#Mertua Julid
Amelia, putri seorang konglomerat, memilih mengikuti kata hatinya dengan menekuni pertanian, hal yang sangat ditentang sang ayah.
Penolakan Amelia terhadap perjodohan yang diatur ayahnya memicu kemarahan sang ayah hingga menantangnya untuk hidup mandiri tanpa embel-embel kekayaan keluarga.
Amelia menerima tantangan itu dan memilih meninggalkan gemerlap dunia mewahnya. Terlunta-lunta tanpa arah, Amelia akhirnya mencari perlindungan pada mantan pengasuhnya di sebuah desa.
Di tengah kesederhanaan desa, Amelia menemukan cinta pada seorang pemuda yang menjadi kepala desa. Namun, kebahagiaannya terancam karena keluarga sang kepala desa yang menganggapnya rendah karena mengira dirinya hanya anak seorang pembantu.
Bagaimanakah Amelia menyikapi semua itu?
Ataukah dia akhirnya melepas impian untuk bersama sang kekasih?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mama Mia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
12. Selendang ajaib
.
Jika saat ini Amelia sedang merintis hidupnya di desa Karangsono, dengan tekad dan semangat yang membara, hal sebaliknya terjadi di rumah keluarga Bramasta. Istana mewah itu terasa semakin sepi dan dingin.
Matahari belum menampakkan diri. Namun, Alexander Bramasta telah terjaga dari tidurnya. Padahal biasanya, pria paruh baya itu akan bangun terlambat jika hari libur. Karena dia tak harus terburu-buru pergi ke perusahaan.
Tangan Alexander meraba sisi kasur di sebelahnya yang ternyata telah kosong. Eliza, istrinya, tak lagi berada di sampingnya.
Alexander menghela napas. Eliza memang selalu bangun pagi, namun, kali ini bangun paginya Eliza terkesan seperti karena ingin menghindarinya. Walaupun sejak dulu Eliza memang terbiasa berada di dapur, membantu para pelayan menyiapkan sarapan untuknya.
Alexander turun dari ranjang dan keluar dari kamar. Ia berjalan menyusuri lorong yang sepi menuju dapur. Dan begitu tiba di dekat dapur, Alexander mendengar percakapan di antara para pelayan.
"Uang belanja kemarin dan catatannya saya taruh di atas kulkas, Nyonya. Tapi jangan kaget, sekarang apa-apa mahal. Sayur mahal, cabe mahal, terong mahal, tomat pun mahal," lapor seorang pelayan yang memang bertugas belanja kebutuhan dapur.
"Dulu waktu non Amelia masih ada di rumah, kita nggak usah susah-susah beli cabe, nggak usah beli bayam. Tinggal metik di rumah kaca milik non Amel." Pelayan lain tiba-tiba menimpali.
“Iya juga, ya," timpal pelayan lain. “Sayangnya sekarang tanaman Non Amel jadi gak terurus. Kemarin aku sirami juga, tapi malah pada tumbang. Aku kan gak tahu gimana ngerawatnya. Daunnya pada mengkeret dan gak mau buah. Tomatnya lagi pada buah, tapi tahu-tahu rontok.”
Eliza yang sedang membantu di dapur untuk menyiapkan masakan khusus suaminya menghentikan gerakannya. Tiba-tiba, suasana di dapur menjadi hening. Eliza meletakkan spatula yang ada di tangannya, mematikan kompor, lalu berbalik dan pergi meninggalkan dapur.
"Ehh, Nyonya, maaf saya..." ucap pelayan itu, merasa bersalah karena tiba-tiba menyebut nama Amelia.
"Kamu sih. Ngapain sih nyebut nama Non Amel?" tegur temannya.
"Aku kan lupa. Aku cuma spontan mengingat, karena kamu bilang apa-apa mahal," jawab wanita itu. “Kamu sendiri juga kenapa bilang tomat rontok?"
"Aku kan spontan karena teringat Non Amel.”
"Ya sama. Aku juga spontan.”
Eliza yang berjalan melihat ada Alexander di sana. Namun, wanita itu hanya diam dan terus melangkah tanpa menghiraukan keberadaan suaminya di tempat itu.
Tangan Alexander terkepal erat. Dadanya terasa sesak mendengar percakapan antar pelayan tentang Amelia.
Alexander menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya kemudian mengikuti langkah istrinya yang sudah bisa dipastikan ingin kembali ke kamar.
Alexander mempercepat langkahnya dan berhasil menyusul Eliza. Ia meraih tangan Eliza dan menghentikan langkahnya.
"Eliza," ucap Alexander, dengan nada lembut. "Tunggu sebentar."
Eliza mengibaskan tangan Alexander dan melanjutkan langkah tanpa memperdulikan teriakan suaminya yang terus memanggilnya.
