“Abang janji akan kembali ‘kan? Berkumpul lagi bersama kami?” tanya Meutia Siddiq, menatap sendu netra suaminya.
“Iya. Abang janji!” ucapnya yakin, tapi kenyataannya ....
Setelah kabar kematian sang suami, Meutia Siddiq menjadi depresi, hidup dalam kenangan, selalu terbayang sosok yang dia cintai. Terlebih, raga suaminya tidak ditemukan dan dinyatakan hilang, berakhir dianggap sudah meninggal dunia.
Seluruh keluarga, dan para sahabat juga ikut merasakan kehilangan mendalam.
Intan serta Sabiya, putri dari Meutia dan Ikram – kedua gadis kecil itu dipaksa dewasa sebelum waktunya. Bahkan berpura-pura tetap menjalani hari dimana sang ayah masih disisi mereka, agar ibunya tidak terus menerus terpuruk, serta nekat mau bunuh diri, berakhir calon adik mereka pun terancam meninggal dalam kandungan.
Dapatkah Meutia beserta buah hatinya melewati badai kehidupan?
Bagaimana mereka menjalani hari-hari berat itu ...?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cublik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
13 ~ Simpan di hati
"Tak ada yang memintamu melepaskan, tapi cobalah membiasakan diri menerima kalau dia tak lagi ada didepan pelupuk mata melainkan dalam sanubari saja. Segala hal manis tentangnya, kenangan indah yang kalian ukir bersama, letakkan di tempat istimewa yakni lubuk hatimu. Simpan disana, agar sewaktu-waktu bila kau rindu bisa mengenangnya layaknya membuka album memori.”
Meutia termangu, tenggorokannya tercekat. Dia paham makna dalam kata-kata dokter Ismi – cukup dikenang, jangan libatkan lagi dalam segala hal berwujud nyata. “Anda ingin mengatakan tak mengapa tidak ada makam, tidak apa-apa raganya belum ditemukan, yang terpenting dia sudah bersemayam dihatiku, benarkah Bu?”
Dokter Ismi mengangguk. “Kurang lebih seperti itu. Kau belum bisa menerima karena tidak diberi kesempatan memperlihatkan rasa cinta lewat sentuhan terakhir. Engkau ketakutan akan rindu menggebu-gebu tapi tak ada tempat untuk dikunjungi demi melepaskan rasa menyiksa itu. Meutia … tak perlu pergi jauh, cukup pejamkan mata dan rasakan dia ada bersamamu sepaket dengan cinta kasihnya.”
Tetesan air mata Meutia terjatuh di atas ring lambang ikatan suci pernikahannya bersama Ikram Rasyid.
Sebuah tendangan lembut seakan-akan si janin ingin menguatkan sang ibu. Meutia mengelus perut dimana tadi anaknya menyapa. ‘Nak, bantu Mamak ya. Yang kuat di dalam sini! Serap semua nutrisi Mamak agar kau tidak buru-buru ingin melihat dunia.’
“Saya yakin kau bisa, Meutia.” Bahu pasiennya di tepuk lembut, ditatapnya manik indah tanpa binar bahagia. “Mari sama-sama kita berjuang. Saya menemanimu melewati masa-masa membingungkan ini, menuntun mu agar tak tersesat dalam labirin tanpa ujung. Sementara dirimu mengusir pikiran negatif yang mencoba menenggelamkan akal sehatmu. Bersediakah?”
“Tolong saya, Dokter,” cicitnya lemah.
“Pasti, Meutia. Tanamkan keyakinan kalau kau tidak sendirian! Ada dua gadis kecil yang hebat, sungguh-sungguh berharap ibunya kembali memeluk mereka dengan perasaan utuh, tidak seperti seseorang kehilangan arah memandang dengan sorot hampa.”
‘Intan, Sabiya … nak, maafkan Mamak.’ Dia meremat ujung selimut, rasanya hatinya kian sakit kala teringat kedua bidadarinya.
“Keluargamu juga ada, mereka begitu gigih mengusahakan yang terbaik untuk dirimu. Semua orang menyayangimu! Kau tak sendirian, ada kami yang bisa kau jadikan sandaran selain Tuhan.” Dokter Ismi mengelus lengan tertutup baju.
“Terima kasih, dokter,” ucapnya tulus, masih menunduk menyembunyikan wajah bersimbah air mata.
Dokter Ismi pun mengangguk, lalu berpamitan dan keluar dari dalam kamar rawat inap Meutia.
Sepeninggalnya sang psikiater, Meutia cepat-cepat mengelap air matanya menggunakan ujung hijab.
“Assalammualaikum. Mamak, Intan boleh masuk tidak?” Kepala dan bahunya menyembul di sela pintu terbuka sedikit
“Walaikumsalam. Sini Nak!”
Kala melihat rentangan tangan, Intan langsung berlari dan memeluk ibunya, menumpukan kepala pada paha tertutup selimut.
Sabiya menyusul, dia kini sudah berganti dengan baju terusan bagian bawah mengembang sehingga memudahkan langkahnya. Busana milik Lanira.
“Mamak.” Diciuminya kaki ibunya yang terbungkus selimut. “Semoga Mamak cepat sembuh, biar tak melulu ditusuk-tusuk jarum infus.” Mata indah itu memandang tidak suka pada selang infus. Dia marah pada benda mati yang menyakiti ibunya.
