Rania Kirana seorang penjual cilok berprinsip dari kontrakan sederhana, terpaksa menerima tawaran pernikahan kontrak dari Abimana Sanjaya seorang CEO S.T.G. Group yang dingin dan sangat logis.
Syarat Rania hanya satu jaminan perawatan ibunya yang sakit.
Abimana, yang ingin menghindari pernikahan yang diatur keluarganya dan ancaman bisnis, menjadikan Rania 'istri kontrak' dengan batasan ketat, terutama Pasal 7 yaitu tidak ada hubungan fisik atau emosional.
Bagaimana kelanjutannya yukkk Kepoin!!!!
FOLLOW ME :
IG : Lala_Syalala13
FB : Lala Syalala13
FN : Lala_Syalala
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lala_syalala, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PKCD BAB 12_Tatapan Sang Mertua
Bang Jaelani menghela napas panjang, mengangguk. Ia meraih tangan Rania, dan menggenggamnya erat-erat. Genggaman yang hangat, penuh doa, dan perpisahan.
"Abang akan selalu mendoakanmu, Rania. Jaga dirimu baik-baik. Ingat, di mana pun kamu berada, jangan pernah lupakan dirimu yang sekarang. Jadilah bunga padi yang akarnya kuat. Jangan sampai kekayaan mengubah hatimu yang baik," pesan Bang Jaelani, suaranya serak.
Rania tidak bisa menahan air matanya lagi. Ia memeluk Bang Jaelani erat-erat.
"Terima kasih, Bang Jaelani. Rania tidak akan lupa. Abang adalah salah satu alasan kenapa Rania bisa bertahan sejauh ini."
Setelah pelukan singkat itu, Rania melepaskan diri. Ia berbalik, melangkah cepat keluar dari warung kopi, tanpa menoleh lagi.
Ia meninggalkan Warung Kopi Bang Jaelani, ia meninggalkan aroma kopi dan cilok, dan ia meninggalkan Rania Kirana yang lama.
Rania kembali ke mobil Abimana, di mana Rendra sudah menunggunya. Ia duduk di kursi belakang, menangis tanpa suara.
Rendra, yang melihatnya menangis, hanya memberikan tisu dengan tatapan simpati yang tersembunyi.
Setelah beberapa saat, Rania menghapus air matanya. Ia menegakkan punggungnya.
Rania yang menangis sudah mati di Warung Kopi Bang Jaelani. Kini, ia harus menjadi Rania yang baru, Nyonya Abimana Sanjaya.
"Rendra, apa langkah selanjutnya?" tanya Rania, suaranya tegas kembali.
"Langkah selanjutnya adalah menyiapkan Anda untuk bertemu Nyonya Widiastuti Sanjaya, Ibunda Tuan Abimana. Pertemuan ini akan menentukan segalanya, Nyonya. Keluarga Sanjaya dikenal sangat menghargai first impression," jelas Rendra, membalikkan badan ke arah Rania.
"Apa yang harus saya ketahui tentang calon mertua saya?" tanya Rania.
"Nyonya Widiastuti adalah wanita yang sangat berkelas, sangat terpelajar, dan sangat protektif terhadap putranya. Beliau akan mencoba menguji Anda. Tuan Abimana hanya berpesan jadilah dirimu sendiri yang jujur, tetapi dengan tata krama yang sempurna. Tuan Abimana ingin beliau melihat integritas yang membuat Tuan Abimana memilih Anda," ujar Rendra.
Rania mengangguk, integritas itu adalah satu-satunya senjata yang ia miliki di dunia yang penuh kepalsuan ini.
Ia akan memegang teguh kata-katanya. Ia akan menjadi Bunga Padi yang teguh, bahkan di dalam istana kaca Abimana Sanjaya.
Mobil itu melaju meninggalkan gang sempit Karet Kuningan, membawa Rania menuju kehidupan yang sama sekali baru, kehidupan yang akan ia jalani sebagai sandiwara paling berisiko dalam sejarahnya.
Tatapan Sang Mertua
Keesokan harinya, Rania merasa seperti boneka yang sedang dimainkan. Pagi-pagi sekali, ia sudah didandani oleh penata rias profesional.
Ia mengenakan gaun simpel berwarna krem yang mewah namun tidak berlebihan, dan sepatu hak yang membuat langkahnya terasa canggung.
Rambutnya ditata rapi, dan aroma parfum mahal kini menggantikan aroma bawang dan adonan biang.
Rendra mengantar Rania menuju kediaman keluarga Sanjaya. Rumah itu bukan sekadar rumah, melainkan sebuah kompleks megah dengan gerbang besi tinggi, taman terawat, dan pilar-pilar bergaya Eropa klasik.
Jauh berbeda dengan penthouse Abimana yang dingin dan modern, rumah ini terasa kental dengan tradisi dan kekuasaan lama.
Di dalam mobil, Rendra memberikan instruksi terakhir, suaranya pelan dan serius. "Nyonya Widiastuti sangat menghargai tata krama, ketenangan, dan kecerdasan, Nyonya. Hindari berbicara terlalu banyak, tetapi jawablah setiap pertanyaan dengan percaya diri. Ingat, attitude karena anda adalah alasan Tuan Abimana memilih Anda."
