NovelToon NovelToon
Marriage Without Love

Marriage Without Love

Status: tamat
Genre:CEO / Tamat
Popularitas:6.6k
Nilai: 5
Nama Author: Queisha Calandra

Trauma masa lalu, membuat Sean Alarick Aldino enggan mengulangi hal yang dianggapnya sebagai suatu kebodohannya. Karena desakan dari ibundanya yang terus memaksanya untuk menikah dan bahkan berencana menjodohkannya, Sean terpaksa menarik seorang gadis yang tidak lain adalah sekretarisnya dan mengakuinya sebagai calon istri pilihannya.
Di mata Fany, Sean adalah CEO muda dan tampan yang mesum, sehingga ia merasa keberatan untuk pengakuan Sean yang berujung pernikahan dadakan mereka.
Tidak mampu menolak karena sebuah alasan, Fany akhirnya menikah dengan Sean. Meskipun sudah menikah, Fany tetap saja tidak ingin berdekatan dengan Sean selain urusan pekerjaan. Karena trauma di masa lalunya, Sean tidak merasa keberatan dengan keinginan Fany yang tidak ingin berdekatan dengannya.
Bagaimana kisah rumah tangga mereka akan berjalan? Trauma apakah yang membuat Sean menahan diri untuk menjauhi Fany?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Queisha Calandra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Episode 13.

Fanya's pov.

Ini adalah kesempatan bagus untukku. Aku akan segera terbebas dari pernikahan yang tidak pernah kuharapkan ini. Sean telah membuka pintu kebebasan untukku. Jadi, aku akan memanfaatkan kesempatan ini dengan sebaik-baiknya.

Sejak pulang dari rumah sakit kemarin, aku tidak melihat Sean pulang. Tapi, aku lihat mobilnya terparkir di parkiran apartemen. Tapi, kemana Sean? Pintu ruang kerjanya juga tertutup. Apa mungkin Sean ada di dalam sana? Tapi, masa iya dia betah berada di dalam sana selama seharian penuh?

Ah, apa peduliku, siapa tahu dia tidak ada di dalam sana. Melainkan pergi bersenang - senang dengan para wanitanya hingga lupa pulang.

Aku harus melakukan sesuatu untuk mengusir rasa penasaran ku dengan keberadaan Sean. Aku tidak mau memikirkan pria itu lagi. Sudah bagus dia mau melepaskan aku dengan caraku sendiri. Aku harus memanfaatkan kesempatan ini dengan sebaik-baiknya.

Ku putuskan untuk pergi ke kamarku dan merapikan pakaianku yang sudah porak poranda di dalam almari. Mungkin karena selama ini aku terlalu sibuk bekerja, aku jadi tidak memperhatikan barang-barang penting ini. Sungguh sayang jika semua pakaianku harus berserakan begini. Jelas ini bukanlah aku, aku suka pakaianku rapi, jadi aku harus kembali menyetrika nya satu - persatu agar kembali rapi dan pantas dilihat.

Lama-lama, meskipun aku sibuk mengerjakan apapun, aku tetap saja kepikiran oleh Sean. Kemana sebenarnya dia? Apa aku harus melihat nya di ruang kerjanya?

 Bagaimana jika ternyata dia sedang melakukan pekerjaannya di dalam sana? Bagaimana jika ia curiga alasanku melihatnya disana? Ah, pikirkan itu nanti, aku harus lihat dulu apa yang sebenarnya dia lakukan barulah aku menyusun alasan yang tepat untuk menghindar.

Aku keluar dari kamarku, dan mendekat ke pintu ruang kerja Sean. Semua terdengar sangat tenang, seolah tidak ada kegiatan di dalam sana. Apa mungkin Sean masih tidur? Ah, daripada aku terus bertanya - tanya tidak jelas seperti ini, sebaiknya aku lihat langsung saja.

Ku dorong pintu ruangan itu yang ternyata tidak dikunci oleh Sean. Aku bisa dengan mudah membuka pintu itu dan mendapati Sean tengah tertidur dengan pulas di atas sofa dengan wajah pucat. Apa dia sedang sakit? Apa yang terjadi padanya?

Oh tidak, aku tidak mungkin membiarkannya sakit dan apalagi jika sampai sakitnya serius. Jika ia mati, pasti aku juga bisa disalahkan. Aku harus memeriksanya, dan merawatnya sebisaku. Jika terpaksa, aku akan menelfon pihak rumah sakit untuk untuk menjemput Sean menggunakan ambulance.

Punggungku rasanya seperti mau patah setelah aku berhasil memindahkan Sean ke dalam kamar. Untuk sementara ia sakit, biar saja ia tidur di kamar. Anggap saja ini adalah kompensasi untuknya yang sedang sakit. Selain itu, ia juga sudah mendonorkan darahnya untukku, setidaknya biarkan aku membalasnya sedikit.

