NovelToon NovelToon
Sumpah Raja Duri

Sumpah Raja Duri

Status: tamat
Genre:Fantasi Isekai / Mengubah sejarah / Fantasi Wanita / Peramal / Cinta Istana/Kuno / Tamat
Popularitas:1.3k
Nilai: 5
Nama Author: tanty rahayu bahari

Elara, seorang ahli herbal desa dengan sihir kehidupan yang sederhana, tidak pernah menyangka takdirnya akan berakhir di Shadowfall—kerajaan kelabu yang dipimpin oleh raja monster. Sebagai "upeti" terakhir, Elara memiliki satu tugas mustahil: menyembuhkan Raja Kaelen dalam waktu satu bulan, atau mati di tangan sang raja sendiri.
​Kaelen bukan sekadar raja yang dingin; ia adalah tawanan dari kutukan yang perlahan mengubah tubuhnya menjadi batu obsidian dan duri mematikan. Ia telah menutup hatinya, yakin bahwa sentuhannya hanya membawa kematian. Namun, kehadiran Elara yang keras kepala dan penuh cahaya mulai meretakkan dinding pertahanan Kaelen, mengungkap sisi heroik di balik wujud monsternya.


Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon tanty rahayu bahari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 12: Festival Bulan Darah

​Langit di atas Shadowfall tidak pernah benar-benar gelap malam ini. Langit itu berdarah.

​Sekali dalam setahun, bulan purnama berubah warna menjadi merah tembaga pekat—fenomena yang dikenal sebagai Blood Moon atau Bulan Darah. Di kerajaan lain, ini mungkin pertanda buruk. Tapi di Shadowfall, ini adalah hari libur nasional. Hari peringatan bagi para leluhur yang gugur melawan Void.

​Elara berdiri di depan cermin setinggi tubuh di kamarnya. Dia nyaris tidak mengenali pantulan dirinya sendiri.

​Gaun yang disiapkan Nyonya Thorne untuknya berwarna merah tua, semerah darah segar. Bahannya sutra berat yang jatuh memeluk tubuhnya dengan sempurna, dengan potongan leher rendah yang menampilkan tulang selangkanya yang pucat. Lengan gaunnya panjang dan melebar di ujung, seperti sayap kelelawar yang elegan.

​"Jangan banyak bergerak," gerutu Nyonya Thorne, yang sedang menusukkan pin rambut terakhir ke sanggul rumit Elara. "Rambutmu terlalu licin. Susah diatur, sama seperti pemiliknya."

​"Terima kasih atas pujiannya, Nyonya," balas Elara sambil tersenyum miring. Dia sudah terbiasa dengan cara kasih sayang yang aneh dari wanita tua itu.

​"Ini bukan pujian," dengus Nyonya Thorne. Dia mundur selangkah, meneliti hasil karyanya. Matanya yang tajam melembut sedikit. "Kau... lumayan. Setidaknya kau tidak akan mempermalukan Raja di depan para serigala bangsawan itu."

​"Serigala?"

​"Para bangsawan Shadowfall," jelas Nyonya Thorne sambil membereskan kotak perhiasannya. "Mereka datang malam ini. Duke Vane dan kroni-kroninya. Mereka akan menilaimu. Mencari kelemahanmu. Mencari alasan untuk menyingkirkanmu."

​Nyonya Thorne menatap mata Elara lewat cermin.

​"Tegakkan kepalamu. Jangan biarkan mereka melihatmu gemetar. Kau bukan lagi gadis desa pemetik bunga. Malam ini, kau adalah pendamping Raja."

​Pintu diketuk.

​"Masuk," kata Nyonya Thorne.

​Pintu terbuka, dan Kaelen melangkah masuk.

​Napas Elara tercekat.

​Jika Elara terlihat seperti mawar merah, Kaelen adalah malam itu sendiri. Dia mengenakan pakaian formal kerajaan—jubah hitam legam dengan sulaman perak di pinggirannya, dipadu dengan kemeja sutra hitam berkerah tinggi. Sebuah mahkota perak tipis melingkar di kepalanya, sederhana namun memancarkan otoritas mutlak.