"Saya mengerti, Rendra," jawab Rania, menarik napas dalam-dalam. Ia ingat pesan Bang Jaelani yaitu jadilah bunga padi yang akarnya kuat.
Ia harus menunjukkan keteguhan itu hari ini.
Rania memasuki ruang tamu keluarga Sanjaya bersama Abimana.
Pria itu sudah menunggu di pintu masuk dan menyambutnya dengan sentuhan tangan di punggung bawah Rania sebuah sentuhan yang sangat formal dan dingin, tetapi cukup untuk menunjukkan kedekatan palsu mereka di depan Rendra dan staf.
"Tenang. Ingat kesepakatan kita," bisik Abimana singkat saat mereka melangkah masuk.
Ruangan itu didominasi oleh perabotan antik mahal dan lukisan masterpiece.
Di tengah ruangan, duduklah Ny. Widiastuti Sanjaya, wanita paruh baya itu mengenakan dress sutra elegan, dengan perhiasan berlian yang berkilauan.
Wajahnya yang cantik dan terawat memancarkan aura kebangsawanan dan kecerdasan.
Di sampingnya, duduklah Bapak Hardiman Sanjaya, yang tatapannya sama dinginnya dengan putranya.
"Mama, Papa. Perkenalkan, ini Rania Kirana, calon istriku," ucap Abimana, suaranya tenang dan tegas.
Rania segera membungkuk hormat, melakukan gerakan yang ia latih di depan cermin semalam.
"Selamat sore, Tuan dan Nyonya Sanjaya. Senang bertemu dengan Anda." sapa Rania.
Ny. Widiastuti tidak langsung merespons. Ia hanya menatap Rania dari ujung rambut hingga ujung kaki, tatapannya jauh lebih tajam dan mengintimidasi daripada tatapan Bu Wati si tetangga.
Tatapan itu menganalisis setiap detail mulai dari gaun, sepatu, tata rias, hingga cara Rania berdiri.
"Duduklah, Nak," kata Ny. Widiastuti akhirnya, suaranya lembut, tetapi suhunya nol derajat.
Mereka duduk mengelilingi meja kopi antik. Pelayan segera menyajikan teh earl grey yang wangi di cangkir porselen mewah.
Abimana duduk di samping Rania, tetapi tidak ada kehangatan di antara mereka.
"Abi sudah menceritakan keputusannya yang... mendadak ini," ujar Ny. Widiastuti, menekankan kata 'mendadak'.
"Jujur, Mama terkejut. Kami sudah menyiapkan segalanya untukmu dan Amelia. Tiba-tiba kamu membawa seorang gadis yang... tak dikenal."
"Mama, aku sudah jelaskan. Aku memilih Rania karena dia punya integritas yang tidak bisa ditemukan di kalangan sosial kita. Dia adalah wanita yang aku butuhkan," potong Abimana, nadanya sedikit meninggi, membela Rania sesuai perjanjian mereka.
Ny. Widiastuti mengabaikan Abimana. Matanya tetap tertuju pada Rania. "Integritas? Itu kata yang besar, Nak. Dari mana Abi mengenalmu? Apa latar belakang keluargamu? Kenapa kamu bisa meyakinkan putra saya, yang paling logis di dunia ini, untuk mengambil keputusan yang paling tidak logis?"
Pertanyaan-pertanyaan itu datang bertubi-tubi, seperti peluru tajam yang diarahkan ke titik lemah Rania.
Rania menarik napas. Ini adalah saatnya ia harus menjadi jujur tanpa menjadi lemah.
"Tuan Abimana mengenal saya di sebuah warung kopi, Nyonya," jawab Rania, tenang. Ia memilih kata-katanya dengan hati-hati.
"Latar belakang keluarga saya sederhana. Ayah saya sudah meninggal, dan Ibu saya sedang sakit. Saya seorang lulusan SMK Tata Boga, dan pekerjaan terakhir saya adalah menjual makanan keliling." sambungnya.
Pengakuan itu menciptakan keheningan yang tegang. Bapak Hardiman, yang selama ini diam, kini menyipitkan mata. Ny. Widiastuti meletakkan cangkir tehnya dengan bunyi gemerincing yang kecil.
"Menjual makanan keliling?" ulang Ny. Widiastuti, nadanya mengandung sedikit rasa jijik yang ia coba sembunyikan.
"Dan kamu, Abimana, memilih seorang... penjual makanan untuk menjadi Nyonya Sanjaya? Kamu menghina kami, Abi." seru sng mama.
"Mama," Abimana bersiap membela diri, tetapi Rania segera menyentuh lengan Abimana dengan lembut, sebuah sentuhan palsu untuk menenangkan 'suaminya', dan sebuah tanda bahwa ia akan menghadapi ini sendiri.
"Nyonya Sanjaya," kata Rania, pandangannya lurus ke Ny. Widiastuti.
"Saya tidak pernah bermaksud menghina keluarga Anda, atau meremehkan status Anda. Saya tahu, latar belakang saya jauh berbeda. Tetapi jika Tuan Abimana memilih saya, itu karena ia melihat sesuatu yang ia butuhkan, sesuatu yang tidak bisa dibeli dengan kekayaan."
.
.
Cerita Belum Selesai.....
ayak ayak wae...
di tunggu updatenya