Demam Sean cukup tinggi, wajar jika saat ini ia belum sadar. Aku akan membuat kompres agar demamnya cepat turun. Setelah itu, baru aku akan membuatkan bubur. Ah, aku sudah seperti seorang ibu-ibu yang sedang merawat bayi tua yang sakit.

Aku terkikik geli setiap kali mengingat bertapa mirisnya aku ini. Aku membencinya, tapi aku malah membantunya. Anggap saja ini adalah amal baik yang kulakukan untuknya sebelum aku meninggalkannya dengan kebebasanku.

Author's pov.

Demam Sean berangsur turun setelah berjam-jam Fany memberikan kompres air hangat di kepalanya. Hari sudah malam, dan Fany benar-benar merasa lelah menjaga Sean seharian.

Fany ingat bahwa di sana hanya ada satu ranjang untuk tidur, dan itupun sudah digunakan oleh Sean. Melihat kondisi Sean saat ini, Fany tidak tega jika harus mengusir pria itu ke ruang kerjanya. Tidur di sofa dengan keadaan seperti itu, sangat tidak nyaman dan bisa menambah penyakit Sean. Dengan sangat terpaksa, Fany memutuskan untuk tidur di samping Sean, ia tidak mau tidur di sofa maupun di lantai, ia sudah pernah mencoba dan hasilnya ia harus merasakan masuk angin dan nyeri dibeberapa anggota tubuhnya. Beruntung ranjang itu cukup lebar, jadi ia tidak perlu khawatir bersentuhan dengan Sean, pria yang ingin ia hindari meskipun tidak tahu apa alasan tepatnya.

Baru saja fany menempelkan kepalanya ke bantal empuknya, ponselnya berbunyi menandakan ada seseorang yang sedang ingin berbicara dengannya. Dengan agak kesal, Fany menjawab telepon dari nomor yang tidak ia kenali.

"Halo?" Sapa Fany dengan nada agak ketus karena ia merasa terganggu dengan orang tersebut, menghubunginya di saat yang kurang tepat.

"Halo, dengan nyonya Naura Fanya? " Suara seorang pria dari seberang sana.

"Ya, benar. Anda siapa?" Tanya Fany agak melembutkan suaranya karena merasa malu pada orang asing yang menelfon nya itu, terlebih pria asing itu mengenalinya.

"Saya Feri Irawan, saya pengacara yang ditugaskan pak Sean untuk membantu Anda." Jawabnya. Fany melirik Sean yang masih tertidur sangat pulas. Fany membatin, ia tidak menyangka bahwa Sean melakukan apa yang sudah ia katakan padanya waktu itu. Ia benar-benar mengirim seorang pengacara untuk mengurus perceraiannya. Fany tentu saja senang. Tapi melihat Sean seperti itu, dan kesungguhan Sean dalam ucapannya membuat Fany merasa iba.

"Maaf, saya belum membutuhkan bantuan dalam bentuk apapun. Saya akan menghubungi anda kembali jika waktunya sudah tepat." Jawab Fany. Benar, Sean sudah baik padanya dengan menutupi kesalahannya di depan kedua orangtuanya dan mertuanya. Selain itu, Sean juga sudah menyelamatkan dirinya. Seharusnya ia bisa memberi kesempatan pada Sean untuk mengambil hatinya, daripada harus berpisah dan membuat banyak hati yang terluka dan kecewa. Tidak dipungkiri lagi pasti kedua keluarga itu akan sangat kecewa dengan keputusannya meninggalkan Sean. Di lain sisi, dulu ia juga sudah berhutang nyawa pada keluarga Sean, jadi mana mungkin ia bisa berbuat hal yang menyakiti Sean lebih dari ini?

"Baiklah kalau begitu." Jawab pengacara itu singkat.

"Selamat malam!" Ucap Fany bermaksud menutup panggilan itu.

"Selamat malam." Jawabnya sebelum panggilan terputus.

Fany mendesah kecil sambil meletakkan kembali ponselnya ke laci meja di dekat tempat tidur. Ia berharap tidak ada lagi yang mengganggunya. Ia butuh tidur sekarang.

Baru saja ia berharap tidak ada yang mengganggunya lagi, saat ia mulai memejamkan matanya, Sean mulai bergerak gelisah dan beberapa detik kemudian, Fany merasakan lengan Sean memeluk pinggangnya seperti guling yang sangat nyaman dipeluk sambil tidur.

Fany hendak membalikkan badannya, tapi pelukan Sean semakin erat seakan ia tidak menginginkan Fany untuk bergerak melepaskan diri. Akhirnya Fany memilih pasrah dan mencoba untuk tidur mengabaikan kondisinya saat ini.