​Dia tidak berusaha menyembunyikan sisi monsternya. Sebaliknya, zirah upacaranya dirancang untuk mengakomodasi duri-duri kristal di bahu kanannya. Wajah batunya yang retak terkena bias cahaya merah dari jendela, membuatnya terlihat buas sekaligus agung.

​Kaelen berhenti di tengah ruangan saat melihat Elara. Langkahnya terhenti total. Mata heterokromianya—satu abu-abu, satu merah—melebar sedikit. Dia menatap Elara dari ujung sepatu hingga ke hiasan rambut, seolah dia sedang melihat hantu yang cantik.

​"Wow," kata Kaelen, satu kata yang lolos tanpa filter.

​Pipi Elara memanas. "Apakah... apakah ini terlalu berlebihan?"

​Kaelen berdeham keras, mendapatkan kembali ketenangannya. "Tidak. Warnanya... cocok. Merah adalah warna peringatan di sini."

​Dia mengulurkan tangan kirinya yang terbungkus sarung tangan kulit hitam.

​"Ayo. Musik sudah dimulai. Kita tidak bisa terlambat untuk pembukaan."

​Elara menyambut tangan itu.

​Grand Ballroom istana telah disulap. Ribuan lilin merah menyala di lampu gantung kristal, menciptakan suasana remang-remang yang misterius. Ratusan bangsawan mengenakan topeng dan pakaian mewah memenuhi ruangan, berbisik-bisik di balik kipas bulu mereka.

​Saat pintu utama dibuka dan penyiar istana meneriakkan nama Raja, seluruh ruangan hening.

​"Yang Mulia Raja Kaelen Draven... dan Nona Elara Vance."

​Kaelen menuntun Elara menuruni tangga marmer. Ratusan pasang mata menatap mereka. Elara bisa merasakan tatapan itu menusuk kulitnya—tatapan penasaran, tatapan jijik, tatapan iri.

​Mereka melihat Raja Monster mereka membawa seorang gadis manusia biasa. Gadis yang dirumorkan telah menyelamatkannya di medan perang.

​"Jangan lihat mereka," bisik Kaelen di telinga Elara, suaranya rendah dan menenangkan. "Lihat aku saja."

​Mereka sampai di lantai dansa. Kerumunan membelah seperti Laut Merah, memberi ruang lingkaran kosong di tengah.

​Musik orkestra dimulai. Sebuah waltz lambat dengan nada cello yang dominan, melankolis namun bertenaga.

​"Berdansalah denganku," kata Kaelen. Itu bukan pertanyaan.

​Dia meletakkan tangan kirinya di pinggang Elara, menariknya mendekat. Tangan kanannya—tangan batu itu—menggenggam tangan kanan Elara dengan sangat hati-hati, seolah takut meremukkannya.

​Mereka mulai bergerak.

​Satu, dua, tiga. Satu, dua, tiga.

​Elara terkejut. Dia mengira berdansa dengan pria yang tubuhnya setengah batu akan terasa kaku dan canggung. Tapi Kaelen bergerak dengan keanggunan yang mematikan. Dia memimpin dengan percaya diri, tubuhnya mengalir mengikuti musik.

​"Saya tidak tahu Anda bisa menari," bisik Elara, mendongak menatap wajah Kaelen.

​"Pendidikan pangeran," jawab Kaelen datar, matanya tidak lepas dari wajah Elara. "Sebelum aku menjadi monster, aku dipaksa menghabiskan lima jam seminggu untuk belajar langkah-langkah bodoh ini."

​"Tidak bodoh," kata Elara. "Ini indah."

​"Kau yang membuatnya indah," balas Kaelen pelan.

​Elara nyaris tersandung kakinya sendiri mendengar itu. Kaelen menyeringai tipis, menangkap pinggangnya lebih erat untuk menyeimbangkannya.

​"Hati-hati, Gadis Herbal. Jangan pingsan di sini."

​Mereka berputar di lantai dansa. Gaun merah Elara mengembang saat mereka berputar, menciptakan kontras yang menyolok dengan jubah hitam Kaelen. Di bawah sinar bulan merah yang menembus jendela kaca patri, mereka tampak seperti lukisan hidup tentang Beauty and the Beast.

