayak gitu… Ini beneran di luar nalar.”
Setelah merasa cukup, Yoga mengajak Kevia pulang. Malam itu, motor Yoga melaju tenang di jalanan sepi, membawanya sampai ke kontrakan kecil Kevia.
Sesampainya di depan pintu, Yoga menurunkan belanjaan. Ia tersenyum getir melihat tempat gadis itu tinggal. “Kalau ada apa-apa… atau butuh sesuatu, langsung hubungi aku.” Ia menyerahkan semua barang belanjaan itu ke tangan Kevia.
“Kakak nggak perlu beliin semua ini buat aku…” Kevia berucap pelan, hatinya tak enak.
Yoga hanya tersenyum, lalu mengacak rambut gadis itu dengan hangat. “Jangan nolak. Aku nggak mau ketemu kamu lagi kalau kamu nggak terima pemberianku.”
Kevia tercekat. Lagi-lagi ancaman itu. Bagaimana ia sanggup? Hanya dengan mengingat pria itu saja, hatinya sudah menghangat. Kehilangan bukanlah pilihan.
Maka malam itu, Kevia menggenggam erat belanjaan di tangannya… juga genggaman tak terlihat yang Yoga tanamkan di hatinya.
“Ingat, skincare-nya dipakai. Aku nggak mau gadis kecilku yang cantik jadi kusam dan kehilangan sinarnya.”
Yoga mencubit pipi Kevia dengan gemas.
Wajah Kevia langsung memerah. Ia menunduk, tersipu malu.
Setelah beberapa detik diam, Yoga kembali bertanya pelan, “Ayah dan ibumu ada nggak di rumah?”
Kevia mendongak sebentar, lalu menjawab lirih, “Ayah masih di rumah sakit… nemenin Ibu.”
Tatapan Yoga membeku. “Ibumu sakit?”
Gadis itu mengangguk pelan. “Iya… Ibu gagal ginjal. Jadi harus cuci darah… dua minggu sekali.”
Yoga menatapnya lama, seolah ada sesuatu yang menohok dadanya. Suaranya terdengar berat saat ia berkata, “Kalau gitu… nanti jika aku nggak sibuk, aku sempatkan nengok ibumu.”
Kevia hanya bisa diam, hatinya terasa hangat mendengar kalimat sederhana itu.
Tak lama, Yoga pamit pulang. Motor besarnya perlahan menjauh, raung mesinnya terdengar makin samar, hingga akhirnya hilang di tikungan gang.
Kevia berdiri terpaku, matanya masih mengikuti punggung itu sampai benar-benar menghilang. Senyum kecil terukir di wajahnya, tak pudar meski udara malam dingin menusuk kulit.
Ia masuk ke kontrakan mungilnya, menatap belanjaan yang tadi diberikan Yoga. Ponsel, laptop, pakaian baru, hingga skincare yang kini seakan memancarkan sinar lain baginya. Senyumnya kembali merekah, seperti gadis kecil yang baru saja mendapat hadiah terindah.
Ia melangkah ke kamar mandi, air dingin menyiram tubuhnya yang lelah, namun pikirannya masih dipenuhi wajah hangat Yoga. Senyum ramah, tatapan teduh, bahkan cubitan gemas di pipinya tadi. Semuanya seperti cahaya matahari yang mengusir sepi.
Tapi begitu jemarinya menyentuh kulit, seolah ada bayangan lain yang ikut terbawa arus air. Plester di tangannya yang sudah basah membuatnya terdiam. Lalu, seperti bayangan hitam yang merayap dari dasar pikirannya, suara itu kembali.
Berat. Dekat. Nyaris berbisik.
“Karena malam ini… kau adalah milikku sepenuhnya.”
Dadanya terasa sesak. Aroma samar parfum pria misterius itu, tajam, dalam, menusuk, seakan tercium kembali, berbeda jauh dari aroma segar yang masih menempel dari pelukan Yoga tadi.
Jantungnya berdegup kencang. Hangat yang tadi ia rasakan bersama Yoga, berubah jadi dingin yang menghantui. Seolah ada jurang lebar yang memisahkan mereka, meski jarak fisik barusan begitu dekat.
Ia menutup matanya rapat-rapat, berusaha mengusir suara itu. Namun semakin ia melawan, semakin jelas gema itu terdengar di telinganya.
Yoga dan pria misterius. Dua sosok yang sama-sama menggoda, tapi bagai langit dan jurang.
Kevia menggigit bibirnya, membiarkan air membasahi wajahnya hingga bercampur dengan air mata.
***
Kemala sudah membaik dan pulang ke rumah. Malam itu, setelah memastikan ibunya tertidur pulas, Kevia melangkah ke ruang tamu kecil. Lampu redup menggantung, menciptakan bayangan panjang di dinding kusam.
Ardi duduk di kursi tua, bahunya sedikit membungkuk, wajahnya terlihat lelah meski matanya masih terjaga.
“Ayah…” suara Kevia pelan, tapi cukup untuk membuat pria itu menoleh.
“Ada apa, Sayang?” tanya Ardi lembut, menatap putrinya dengan penuh perhatian.
Kevia menggenggam jemarinya sendiri, ragu sejenak lalu duduk di samping ayahnya. “Uang yang aku dapat kemarin… bagaimana kalau kita jadikan modal usaha, Yah?”
