Namaku Syahnaz Fakhira az-Zahra, berusia delapan belas tahun.
Aku baru saja menyelesaikan pendidikan selama enam tahun di Pondok Pesantren Darfal — sebuah pondok perempuan di salah satu kota di Jawa yang dikenal dengan kedisiplinan dan kedalaman ilmunya.
Selama enam tahun di sana, aku belajar banyak hal; bukan hanya tentang ilmu agama, tetapi juga tentang kehidupan. Aku tumbuh menjadi seseorang yang berusaha menyeimbangkan antara iman dan ilmu, antara agama dan dunia.
Sejak dulu, impianku sederhana namun tinggi — melanjutkan pendidikan ke Universitas Al-Azhar di Kairo, menuntut ilmu di tanah para ulama. Namun, takdir berkata lain.
Di tahun kelulusanku, ayah meninggal dunia karena serangan jantung. Dunia seolah runtuh dalam sekejap.
Aku sangat down, tertekan, dan rapuh.
Sejak kepergian ayah, keadaan ekonomi keluarga pun memburuk. Maka, aku memilih pulang ke rumah, menunda impian ke luar negeri, dan bertekad mencari pekerjaan agar bisa membiayai ibuku sekaligus untk kuliah.
lanjut? 🤭
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon syah_naz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
antara dua dunia yang berbeda
Beberapa menit kemudian, motor itu berhenti di depan gerbang kost asrama putri.
Syahnaz segera turun sambil merapikan kerudungnya.
“Makasih ya... kalau gitu aku masuk dulu. Assalamu’alaikum,” ucapnya sopan sebelum melangkah masuk.
Namun suara dari belakang langsung memanggilnya.
“Ehh! Enak aja main pergi. Bayarannya mana?” teriak cowok itu.
Syahnaz menoleh cepat. “Oh... kamu ojek, ya? Duh, aku lupa kalau kamu ojol.”
Nada suaranya terdengar menggoda, matanya menyipit sedikit. “Berapa, hah?”
Cowok itu mendengus pelan. “Enak aja kalo ngomong! Gue gak butuh uang lu.”
Syahnaz mengangkat alis. “Sombong banget nih bocah...” gumamnya pelan, lalu menatap tajam. “Lalu yang kamu mau apa, bocah ingusan?”
“Nah gitu dong... udah mulai nanya,” balasnya santai, menyandarkan tangan di stang motor. “Gue cuma mau nama dan nomor lu.”
Tatapannya sedikit menantang, tapi senyum tipisnya bikin Syahnaz sempat kaget.
“Kenapa emangnya? Gak mau ngasih?” godanya lagi.
Syahnaz menatapnya datar. “Ya... aku gak mau. Lagian buat apa juga.”
Ia lalu membalikkan badan, hendak masuk ke dalam.
Cowok itu menatap punggungnya lalu berkata, sedikit lebih keras,
“Yaudah... kalau nanti ketemu orang itu lagi, jangan nyesel. Gue gak bisa bantu!”
Ia memasang helmnya, berharap Syahnaz menoleh... tapi ternyata—
“Yaudah, gak apa-apa,” jawab Syahnaz tenang tanpa menatap ke belakang. “Kalau ada orang itu lagi, ya aku cari bantuan lain. Kan di setiap kesulitan pasti ada kemudahan.”
Nada suaranya mantap, lalu ia melangkah masuk ke gerbang kost dengan tenang.
Cowok itu hanya bisa diam. Matanya mengikuti langkah Syahnaz yang menjauh.
Ada sesuatu di dalam dirinya yang... aneh. Entah kagum, entah heran.
Tiba-tiba suara lantang Syahnaz terdengar lagi dari arah gerbang.
“Pulang gih kamu! Jangan buang waktu bengong di situ aja! Satu lagi—jangan bolos sekolah, ya!”
Cowok itu nyengir kecil, sadar ketahuan nongkrong di kafe padahal masih pakai seragam SMA.
“Beda banget tuh cewek...” gumamnya, menatap gerbang yang kini tertutup.
Ia memandang sekitar sebentar, lalu menyalakan motornya dan pergi—
dengan senyum samar yang entah kenapa... belum bisa hilang dari wajahnya.
......................
Syahnaz pun masuk ke dalam kamarnya dan duduk di atas kasur.