​Namun, momen magis itu tidak bertahan selamanya.

​Saat musik melambat, Elara melihat sosok yang familiar berdiri di pinggir kerumunan. Duke Vane.

​Dia tidak memakai topeng. Dia mengenakan setelan ungu dan emas yang mencolok, memegang gelas anggur, dan tersenyum—senyum ular yang sama seperti di taman waktu itu. Di sampingnya berdiri seorang wanita bangsawan cantik berambut pirang pucat, Lady Seraphina, putri seorang Marquess berpengaruh.

​Vane mengangkat gelasnya ke arah Kaelen, sebuah penghormatan yang mengejek.

​Lagu berakhir. Tepuk tangan sopan terdengar di seluruh ruangan.

​Sebelum Kaelen bisa membawa Elara pergi dari tengah lantai dansa, Duke Vane sudah melangkah maju.

​"Keponakanku!" seru Vane, suaranya cukup keras untuk didengar separuh ruangan. "Tarian yang memukau. Sungguh kejutan melihatmu bisa... bergerak seluwes itu, mengingat kondisi 'beban' di bahumu."

​Vane menatap bahu berduri Kaelen, lalu beralih menatap Elara dengan tatapan merendahkan.

​"Dan ini pasti Nona Elara," lanjut Vane. Dia mengambil tangan Elara dan mencium punggung tangannya—ciuman basah yang membuat Elara ingin mencuci tangannya dengan air mendidih. "Pahlawan kecil kita. Kudengar kau melakukan keajaiban di medan perang."

​"Dia melakukan apa yang harus dilakukan," potong Kaelen dingin, menarik Elara kembali ke sisinya. "Apa maumu, Paman?"

​"Hanya ingin menyapa," Vane tersenyum lebar. "Dan mungkin... meminjam Nona Elara untuk satu tarian? Kurasa rakyat ingin melihat pahlawan mereka berdansa dengan calon pemimpin masa depan, bukan?"

​Itu adalah penghinaan terbuka. Vane secara implisit menyebut dirinya sebagai calon pemimpin masa depan.

​Kaelen geram. Suara geraman rendah terdengar dari dadanya. Duri-duri di bahunya bergetar, memanjang sedikit karena emosinya yang tidak stabil. Udara di sekitar mereka menjadi dingin seketika.

​"Dia tidak berdansa dengan orang lain," kata Kaelen, suaranya bergema dengan kekuatan Alpha. "Dia datang bersamaku. Dia berdansa denganku. Dia milikku."

​Seluruh ruangan tersentak kaget mendengar klaim kepemilikan yang begitu terang-terangan.

​Vane mengangkat alis, tampak senang berhasil memancing emosi Kaelen. "Posesif sekali. Hati-hati, Kaelen. Bunga yang digenggam terlalu erat akan layu."

​"Dan tangan yang mencoba mencuri bunga itu akan kupotong," balas Kaelen.

​Mata merah Kaelen menyala terang. Retakan di wajah batunya memancarkan cahaya magma. Dia maju selangkah ke arah Vane.

​Elara merasakan bahaya. Jika Kaelen menyerang Vane di sini, di depan semua bangsawan, itu akan menjadi bencana politik. Vane akan punya alasan untuk menyebut Raja gila dan berbahaya.

​Elara menyentuh dada Kaelen dengan lembut. Tepat di atas jantungnya.

​"Kaelen," panggilnya lembut.

​Sentuhan itu menghentikan Kaelen. Dia menunduk, menatap tangan kecil di dadanya, lalu menatap mata Elara.

​"Saya lelah," kata Elara, berbohong. "Sepatu ini membunuh kaki saya. Bisakah kita mencari udara segar?"

​Kaelen menatap Elara, lalu menatap Vane yang masih tersenyum licik. Perlahan, api kemarahan di mata Kaelen meredup. Dia menarik napas panjang, mengendalikan dirinya.

​"Tentu," kata Kaelen.

​Dia menatap Vane dengan tatapan yang menjanjikan kematian di lain waktu. "Nikmati pestanya, Paman. Selama kau masih bisa."

​Kaelen memeluk pinggang Elara protektif dan membawanya keluar dari ballroom, menuju balkon istana.