Hembusan nafas hangat Sean menyapu bagian tengkuk lehernya, membuat Fany merinding merasakan desiran hangat nafas Suaminya. Ia agak kegelian dan ingin menghindari Sean. Tapi, sekali lagi Sean merapatkan pelukannya seakan ia tahu bahwa Fany sangat terganggu dengan pelukan itu.

Fany memutar bola matanya kemudian memaksakan dirinya untuk mengacuhkan lagi apa pun yang sedang terjadi. Dan di menit ke empat puluh, barulah Fany bisa memejamkan matanya, saat Sean mengendurkan pelukannya.

..............

Fany terbangun di agak kesiangan, ia juga tidak menemukan Sean memeluknya, tentara Sean juga tidak ada di sampingnya lagi, melainkan di dalam kamar mandi, hal itu diketahui oleh Fany dari suara berisik dari kamar mandi yang ada di sebelah kamar itu.

Fany segera bangun dan pergi ke dapur untuk membuat sarapan. Meskipun sudah cukup siang, ia tetap harus memasak makanan sendiri untuk mengisi perut mereka, terutama Sean. Pria itu masih sakit dan ia perlu makan makanan bergizi. Jika pesan makanan di luar, ia agak tidak percaya masalah kehigienisannya. Jadi ia memastikan semuanya baik-baik saja untuk suaminya.

Begitu membuka kulkas, Fany melihat masih ada beberapa sayuran yang bisa ia gunakan. Ada juga beberapa potong daging ayam. Ia pun berniat membuat sup ayam untuk sarapan. Ia segera mengumpulkan bahan-bahan yang ia butuhkan mulai dari sayuran, wortel, daging ayam hingga bumbu - bumbunya. Saat ia ingin memotong daging ayamnya, karena terlalu bersemangat Fany mendadak memekik kesakitan karena tidak sengaja salah satu hari kirinya teriris dan berdarah.

Sean yang baru saja keluar dari kamar mandi dengan mengenakan handuk yang membalut bagian bawah tubuhnya pun terpancing perhatiannya ke arah Fany. Sean melihat Fany tampak sedang menekan salah satu jarinya. Begitu ia menyadari apa yang sedang terjadi, Sean pun menghampiri Istrinya dan merebut tangan kiri Fany. Tanpa pikir panjang Sean memasukkan jari Fany yang terluka itu ke dalam mulutnya, menghisap darah Fany yang keluar akibat luka sayatan pisau itu.

"Ssst,, sakit Sean." Fany Meringis. Tentu saja tanpa diberitahu, Sean tahu bahwa istrinya itu sedang kesakitan.

"Ini harus segera diobati." Ucap Sean setelah mengeluarkan lagi jari Fany dari mulutnya.

"Ikut aku!" Ucapnya lagi. Seperti terhipnotis, Fany menurut saja tanpa perlawanan.

"Duduklah, dan tunggu sebentar!" Titah Sean lagi meminta Fany duduk di sofa ruang tengah yang biasa ia gunakan untuk menonton Televisi.

Sean masuk ke dalam kamarnya, beberapa detik kemudian, ia keluar dengan kotak obat di tangannya. Seperti orang yang sedang terburu-buru, Sean tergesa-gesa menghampiri Fany dan mengobati luka Fany. Mulai dari membersihkannya, memberi obat, hingga membalutnya dengan perban.

"Sudah. Apa masih sakit?" Tanya Sean setelah selesai memasang perban di jari kecil Fany.

"Masih." Jawab Fany. Tanpa pikir panjang, Sean meraih ponselnya yang kebetulan tertinggal di sofa itu sejak kemarin untuk menghubungi seseorang.

"Hallo, dokter Bima." Sapa Sean melalui ponselnya. Dari sanalah Fany mengerti apa maksud dan tujuan Sean. Ia pun merebut ponsel Sean dan memutus panggilannya.

"Tidak usah, Sean. Aku tidak apa-apa." Kata Fany.

"Tapi, "

"Tidak apa-apa. Aku baik-baik saja." Potong Fany. Sean mendesah, ia mengalah untuk tidak berdebat dengan Fany.

"Kenapa kamu bisa sampai terluka?" Tanya Sean dengan nada khawatir.

"Aku sedang memotong daging ayamnya. Aku tidak sengaja." Jawab Fany.

"Kau mau masak apa?" Tanya Sean.

"Sup ayam." Jawab Fany. Sean tersenyum lembut.

"Kamu duduk disini saja. Biar aku yang masak." Kata Sean.

"Bagaimana mungkin aku akan membiarkanmu memasak? Kau masih sakit Sean." Ujar Fany reflek. Ia tidak sadar bahwa kata - katanya itu bisa saja membuat Sean berfikir bahwa ia sedang menghawatirkan Sean.

"Tidak apa-apa. Memasak bukan pekerjaan yang berat." Kata Sean sambil berdiri.

