Febi begitu terpukul, saat tahu anak kembarnya bukan anak suaminya. Dia diceraikan paksa oleh keluarga Michael.
Di tengah keputusasaan Febi, ada hal lebih mengejutkan bahwa seorang dokter yang adalah kenalannya memberitahu kalau sang anak menderita penyakit yang sulit sekali didiagnosis.
Dunia Febi begitu gelap, dia ingin menceritakan bahwa anak geniusnya ternyata menderita penyakit langka kepada Michael agar juga membatalkan proses perceraiannya. Dia begitu sulit menghadapi hidup berat ini sendirian.
Jordan Reyes melihat dua anak Febi yang pintar. Dia mendengar cerita dari Adam mengenai kesusahan yang dihadapi Febi selama ini, termasuk soal perceraian.
Jordan mendapati Febi menangis di rumah sakit bahwa mungkin Adam takkan terselamatkan. Secara diam-diam Jordan bermaksud menjadi pendonor demi kesembuhan Adam.
Kemana cerita ini berakhir? Ayuk baca!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon As Cempreng, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 12 : Malaikat Keci di tengah Nestapa
Hasil tes awal menunjukkan bahwa jumlah trombosit Adam ada di angka 16. Tingkat yang normal adalah antara 150 dan 400. Itu berarti darah Adam tidak dapat menggumpal, dan membuat Adam berisiko mengalami pendarahan internal yang bisa berakibat fatal.
Keesokan paginya, jumlah trombosit Adam turun menjadi '1'. Hati Adm mati, dan limpa Adam membesar.
"Kumohon sambungkan dengan Mike!" Kristal-kristal air mata membasahi pipi Febi. Dia berteriak pada ponselnya, tetapi lalu telepon itu mati.
Diabaikan pandangan semua orang yang tengah antri mendaftar ke poli. Ya, dia kini di depan kantor administrasi. Security perempuan datang merangkul dan mengarahkan keluar dari ruangan.
Kini di lobi, Febi berusaha menelpon ayahnya dan tak kunjung dijawab. Dunianya terasa terguncang. Tidak ada yang ada di sisinya dengan kerelaan hati.
Febi mencoba pergi ke kantor Mike, dengan hanya memakai pakaian sederhana dan selop. Namun, dia diusir security.
Kemudian Febi pergi ke kantor ayahnya, security bilang ayahnya sedang keluar kota. Perempuan itu tidak percaya dan memaksa masuk, tetapi semua orang mengatakan hal sama dan dia tidak menjumpai ayah.
Lantas Febi pergi ke rumah masa kecilnya dan berulangkali menekan bel, bahkan security yang biasa di pos, kini tidak ada. Di akhir keputusannya, Febi pergi ke rumah sang mertua dan di terima di terima, dengan cukup lama menunggu di ruang tamu.
"Ma, Adam sakit, hatinya mati dan limpanya membesar," kata Febi memelas setelah sang mama mertua duduk.
"Lalu apa?" Andien yang sangat sakit hati, sebenarnya malas untuk mendengarnya.
"Febi hanya ingin berbicara dengan Michael, Mah, tolong," suara Febi dengan keputusasaan.
Melihat mata Febi yang merah dan kelopak mata bengkak yang menyedihkan, dia jadi mau tak mau harus bersuara. "Percuma kamu menemuinya. Besok dia terbang ke Jerman , bersama mantannya, loh."
"Ini tidak benar, kan, Mah?" Kening Febi mengkerut.
Memangnya apa yang kau harapkan? Aku hanya ingin memberitahumu. Jika kau tidak keluar dalam waktu lima hari, maka semua barang-barangmu akan dibereskan oleh orangku. Lalu apabila ada barang-barang milikmu, maka kami akan mengirimkan ke rumah orang tuamu. Ups, lupa! Kamu juga diusir dari rumah, ya, Kan?"
"Mah, kalau sudah tahu begitu dan tahu, Febi sedang mengurus Adam yang sakit. Apakah tidak bisa Febi minta kelonggaran dan ijinkan kami tinggal di sana untuk satu bulan ke depan?"
"Rumah itu telah disewakan, dan akan ditempati orang lain."
"Kalau begitu Febi yang akan menyewanya." Febi tak ingin menambah kesedihan Mia dengan pindah dari sana.
"Tidak bisa."