​Udara malam di balkon terasa dingin dan segar, jauh dari bau parfum menyengat dan kemunafikan di dalam sana.

​Kaelen melepaskan pelukannya, berjalan ke pagar batu, mencengkeramnya hingga batu itu retak.

​"Maaf," katanya kasar.

​Elara berdiri di sampingnya, menatap bulan merah di langit. "Untuk apa?"

​"Aku hampir kehilangan kendali. Vane... dia tahu tombol mana yang harus ditekan."

​"Dia sengaja memprovokasi Anda," kata Elara. "Dia ingin Anda terlihat seperti monster di depan rakyat."

​"Dan aku memang monster," desis Kaelen pahit. "Kau dengar apa yang kukatakan tadi? 'Dia milikku'. Seolah kau adalah barang. Maafkan aku, Elara. Itu... itu bukan hakku bicara begitu."

​Elara menoleh, menatap profil samping wajah Kaelen. Cahaya bulan merah membuat wajah manusianya terlihat tampan dan tragis.

​"Bagaimana jika saya tidak keberatan?" tanya Elara pelan.

​Kaelen menoleh cepat. "Apa?"

​Elara melangkah mendekat, mempersempit jarak di antara mereka. Angin menerbangkan rambutnya.

​"Bagaimana jika saya tidak keberatan menjadi milik Anda, Kaelen? Setidaknya untuk malam ini?"

​Kaelen terdiam. Dia menatap bibir Elara, lalu matanya. Ada kerinduan yang menyiksa di sana. Kerinduan untuk menyentuh, untuk memiliki, tapi ditahan oleh ketakutan akan menyakiti.

​"Kau bermain api, Elara," bisik Kaelen, suaranya serak.

​"Saya sudah bilang," Elara tersenyum tipis, meletakkan tangannya di atas tangan batu Kaelen yang ada di pagar. Dia tidak takut lagi. "Saya suka api."

​Kaelen tidak tahan lagi.

​Dia mengangkat tangan manusianya, menangkup pipi Elara, dan menunduk.

​Ciuman itu tidak terjadi.

​Belum.

​Tepat sebelum bibir mereka bersentuhan, suara ledakan kembang api terdengar dari alun-alun kota di bawah sana. Cahaya warna-warni meledak di langit, menerangi wajah mereka yang hanya berjarak satu inchi.

​Kaelen menarik diri sedikit, napasnya memburu. Momen itu pecah, tapi ketegangannya tetap ada. Listrik statis di antara mereka begitu kuat hingga rasanya bisa menyalakan lampu seluruh istana.

​"Kita harus masuk," kata Kaelen, suaranya parau. "Sebelum aku melakukan sesuatu yang akan kusesali... atau tidak kusesali."

​Elara mengangguk, wajahnya merona merah. Dia tahu apa yang hampir terjadi. Dan dia tahu, dia menginginkannya.

​Mereka kembali ke dalam, tapi sesuatu telah berubah malam itu. Di bawah Bulan Darah, batas antara Raja dan Tabib telah kabur. Dan di sudut ruangan, Duke Vane mengamati mereka pergi dengan gelas anggur di tangan, matanya menyipit penuh perhitungan.

​"Nikmati cinta monyet kalian," gumam Vane pelan. "Karena sebentar lagi, musim dingin akan datang."

​BERSAMBUNG....

Terima kasih telah membaca 💞

Jangan lupa bantu like komen dan share❣️

1
Alona Luna
wahhh akhirnya happy ending ☺️
Alona Luna: wahhhh ok. baik
total 2 replies
Alona Luna
semangat next kak☺️
Alona Luna: sama-sama kak.☺️
total 2 replies
Alona Luna
next kak.. makin seru ceritanya
Ara putri
semangat kak, jgn lupa mampir juga keceritaku PENJELAJAH WAKTU HIDUP DIZAMAN AJAIB
tanty rahayu: semangat juga ya ka.... wah kayanya seru tuh 😍nanti aku mampir baca ya
total 1 replies
Alona Luna
ceritanya bagus kak. next
Alona Luna: aku tunggu kak☺️
total 2 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!