"Setidaknya pakai dulu bajumu!" Ucap Fany. Sean terkikik. Benar saja, ia sampai lupa bahwa sampai saat ini ia hanya memakai handuk di bagian bawah.

"Maaf, aku lupa. Aku akan segera kembali." Ujar Sean masuk ke dalam kamarnya. seluruh pakaian santai Sean memang masih ada di almari kamarnya, sedangkan baju kerja dan piyama tidurnya sudah berpindah ke ruang kerjanya.

Sean kembali dengan mengenakan celana pendek jeans dan kaus santai, sambil bersiul pelan, ia berjalan menuju ke dapur, melanjutkan apa yang sudah dikerjakan Fany sebelumnya.

Melihat Sean yang sibuk di dapur, sementara dirinya hanya bersantai, membuat Fany tidak tenang dan memutuskan untuk menyusul Sean ke dapur.

"Kamu bisa masak?" Tanya Fany.

"Kau pikir siapa yang memasak saat aku tinggal sendirian disini?" Tanya Sean balik.

"Kau terbiasa pesan makanan." Ujar Fany.

"Hanya saat aku merasa lelah dan bosan memasak. Aku memesan apapun yang bisa cepat sampai." Jawab Sean. Fany mengangguk - angguk. "Kembalilah duduk. Jangan ganggu aku dulu. Aku khawatir jika kau tetap berada disini, aku akan salah memasukkan garam terlalu banyak. " Canda Sean.

"Baiklah." Jawab Fany singkat dan pergi begitu saja. Sean agak kecewa dengan reaksi Fany atas candaannya. Ternyata Fany bukan type wanita yang suka bercanda seperti Arinka. Harusnya ia tahu bahwa mereka adalah orang yang berbeda. Tapi, jujur saja Sean tidak pernah menganggap mereka berdua sama.

........

"Selesai, akhirnya matang juga. Kamu pasti sudah lapar kan?" Ujar Sean sambil meletakkan semangkuk sup ayam ke meja makan. Ia tampak senang bisa membuatkan sarapan untuk Fany meskipun mungkin ini adalah yang pertama dan terakhir kali.

"Harusnya aku yang bertanya seperti itu. Kamu harus segera sarapan! Kamu masih sakit." Ucap Fany. Mendengar dari nada bicara Fany, Sean agak menghangat, mungkinkah Fany sedang mengkhawatirkannya?

"Kalau begitu, kita makan bersama - sama." Ujar Sean bersemangat. Fany mengangguk dan mulai mengambil beberapa nasi ke dalam piringnya. Ia juga mengambil sup ayam buatan Sean.

"Sean." Panggil Fany di antara keheningan, dimana mereka tengah asik melahap menu sarapan pagi mereka tanpa sedikitpun yang bicara.

"Hm?" Sean bergumam pelan menanggapi panggilan Fany.

"Kenapa kamu melakukan ini?" Tanya Fany.

"Apa yang kulakukan?" Tanya Sean tanpa meninggalkan aktivitasnya.

"Kenapa kamu menyelamatkanku?" Tanya Fany.

"Aku tidak melakukan itu." Jawab Sean acuh.

"Kau melakukannya Sean. Kau mengatakan hal sebaliknya di depan ibumu sendiri dan memberikan darahmu padaku. Seharusnya kau biarkan saja aku mati kehabisan darah, dan katakan saja apa yang sebenarnya. Dengan begitu kau tidak perlu menerima tamparan menyakitkan dari seorang ibu." Ucap Fany. Mendengar hal itu, Sean menghentikan aktivitasnya. Ia menatap Fany.

"Kau tahu hal itu?" Tanya Sean, karena seingat Sean saat Keisha menampar pipinya, Fany belum sadar.

"Maaf, waktu itu aku pura-pura belum sadar, karena aku malas melihatmu." Jawaban Fany tentu saja sangat menohok ulu hati Sean. Sampai sebenci itulah Fany terhadapnya?

"Tidak apa-apa. Anggap saja ini adalah ucapan maafku padamu." Jawab Sean kembali memakan makanannya.

"Kau juga sampai menyewa pengacara untukku." Ucap Fany.

"Aku tidak ingin membuatmu kesulitan, setelah aku mempersulit jalan hidupmu." Jawab Sean seperti tidak memikirkannya terlebih dulu sebelum melontarkan kata - katanya.

Belum sempat Fany membuka suaranya kembali, Sean sudah berdiri dan meninggalkan Fany ke ruang kerjanya. Fany mendesah pelan. Mungkin Sean kecewa dengan ucapannya. Tapi, Fany sungguh tidak berniat seperti itu.

............

Bersambung.........

1
Drezzlle
aku mampir nih kak
iqbal nasution
menarrikk
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!