*
Sesampai di kamar, Alexander melihat Eliza yang duduk terdiam di tepi ranjang dengan wajah ditekuk.
Alexander ikut duduk di sampingnya, berusaha mendekatkan diri kepada istrinya. Namun, Eliza membuang muka, enggan menatap wajah suaminya.
Alexander menghela napas. Ia merasa frustrasi dengan sikap Eliza yang sudah hampir dua bulan mendiamkannya. Eliza memang masih selalu melakukan kewajibannya sebagai seorang istri, melayani dan menyiapkan apapun yang ia butuhkan. Namun, Eliza tak lagi cerewet seperti biasanya. Wanita itu hanya menjawab ketika ditanya.
"Sampai kapan kamu akan bersikap seperti ini padaku, Eliza?" tanya Alexander, dengan nada lelah. Ia sudah tidak tahan lagi dengan sikap dingin Eliza.
“Masa bodo!" Eliza melirik Alexander dengan tatapan sengit, lalu kembali membuang wajah sambil bersedekap. Ia tidak ingin menatap wajah suaminya. Aura permusuhan yang begitu kental.
"Sebenarnya apa yang kau risaukan, Eliza?" tanya Alexander, dengan nada kesal. "Putrimu itu tidak akan kelaparan di luar sana."
Eliza menoleh ke arah Alexander dengan tatapan marah. "Apanya tidak akan kelaparan?" ucap Eliza, dengan suara bergetar karena menahan amarah. "Dia itu baru saja lulus kuliah dan belum memiliki pekerjaan. Apalagi kita tidak tahu dia tinggal di mana. Bagaimana kalau dia kenapa-kenapa?"
Alexander memutar bola matanya malas. Ia merasa Eliza terlalu berlebihan dalam mengkhawatirkan Amelia.
"Dia tidak akan kelaparan!" ucap Alexander, dengan wajah mengejek. "Dia tetap bisa hidup nyaman di luar sana karena dia memiliki selendang ajaib!"
Skak!
Eliza tersentak mendengar ucapan Alexander. "Ap… apa maksudmu?" tanya Eliza, gugup.
Alexander berdecih sinis. "Selendang ajaib ya selendang ajaib. Tidak usah pura-pura tidak tahu. Selendang ajaib yang bisa mengeluarkan perhiasan dan kartu hitam," jawab Alexander, dengan nada mengejek.
Eliza terdiam mendengar ucapan Alexander. Ia memalingkan wajah, tidak mau bertatapan dengan mata suaminya. Dadanya berdegup kencang.
Apakah dirinya ketahuan? Ia teringat sebelum Amelia pergi, ia memang membawakan selendang dan memasukkannya ke dalam koper Amelia. Di dalam selendang itu, ia menyembunyikan kartu ATM-nya dan juga beberapa perhiasan. Jadi, apakah Alexander mengetahui itu semua?
Alexander mendengus kesal, tapi menarik tubuh Eliza ke dalam pelukan. Kali ini Eliza tidak berani melawan. Wanita itu tak berani bergerak sedikitpun.
"Dasar ratu drama," ucap Alexander yang bahkan tahu kalau sebenarnya setiap hari istrinya itu juga berhubungan dengan Amelia lewat telepon.
“Kapan kamu tahu?" tanya Eliza pelan.
“Sejak awal aku sudah tahu. Kamu lupa kalau ponselku terhubung dengan CCTV? Waktu kamu bilang mengambil jaket untuk Amelia aku melihatnya." Alexander semakin mengeratkan pelukannya.
“Kalau aku mau, aku bisa mengambil selendang itu sebelum Amelia pergi," ucap Alexander lirih. "Tapi, aku tidak melakukannya. Karena apa? Tentu saja karena aku juga tidak tega membiarkan Amelia pergi tanpa apapun."
Eliza melirik suaminya dengan tatapan sengit. Kesal pada pria itu, lebih kesal lagi pada dirinya yang lupa bagaimana pintarnya sang suami.
"Tapi…” Eliza merasa cemas. "Mama tidak pernah menerima notif pengeluaran. Apakah jangan-jangan selendang itu hilang?” Eliza membalikkan badan menghadap suaminya.
“Sudah jangan cemaskan apapun. Amelia bukan anak kecil yang tidak bisa apa-apa. Dia itu putri seorang Bramasta.”
Eliza merasa kesal karena Alexander seolah tidak peduli pada putrinya. "Sana pergi! Aku marah padamu!” sentaknya sambil mendorong dada suaminya.
Alexander hanya bisa kembali menghela nafas panjang. Tampaknya akan butuh waktu lama baginya untuk bisa menaklukkan kembali hati Eliza.
bentar lagi nanam padi jg 🥰