Febi mengerutkan bibir, padahal ada haknya di rumah itu, karena dia patungan dengan Mike, tetapi mengatakan ini pada Andien adalah seperti percuma.
"Jadi, memasuki hari ke 5 dan saat hari mulai gelap, kamu tidak bisa memasukinya lagi. Maka dari itu, secepatnya pindahkan barang-barang kalian. " Andien berdiri dan meninggalkan ruang tamu.
Sekeras apapun Febi berteriak, sia-sia usahanya. Energinya habis melawan dua penjaga yang menghalanginya.
Langkah terasa berat, mengemudi mobil di kemacetan dan jam istirahat semakin membuat kepalanya berdenyut. Diraih biskuit untuk menahan perut yang melilit dan belum sarapan.
Dia melirik ke pinggir jalan. Anak-anak SMP tertawa gembira sambil mengerumuni penjual jajan. Adam harus sembuh! Aku ingin melihatnya tumbuh dewasa dan semangat seperti mereka!
Kini dia tidak tahu harus menelpon siapa lagi, dari kemarin Oki sudah banyak dimintai tolong. Dia selalu menitipkan Mia pada Oki setiap Febi di rumah sakit.
Perempuan itu menyembunyikan kesedihan saat mengajar dan berusaha tersenyum. Namun, Tasya terus menyindirnya dengan nyinyiran.
"Mengurus anak sendiri nggak becus, eh mau mengajar," kata Tasya dengan nada sinis saat di ruang guru.
Febi menahan tangan Oki di sampingnya, yang akan bangkit. Dia menggelengkan kepala. "Biarkan saja."
Memang betul apa yang dikatakan Tasya. Jika aku lebih perhatian mungkin hati Adam tidak sampai mati. Batin Febi mengembuskan napas kasar. Dia jadi teringat pada perkataan security di rumah mertua, saat dia akan keluar dari pelataran.
"Mba Febby, tadi ibu berpesan, katanya Mbak bisa menemui Den Mike besok, di bandara jam 11."
*
Di bandara Febi membawa Mia, dia mendapat ijin kepala sekolah untuk menemui ayah sang anak. Di ujung ruang tunggu, Febi makin melambat saat melihat Mike tengah berbicara dengan orang yang dibilang ibu mertua adalah 'mantan'.
"Papa!"
Febi menganga dan memandang anaknya yang terlepas dari pegangan. Dia melihat ke arah Mike yang kebingungan, apalagi saat Mia memeluk kaki Mike.
Febi berlari dengan ngos-ngosan dengan mendapat tatapan tidak suka dari perempuan di samping Mike.
"Papa, Mia mau gendong! Mia kangen Papa!" Entah sejak kapan mata gadis kecil itu sudah merah dan terus mengeluarkan air mata, tetapi Mike tetap diam saja.
"Mas .... "Febi menatap sendu pada tatapan Mike yang kini seperti tidak suka.
"Baguslah, kamu datang." Mike membuka tas punggung yang dicantolkan di koper, lalu menyerahkan sebuah map berlogo pengadilan agama. "Kita resmi cerai," suara Mike terdengar sinis membuat hati Febi bergetar.
Febi menerima map. Matanya menangkap senyuman perempuan di depannya.
""Papa tidak boleh bercerai! Papa tidak boleh tinggal di tempat yang jauh dari Mama!" tangis Mia pecah. Dia kini tahu apa kata cerai seperti apa yang pernah dijelaskan oleh Nenek Martha.
Febi berjongkok, menahan kristal-kristal bening yang mengaburkan pandangan. "Ayo, Mia, pulang," suara Febi terseret. Dia berusaha melepas pelukan Mia dari paha Mike.
"Pantas mereka tak mirip, denganku, ya?" Mike mengembuskan napas berat dan berbalik meninggalkan Febi.
Febi menahan tangan Mia yang memukul tidak terkendali ke wajah dan kepalanya. Bahkan, jari mungil itu bisa mencengkeram lengannya sampai sakit. Febi berbalik dan kelimpungan menangani sang putri dan menyebabkan mapnya jatuh.
Dengan hati nelangsa, Febi berjongkok dengan sepatu hak pantofel. Mia memeluk erat lehernya dan wajah basah panas itu terbenam di ceruk lehernya dengan sesenggukan.
