Aku mengenalnya sejak kuliah. Kami bertiga—aku, dia, dan sahabatku—selalu bersama.
Aku pikir, setelah menikah dengannya, segalanya akan indah.
Tapi yang tak pernah kuduga, luka terdalamku justru datang dari dua orang yang paling kucintai: suamiku... dan sahabatku sendiri.
Ketika rahasia perselingkuhan itu terbongkar, aku dihadapkan pada kenyataan yang lebih menyakitkan—bahwa aku sedang mengandung anaknya.
Antara bertahan demi anak, atau pergi membawa kehormatan yang tersisa.
Ini bukan kisah cinta. Ini kisah tentang dikhianati, bangkit, dan mencintai diri sendiri...
"Suamiku di Ranjang Sahabatku" — Luka yang datang dari rumah sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rizki Gustiasari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tekanan di balik pintu kontrakan..
Raka duduk di balik meja kerjanya yang besar dan minimalis, lantai tertinggi dari sebuah gedung pencakar langit di pusat kota. Ruangannya didominasi kaca lebar dengan pemandangan kota metropolitan yang sibuk. Sebagai Direktur Operasional di perusahaan pengembang properti ternama, Valesco Group, ia terbiasa mengatur jadwal padat, mengambil keputusan besar, dan memimpin ratusan karyawan di bawahnya. Hidupnya terlihat sempurna—dari luar. Tapi batinnya belakangan ini justru terasa makin kosong dan gaduh.
Pagi itu, ia baru saja selesai memimpin rapat dengan para manajer cabang ketika Rani, salah satu staf sekretariat yang sudah lama bekerja dengannya, mengetuk pintu dengan ragu. Wajahnya tak biasa—ada kegelisahan yang jelas terbaca.
“Masuk, Rani,” ucap Raka, melirik jam tangannya sejenak.
“Maaf mengganggu, Pak,” ucap Rani lirih. “Tapi saya rasa... ini penting.”
Raka menyandarkan tubuhnya ke kursi. “Apa?”
Rani menarik napas. “Saya baru saja dari arah Jalan Wijaya, Pak. Saya melihat Bu Tania keluar dari kontrakan Bu Nayla. Ini bukan pertama kalinya saya lihat Bu Tania ke sana. Saya... sempat mendengar sedikit. Terdengar seperti mereka bertengkar.”
Raka menajamkan pandangan. “Tania ke sana lagi?”
“Iya, Pak. Sudah beberapa kali, minggu ini saja saya lihat tiga kali. Bu Tania seperti sedang menekan Bu Nayla. Saya dengar sendiri, dia mendesak agar Bu Nayla menandatangani akta cerai dan mempercepat proses perceraian.”
Sejenak ruangan itu menjadi senyap. Rahang Raka mengeras, dadanya bergemuruh. Ia tahu Tania emosional, kadang tak bisa dikendalikan. Tapi datang ke tempat Nayla dan memaksanya menandatangani akta cerai? Itu sudah melewati batas.
“Dia bilang apa lagi?” tanya Raka, suaranya menegang.
Rani menunduk, enggan memperpanjang. “Saya tidak mendengar semuanya, Pak. Tapi... nada Bu Tania tinggi. Seperti sedang mengancam. Dan Bu Nayla... terlihat diam saja.”
Raka mengepalkan tangan. Sejak Nayla pergi dari rumah, ia tak pernah benar-benar bisa tidur nyenyak. Wajah istrinya itu terus menghantui pikirannya. Ada sesal yang mengendap, menumpuk setiap malam. Nayla terlalu diam, terlalu sabar, sampai-sampai ia lupa kalau perempuan itu juga bisa lelah, bisa marah, bisa terluka.
Dan sekarang, ketika Nayla memilih menjauh dan menenangkan diri, Tania justru mendatanginya dan menekannya tanpa ampun?
“Batalkan semua jadwal saya hari ini,” kata Raka sambil bangkit dari kursinya.
“Pak?” Rani tampak terkejut.
“Saya akan menemui Nayla. Ini urusan pribadi. Saya tidak ingin ada gangguan,” ujarnya sambil mengambil kunci mobil dan jas.
Rani hanya mengangguk, lalu segera keluar dari ruangan.
---
Sepanjang perjalanan menuju kontrakan Nayla di Bandung, tangan Raka menggenggam setir kuat-kuat. Pikirannya melayang ke banyak hal—ke masa awal pernikahan mereka yang sederhana, ke bagaimana Nayla selalu mendukungnya bahkan saat ia belum sebesar sekarang, dan ke momen-momen terakhir sebelum Nayla memutuskan pergi.
Ia ingat bagaimana Nayla hanya diam saat Raka mulai berubah. Bagaimana ia menelan rasa sakit ketika Raka lebih sering bersama Tania, dengan alasan pekerjaan dan urusan kantor. Nayla tidak pernah menuntut, tidak pernah bertanya, bahkan ketika luka mengalir dari matanya.
Dan sekarang... Nayla justru harus menghadapi teror dari Tania. Tanpa perlindungan. Tanpa siapa-siapa.
Mobil Raka berhenti mendadak di pinggir jalan saat kontrakan Nayla mulai terlihat dari kejauhan. Ia turun, berjalan cepat menuju pintu berwarna biru kusam itu. Jantungnya berdetak keras.
Saat hendak mengetuk, ia mendengar suara isakan lirih dari dalam.
Tangannya mengepal, lalu dengan satu ketukan berat, ia berseru, “Nayla... ini aku, Raka.”
Tak ada jawaban. Tapi suara langkah pelan terdengar mendekat. Pintu terbuka perlahan, menampakkan wajah Nayla yang pucat dan mata sembab yang bahkan tak mampu menyembunyikan luka batin yang terlanjur dalam.
Raka terpaku. Hatinya seperti diremuk dari dalam.
“Nayla...” ucapnya pelan. “Aku tahu semuanya. Tentang Tania. Tentang dia datang ke sini. Aku... aku minta maaf.”
Nayla hanya menatapnya lama, seolah menahan banyak hal yang ingin diluapkan tapi terlalu lelah untuk bicara.
Raka menggenggam bahunya lembut. “Aku tidak akan biarkan dia menyakitimu lagi.”
Untuk pertama kalinya, Nayla menunduk. Mungkin bukan karena percaya. Tapi karena lelah menjadi kuat sendirian terlalu lama.