Alena Prameswari percaya bahwa cinta bisa mengubah segalanya.
Tapi setelah tiga tahun menikah dengan Arga Mahendra, ia sadar bahwa kesetiaan tak akan berarti bila hanya satu pihak yang berjuang.
Saat pengkhianatan terbongkar, Alena memilih pergi. Ia menerima proyek desain di Dubai... tempat baru, awal baru.
Tanpa disangka pertemuan profesional dengan seorang pangeran muda, Fadil Al-Rashid, membuka lembaran hidup yang tak pernah ia bayangkan.
Fadil bukan hanya pria miliarder yang memujanya dengan segala kemewahan,
tetapi juga sosok yang menghargai luka-luka kecil yang dulu diabaikan.
Namun cinta baru tak selalu mudah.
Ada jarak budaya, gengsi, dan masa lalu yang belum benar-benar selesai. Tapi kali ini, Alena tak lari. Ia berdiri untuk dirinya sendiri... dan untuk cinta yang lebih sehat.
Akankah akhirnya Alena bisa bahagia?
Kisah ini adalah journey untuk wanita yang tersakiti...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rere ernie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter — 12.
Seminggu berlalu, proyek The Oasis Resort berjalan lancar. Alena kini jauh lebih cerah, bahkan Noura, sahabatnya di toko bunga menyadarinya.
“Wajahmu bercahaya, Alena,” godanya sambil menyusun rangkaian mawar putih. “Jangan bilang kau sedang jatuh cinta?”
Alena terkekeh. “Aku tidak tahu. Mungkin... aku sedang jatuh cinta dengan hidupku sendiri.”
“Tapi hidupmu itu termasuk seseorang, kan?”
Alena pura-pura sibuk membantu, meskipun tiba-tiba saja wajah Fadil terbayang. “Aku tidak akan menjawab itu.”
Namun malamnya saat ia duduk di balkon apartemennya, pikiran tentang Fadil datang lagi. Dari cara pria itu mendengarkannya, dan menghargai. Bukan perasaan yang berapi-api seperti dulu dengan Arga, tapi kali ini hangat dan tenang... seperti angin gurun malam yang lembut.
Tiba-tiba ponselnya berbunyi, pesan dari Fadil. [Langit malam ini indah. Tapi kurasa, senyum seseorang di bawahnya lebih indah lagi. Itu... senyuman mu.]
Alena tersenyum tanpa sadar. Ia menatap langit, bintang-bintang bertebaran memantulkan cahaya di matanya. Mungkin, cinta yang datang setelah luka tak perlu diumumkan dengan janji dan kata-kata. Cukup hadir, pelan, dengan kesabaran dan rasa hormat.
Dan, kini Alena sadar. Hidupnya tidak lagi berhenti di masa lalu, ia sudah benar-benar berjalan menuju sesuatu yang baru. Dan mungkin... menuju cinta yang tulus.
Alena merasakan ketenangan aneh yang menelusup ke dalam dadanya, seperti saat seseorang akhirnya menutup pintu yang seharusnya ditutup sejak lama.
Keesokan harinya, Alena pergi lebih pagi ke kantor.
Ia melangkah menuju ruang kerjanya di lantai atas. Di meja, sudah ada tumpukan blueprint yang menunggu direvisi, dan di pojok layar komputernya — nama Fadil Al-Rashid muncul dalam pesan internal kantor.
'Meeting at 10. Don’t forget the sketches you showed me last night. They’re brilliant.’
Alena tersenyum tipis.
Mereka membahas desain istana selama hampir dua jam, tapi yang terasa bukan sekadar diskusi kerja.
Setiap kali Alena menjelaskan idenya, Fadil memperhatikan dengan tatapan yang tidak mengintimidasi — melainkan mengagumi.
Pria itu mendengarkan, tidak memotong... tidak meremehkan, seperti Arga.
Siang menjelang, Fadil mengajak tim makan siang di restoran rooftop. Udara hangat gurun bertiup pelan, dan pemandangan laut menambah kesan damai.
Saat semua orang sibuk mengobrol, Alena sempat melirik ponselnya.
Satu pesan baru dari nomor Indonesia lagi.