“Alhamdulillah… selamat,” ucapnya pelan sambil menatap langit-langit.
“Yaa Allah… miris banget anak zaman sekarang, bisa-bisanya bolos sekolah cuma buat nongkrong santai. Padahal di sisi lain banyak orang yang ingin sekolah tapi nggak mampu… kayak aku sekarang,” gumamnya, tenggelam dalam pikiran.
Namun, senyum tipis muncul di wajahnya. “Tapi Alhamdulillah, Syahnaz masih bisa ikut ujian akhir semester nanti. Makasih yaa Rabb… Engkau selalu kasih solusi saat aku udah nggak tahu harus gimana,” ucapnya lirih.
Karena terlalu larut dalam pikirannya, Syahnaz pun akhirnya tertidur sambil menatap langit-langit kamar.
---
Di sisi lain kota, suasana markas besar geng motor Rex Riders terasa tegang.
Seorang lelaki yang tadi mengejar Syahnaz masuk dengan wajah marah. Dialah Reyhan Maheswara, pemimpin geng motor terkuat di Jakarta itu.
“Kak Rey, lu kenapa kak?” tanya salah satu anak buahnya yang juga adik angkatnya, Zio Adiraja — teman dekat Darren.
Rey menghempaskan jaket kulitnya ke meja. “Lu tau nggak? Gue hampir dipukul orang nggak dikenal! Gue curiga itu anak buah geng motor Black Fang! Untung gue bisa ngelak, terus gue balikin keadaan buat ngejar dua orang itu!” ujarnya dengan tatapan tajam.
Zio ikut emosi. “Terus, di mana dua orang baj*ngan itu sekarang?!”
“Akhhh!! Waktu gue ngejar, tiba-tiba lewat tuh cewek sial*n, hampir aja ketabrak!” Rey menghantam meja dengan marah. “Karena dia, anak buah Black Fang itu berhasil kabur!”
Ia mengepalkan tangan. “Gue nggak bakal biarin cewek itu lolos lagi dari gue!” ujarnya penuh amarah sebelum akhirnya keluar dari markas, meninggalkan semua orang dalam diam.
Zio hanya menatap punggung Reyhan yang menjauh. Ia sangat tahu betul bagaimana sifat Reyhan yang pemarah dan mudah tersulut emosi.
“Ngapain lo liatin gue?!” bentak Zio pada anak-anak geng lain. “Cepat cari informasi tentang dua orang yang nyerang Rey! Sekarang juga!”
...****************...
Malam itu, setelah selesai salat Isya, Syahnaz bersiap-siap hendak keluar. Namun hatinya masih sedikit trauma dengan kejadian siang tadi.
“Duh ya Allah… Syahnaz mau beli magic com dan kompor di depan sana, tapi… Syahnaz takut, yaa Rabb,” ucapnya pelan, menatap cermin dengan raut cemas.
Tak lama kemudian, perutnya berbunyi pelan.
“Tuh kan… Syahnaz lapar, belum makan. Cuma sarapan doang tadi pagi,” ujarnya manyun sambil memegang perut.
“Haa! Gimana ini, yaa Allah… Lauk makan Syahnaz banyak, tapi nasinya nggak ada!” rengeknya, duduk lesu di tepi kasur.
Tiba-tiba ponselnya berdering. Ia menatap layar dan mengernyit.
“Hah… nomor siapa ini?” gumamnya, karena dari siang tadi belum membuka WhatsApp. Ia pun menolak panggilan itu dan membuka pesan yang belum dibaca.
Begitu melihat nama pengirim, Syahnaz terkejut.
“Hah… Zio? Ngapain dia nelpon?” ucapnya heran.
Belum sempat ia mengetik balasan, terdengar suara ketukan di pintu.
Syahnaz membuka pelan, dan ternyata seorang perempuan muda berdiri di depan pintu — mungkin tetangga kost-nya.
“Halo, Mbak. Di luar gerbang ada cogan, tuh, nungguin Mbaknya. Kamu namanya Mbak Syahnaz, kan?” tanyanya memastikan.
“Ouhh, iya Mbak, saya Syahnaz. Siapa ya orangnya?” tanya Syahnaz bingung.