Setetes embun bening melesak keluar dan terjatuh ke map yang baru diambilnya. Dengan gemetar, Feby berdiri, mulai melewati orang-orang yang menontonnya.
Di dalam mobil, tangan Febi gemetaran saat memegangi stir dalam menahan kemarahan. Dia pikir bisa memberi tahu soal sakit yang dialami Adam, sehingga dia mendapat kerelaan hati Mike agar mau memaafkannya lalu Mike mau menjenguk Adam.
Nyatanya, dia harus menerima kenyataan pahat ini. Pada akte perceraian di atas dashboard.
Kakinya loyo, dia takut tidak bisa mengontrol injakan gas, atau rem. Sampai suara ketukan di kaca mengejutkannya. Diturunkan kaca jendela.
"Hi maaf, saya melihat dari tadi sepertinya anda sedang tidak baik-baik saja?" William melihat wanita itu yang mengelap pipi dengan tisu, lalu wanita itu berdeham.
"Sepertinya, anda tidak kuat mengemudi." William masih sedikit membungkuk dan wanita itu seperti melihat jas dan jam mahalnya.
Biasanya, perempuan matre akan menilai dari jam mahalnya. Namun sekarang William tidak berniat merayu, walau saat melihat map pengadilan agama, dia tahu artinya wanita itu kini single. Ya dia pernah bercerai, jadi tak asing dengan map itu
"Aku tidak apa-apa, terimakasih."
"Oke, kalau begitu hati-hati." William kembali tegak berdiri. Lalu menunjuk ke depan pada mobil mewah Buggati kuning. "Itu mobilku."
Alis febi terangkat, dia mengangguk dengan menyalahkan mesin.
"Hati-hati di jalan, aku akan mengikuti Anda dari belakang. Kalau butuh bantuan, berhenti dan katakan saja. Kita bisa berteman."
Febi melihat kepergian pria itu, dia melirik putrinya yang masih sesenggukan, tengah menatapnya dengan wajah terluka.
Mobil merah Ferarri GTO dan mobil milik William meninggalkan bandara, membuat orang-orang bandara yang melihatnya iri. Beberapa perempuan yang melihat Febi di dekatii pria bermobil mewah merasa sangat iri.
"Mama, berhenti .... " suara unyu Mia membuat Febi memelankan mobilnya dan berhenti setelah jalan sekitar 500 meter. Dia mengelus pipi sang putri. "Kenapa?"
"Buka pintunya, Mama!"
Febi turun dari mobil dan membukakan pintu dari samping. Anaknya turun dengan wajah cemberut. Setelah melihat anaknya memutarinya. Dia memperhatikan gerakan gadis kecil itu, yang menarik tangkai demi tangkai bunga di pinggir jalan. Lalu, dikumpulkan dalam genggaman tangan mungil.
Febi memilih diam, asal putrinya tak lagi rewel. Sampai anaknya mengulurkan bunga ungu dan pink.
"Ini untuk Mama tersayang. Kalau Mama terima ini Mama tidak boleh sedih." Mia terdengar memaksa cekikikan. "Bunganya mengandung sihir cinta Mia. Mulai sekarang Mia juga berjanji tidak akan menangis lagi sebagai hadih untuk Mama. Apa Mama suka hadia dari Mia?"
Bibir Febi mengkerut dan lantas berjongkok. Dia tersentil pada sisi positif dari malaikat kecilnya, setelah di bandara tadi sang putri memukuli wajahnya karena meminta agar dia mengejar Mike.
Dengan sukacita Febi merengkuh anaknya yang masih polos dan berusaha menghibur sang mama walau dia tahu tatapan terluka sang putri dari mata biru itu.
"Pemandangan luar biasa apa ini?" William terpukau saat mobil berhenti dari jarak 60 meter di belakang Ferrari merah. Dia mengambil ponsel dan merekam dalam mode zoom, tampa si ibu mengelus rambut keriting dari sang anak dengan terus mengecupinya.
"Dia sekaya apa, sampai bisa memiliki mobil senilai 690 miliar, itu harga satu dekade lalu." Samuel berkomentar. "Bodoh sekali lelaki yang sudah menyia-nyiakan perempuan ini hanya karena perempuan lain."
"Berisik, aku tengah merekamnya!" William dengan kesal, tetapi lalu kembali tertawa.
setiap kalimat mudah di pahami sukses ya kak