“Aamiin.” Meutia menegakkan punggung, tangan kirinya mengelus kepala Sabiya yang tertutup hijab, sekaligus memeluk Intan.
Satu persatu anggota keluarga Meutia masuk, menebarkan senyum hangat dan penuh cinta. Memeluk sayang seraya memberikan kata-kata penyemangat.
“Mamak oh Mamak, cepat sembuh ya. Biar nanti bisa bawa kami keliling kampung naik motor anaknya Samson.” Zeeshan memeluk kaki sang tante, menyebutkan hobi ibunya Intan yang mereka sukai yakni, naik motor dimodifikasi seperti becak tapi terlihat gagah.
Bukan cuma Intan dan Sabiya yang merasa kehilangan perhatian Meutia. Para keponakannya pun sama, mereka seperti terabaikan. Sang tante sibuk dengan dunianya sendiri.
Dulu, istrinya Ikram Rasyid memiliki kepribadian ceria, ucapan tajam dan ceplas-ceplos. Suka sekali menggoda para keponakannya sampai menangis baru berhenti. Dia menjadi kesayangan keluarga Siddiq. Sifatnya yang ceria, sikap spontanitasnya kini hilang sudah, berganti oleh raga seperti tak memiliki jiwa.
“Tunggu adik bayi lahir dulu, bang Zee,” sang ibu memperingati.
“Lamanya itu. Keburu anaknya Samson jadi bapak-bapak,” ucapnya asal.
“Dasar Paok!” Intan menjitak kepala sepupunya.
“Mak, tengoklah Intan. Asal pukul saja, nanti kalau aku jadi bodoh macam mana?” Matanya berkaca-kaca, dia si aktor drama.
“Kan memang kau kurang pintar. Nilai pun kebanyakan kobaran api daripada awan hitam,” celetuk Kamal.
“Kamal!” Nirma menggeram. Yang ditegur bersembunyi dibelakang ayah tua nya.
“Tak apa-apa ya, Bang. Yang penting bukan ponten telur busuk, empat dan lima masih bagus, kan Bang?” niat Hazeera ingin menyemangati abangnya yang sering mendapatkan nilai empat dan lima di pelajaran matematika, ditulis dengan tinta merah.
Meutia mengelus punggung keponakannya yang menangis karena merasa dirundung. “Nanti kalau Mamak sudah sembuh, belajar lebih rajin lagi ya, Bang Zee, mau?”
Zeeshan mengangguk, mendongak menatap tantenya. “Mamak yang ngajarin, ya? Jangan Umi, habis aku dilibasnya kalau salah hitung terus.”
Semua orang tertawa. Dhien yang disindir, terbahak-bahak – kala menjadi guru bagi para anak sahabatnya, maka tensinya langsung naik, kesabaran terkikis.
“Itu karena kau main terus. Malas membaca soal nya, langsung menjawab asal.”
“Bukan salahku, Umi. Tapi salahkan itu buku, apa susahnya tinggal nulis angka saja … ini tidak, masa pakai kalimat berputar-putar macam pusaran air. Kan, aku jadi bingung, pusing,” belanya pada diri sendiri.
“Bilang saja kau malas! Banyak kali alasannya!” Zain mengatai sang kembaran.
Tatapan tajam Zeeshan layangkan teruntuk abangnya, tapi dibalas tak kalah sinis.
Nyak Zainab tersenyum haru, hatinya menghangat melihat suasana akrab kekeluargaan ini. ‘Nak, Nyak harap … kedepannya kita bisa seperti dulu lagi meskipun dia tak ada diantara kita. Namun tetap membersamai dalam sanubari.’
“Kalian pulanglah dulu. Tia tak apa-apa sendirian di sini. Tolong bawa Intan dan juga Sabiya, mereka pasti gerah seharian beraktifitas dan belum mandi,” Meutia meminta anggota keluarganya kembali ke kampung mereka.
“Kau yakin tak apa-apa bila kami tinggal sebentar, Tia?” Wahyuni memandang ragu.
Meutia tersenyum lebar. “Aku janji takkan berbuat sesuatu yang merugikan diri sendiri maupun bayiku.”
Awalnya Intan dan Sabiya enggan diajak pulang, mereka ingin menemani sang ibu. Namun ketika diingatkan harus mengaji sore hari, akhirnya mau. Asal malamnya diperbolehkan menginap di rumah sakit.
Ketika para orang terkasih sudah keluar dari dalam kamar. Meutia menatap cincin kawinnya. Ada sorot lain pada netra yang belakangan ini kehilangan binar cerah.
“Kau sangat tak suka bila aku melakukan segala sesuatu sendiri ‘kan? Selalu protes kalau diri ini sangat mandiri, sebab dirimu merasa tidak dibutuhkan lagi. Mari kita lihat, apa engkau masih tetap diam saja bila wanita kesayanganmu ini menjadi sosok serba bisa, Ikram Rasyid …?”
.
.
Bersambung.
congor kok busuk macam itu, ngaku2 bininya ayah paok pulak🤬🤬
ikram musti teguh dengan pendiriannya untuk tidak menikahi rinta,, dengan adanya kejadian ini tuh udah jelas klau dia memang udah punya anak dan istri
bungkus si arinta paok tuh buang ke laut
cakar cakar tuh dia punya wajah keluarkan jurus andalan mu tia...
👏👏👏
tia tia tia tia tia