“Nggak tahu, mba. Dia cuma bilang lagi nungguin Mbaknya,” jawab gadis itu santai.
“Kalau gitu saya pamit, ya.”
“Eh, Mbak! Makasih ya udah ngasih tahu. Btw, nama Mbaknya siapa?” tanya Syahnaz sambil tersenyum.
“Saya Raya. Salam kenal, Mbak Syahnaz,” ucapnya ramah sebelum pergi.
Setelah itu, Syahnaz buru-buru mengintip ke luar gerbang. Benar saja — Zio sedang duduk di atas motornya, tampak menunggu dari tadi.
Syahnaz mendesah pelan. “Duh… mau ngapain tuh orang?” gumamnya, lalu berjalan menghampiri.
“Assalamu’alaikum… Zio?” ucapnya hati-hati.
Zio pun menoleh. Seketika matanya terdiam beberapa detik, terpesona melihat penampilan Syahnaz malam itu. Gamis hitam polos dan kerudung pashmina hijau tua yang ia kenakan membuat wajahnya terlihat bening bercahaya — tanpa makeup sedikit pun.
“Wah… cantik banget,” gumam Zio tanpa sadar.
“Hei, Zio!?” panggil Syahnaz, membuatnya tersentak. “Ngapain kemari?”
Zio buru-buru mengalihkan pandangan, menatap ke arah lain. “Ouh, gue? Gue diamanahin Darren buat jagain lo di sini, bantuin kalau lo butuh apa-apa… gitu,” ucapnya mencari-cari alasan yang kurang meyakinkan.
“Haa! Gue baru inget, lo kan kerja di sini juga ya?” ucap Zio cepat-cepat menutup rasa gugupnya.
“Iya, buat kerja dan kuliah juga,” jawab Syahnaz malas. “Besok aku udah mulai kerja, kan?”
“Iya, terserah aja sih, selama masih di bawah pengawasan gue,” ujar Zio sambil tersenyum penuh makna.
“Apa’an sih, gaje banget nih orang,” gumam Syahnaz pelan, nyaris tak terdengar.
“Nggak, besok aku udah mulai kerja. Alamatnya di mana?” tanya Syahnaz sambil mengulurkan tangan.
“Ohh, alamatnya? Nih…” Zio tiba-tiba menyerahkan helm ke tangannya.
“Ehh?” Syahnaz kaget menahan helm itu.
“Ikut gue. Lu lapar, kan? Belum makan,” ucap Zio santai.
“Nggak juga,” elak Syahnaz.
“Yaelah, ngelak. Gue tau lu belum makan malam. Ayo naik,” desaknya sambil memakai helm sendiri.
“Eeh, nggak mau. Aku nggak boleh boncengan sama laki-laki kecuali dalam keadaan darurat,” jawab Syahnaz tegas.
Zio tersenyum kecil. “Iya, udah gue tebak bakal nolak,” katanya sambil menghela napas.
“Tuh, lu naik motor Scoopy putih di belakang gue,” lanjutnya sambil menunjuk ke arah parkiran.
Syahnaz menoleh. “Itu? Motor siapa?” tanyanya sedikit kaget.
“Itu motor gue. Lu pakai aja, anggap aja motor sendiri,” ujar Zio sambil menyerahkan kunci.
“Hah? Kok bisa kamu bawa dua motor?” tanya Syahnaz heran.
“Ya bisa lah. Gue suruh anak buah gue,” jawabnya santai, menatap Syahnaz yang masih bengong.
“Udah, buruan naik. Kita makan di restoran tempat lo bakal kerja nanti. Gue yang traktir,” katanya dengan senyum percaya diri.
Syahnaz terkekeh kecil. “Oke, tuan muda kaya raya. Makasih ya bantuannya… dan motornya,” ucapnya sambil tersenyum tipis.
Mereka pun melaju beriringan menuju restoran mewah itu.
Zio sempat melirik ke arah samping saat lampu merah.
“Pantes Darren protektif banget sama cewek ini… orang dia secantik itu, dan se-spesial itu,” gumam Zio pelan sambil terus menatap Syahnaz yang fokus memandangi jalan di depannya.
---
untuk desain Visualnya bagus membuat para pembaca bisa masuk ke alurnya.
Salam literasi.
sambil baca sambil mikir berarti lulus SMAnya umur 17th.