Ardi terdiam. Kedua alisnya bertaut, jelas sedang berpikir. “Usaha?” ulangnya pelan.
Kevia mengangguk mantap, meski nadanya bergetar. “Aku nggak mau Ayah kerja serabutan terus. Aku ingin Ayah punya usaha sendiri. Biar kita bisa lebih tenang.”
Keheningan singkat menyelip di antara mereka. Ardi menatap wajah putrinya lama, seakan tak percaya anak gadisnya bisa berpikir sejauh itu.
“Usaha apa, Via?” tanyanya akhirnya, suara berat tapi penuh harap.
Kevia tersenyum tipis, namun sorot matanya berkilat penuh tekad.
“Aku kepikiran toko kelontong kecil, Yah. Tempat sederhana, tapi bisa jadi milik kita sendiri. Orang bisa berbelanja kebutuhan pokok, dan kita nggak akan repot mengurusnya. Kita bisa tetap sambil menjaga Ibu. Menurutku… itu bisa jadi awal harapan baru buat keluarga kita.”
Ardi terdiam. Napasnya terhela panjang, dadanya berguncang seolah menahan sesuatu. Perlahan, bibirnya melengkung, senyum getir yang sarat dengan rasa syukur. Matanya berkaca-kaca, berkilau di bawah cahaya lampu redup.
“Kamu benar-benar sudah dewasa, Via…” suaranya serak, penuh emosi. “Ayah… ayah bangga sekali padamu.”
Kevia menunduk, kedua tangannya mengepal erat di pangkuan, berusaha menahan perasaan yang menggelegak di dadanya. Ada haru, ada lega, juga ada semangat baru yang mulai tumbuh.
Kontrakan kecil itu terasa begitu sempit ketika Ardi melontarkan kegundahannya.
“Tapi, Sayang…” suaranya berat, sarat keraguan, “kontrakan ini tidak mungkin kita jadikan warung. Tempatnya sempit, kurang strategis. Kalau kita sungguh ingin membuka warung kelontong, kita harus mencari tempat lain.”
Kevia hanya mengangguk pelan. Mata beningnya menatap sang ayah dengan keteguhan.
“Soal itu, kita cari bareng-bareng, Yah,” ucapnya lirih, seolah hendak menghapus beban yang menekan hati ayahnya.
Ardi menatap wajah putrinya. Senyum samar menyungging di bibirnya, lalu tangannya terulur, mengusap lembut puncak kepala Kevia.
“Ayah bersyukur sekali punya kamu… dan ibumu.” Suaranya bergetar, hampir pecah. “Maafkan ayah, Sayang. Dulu ayah salah mengambil keputusan. Ayah yang membuat kamu dan ibumu menderita.”
Rasa sesal itu begitu nyata, membayang di wajah letih Ardi, memantul di sorot matanya yang mulai basah.
Namun Kevia menggeleng lembut.
“Ayah tidak perlu minta maaf,” bisiknya penuh ketulusan. “Waktu itu kita memang tidak punya jalan lain. Biarlah semua yang pahit terkubur di belakang kita. Mari kita buka lembaran baru.”
Air mata akhirnya lolos dari mata Ardi. Tanpa pikir panjang, ia meraih tubuh putrinya, memeluknya erat-erat.
“Ayah bahagia sekali memiliki putri sepertimu. Kamu dan ibumu… adalah hadiah terindah yang Tuhan titipkan pada ayah.”
Pelukan itu menghangatkan, menyalakan kembali sesuatu yang sempat padam di hati Kevia. Lima tahun lebih ia kehilangan kehangatan seorang ayah, kehilangan pelukan yang dulu ia pikir tak akan pernah kembali sejak ayahnya menikah lagi. Kini, kehangatan itu nyata, meleburkan seluruh rindu dan luka.
Kevia menutup mata, membalas pelukan itu dengan erat.
“Aku juga bahagia, Yah,” suaranya serak namun tegas. “Bahagia sekali punya ayah seperti ayah.”
Waktu seolah berhenti sesaat. Hanya ada detak jantung yang berpacu dalam satu irama, menyatukan luka lama dengan harapan baru.
...🌸❤️🌸...
Next chapter...
“Copet! Copet!”
Ardi menoleh, jantungnya ikut berdegup kencang. Dari arah belakang, seseorang tiba-tiba menabraknya keras.
“Ak—!”
To be continued
Popy ini harusnya belajar mengambil hati Kevin, bukan menyalahkan Kevia.
Kevin bisa benci kamu kalau sampai menyakiti Kevia.
karena kevia sudah ada yang punya
Anaknya siapa sebenarnya kamu Kevin..dan Popy mau di jodohkan denganmu ortu macam apa zaman now masih mau jodoh²in...
apa kamu bisa Popy menyingkirkan Kevia..?lihat saja nanti
ayo semangat kejar cintamu sebelum ia diambil orang lain ntar nyesel Lo...
walaupun kamu belum tau wajahnya tapi kamu kan tau ketulusan cintanya itu benar2 nyata,
dia rela memberikan apapun yang ia miliki kalau kamu mau menikah dengannya,tunggu apalagi kevia...
selama kamu bersama ia terasa nyaman dan terlindungi itu sudah cukup.
semangat lanjut kak Nana sehat selalu 🤲