Arga : [Aku ke Dubai beberapa hari lagi, saat itu... bisa kita bertemu?]
Tubuh Alena seketika menegang, tapi matanya tetap tenang. Alena menatap layar beberapa detik, lalu menekan tombol delete message.
Tanpa balasan, tanpa penjelasan.
Fadil yang duduk di sebelahnya sempat memperhatikan perubahan kecil di wajahnya.
“Bad news?” tanyanya pelan, nada suaranya lembut tapi penuh perhatian.
Alena tersenyum tipis. “Hanya... sesuatu dari masa lalu, aku baik-baik saja.“
Fadil menatap Alena sejenak. “Jika itu dari masa lalu, mungkin seharusnya biarkan saja tetap di sana.“
Alena mengangguk.
Malam harinya, Alena kembali ke apartemen. Kota di bawah sana berkilau seperti lautan bintang yang tumpah di bumi.
Ia membuka laptop, menyelesaikan beberapa revisi lalu berhenti sejenak menatap foto-foto dari proyek bersama Fadil.
Ada tawanya di sana, tawa yang alami bukan yang dipaksakan seperti dulu ketika ia berusaha terlihat baik-baik saja di depan Arga.
Ia memejamkan mata dan menarik napas pelan. “Terima kasih, Tuhan. Mungkin aku memang harus tersesat dulu... untuk tahu arah yang benar.”
Keesokan harinya, Fadil mengetuk pintu ruangannya di perusahaan.
Pria itu membawa dua gelas kopi arabic latte. “For you... you always drink too much black coffee.”
Alena tertawa kecil. “You noticed that?”
“Of course,” jawab Fadil, matanya menatap dengan kejujuran yang sulit dihindari. “Aku memperhatikan banyak hal... tentangmu.“
Ada sesuatu di dalam hati Alena yang bergetar, bukan seperti cinta yang meledak tiba-tiba. Tapi seperti matahari pagi yang pelan-pelan menghangatkan, setelah malam panjang yang dingin.
Sore hari, kantor sudah mulai lengang karena sebagian besar karyawan bersiap menikmati akhir pekan. Namun Alena masih duduk di ruangannya, menatap layar komputer dengan fokus yang agak berlebihan.
Ia sedang menggambar sketsa-sketsa untuk istana, jemarinya lincah tapi matanya mulai lelah.
Pintu kaca diketuk pelan.
“May I?” Suara itu lembut, rendah, dengan aksen Timur Tengah yang khas.
Alena menoleh dan mendapati pria itu berdiri di ambang pintu, membawa dua cangkir kopi — yang menjadi kebiasaan. Ia juga membawa sesuatu yang tampak seperti kotak kecil dari kayu.
“Kamu masih kerja?” tanya Fadil sambil tersenyum dari ambang pintu.
Alena menatap jam di dinding. “Astaga, sudah hampir jam tujuh? Aku nggak sadar.”
Fadil berjalan masuk, meletakkan dua cangkir di atas meja. “Kopi untukmu, dan… ini.”
Ia menyerahkan kotak kayu itu.
Alena membuka perlahan, dan menemukan set kecil berisi kurma premium yang dibalut cokelat.
“Ini dari Ibuku, biasanya disajikan di jamuan keluarga. Aku ingin kamu mencobanya...”
“Terima kasih, ini kelihatan mahal sekali.“ Ujar Alena sambil tertawa kecil.
Fadil ikut tertawa. “Mahal kalau dimakan sendirian, tapi kalau dinikmati bersama... rasanya lebih berharga.”
Ada cara tertentu Fadil bicara, tidak menggoda tapi menenangkan.
Alena menyeruput kopi dan menatap Fadil dengan rasa ingin tahu. “Kamu sering kasih orang hadiah kayak gini?”
“Tidak,” jawabnya jujur. “Aku tidak suka memberi hadiah kalau tak punya makna. Tapi kamu... aku rasa kamu pantas menerimanya.”
Wajah Alena memanas sedikit, ia menunduk.
Kaya Jailangkung aja, datang tak dijemput pulang tak diantar /Facepalm/
Karena dianggap Lady Diana sering melanggar aturan selama menjadi istrinya Pangeran Charles...