Dikhianati sahabat itu adalah hal yang paling menyakitkan. Arunika mengalaminya,ia terbangun di kamar hotel dan mendapati dirinya sudah tidak suci lagi. Dalam keadaan tidak sadar kesuciannya direnggut paksa oleh seorang pria yang arunika sendiri tak tahu siapa..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon EkaYan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hampir Saja
Langkah Arunika terasa lebih ringan saat meninggalkan rumah sakit, meskipun pikirannya masih berkecamuk. Informasi dari Bu Amel memberinya secercah harapan, namun bayangan masa depan yang penuh ketidakpastian kembali menghantuinya saat ia kembali ke kamar kost.
Yuli menyambutnya dengan tatapan penuh tanya.
"Gimana, Nika? Dari klinik?"
Arunika hanya mengangguk lemah, enggan menceritakan detail pertemuannya di rumah sakit. Ia belum siap berbagi beban ini dengan Yuli atau teman-teman lainnya. Rasa malu dan takut akan penghakiman masih terlalu besar. Hanya Arsen yang tahu kehamilannya, dan itupun karena laki-laki itu tanpa sengaja memergokinya saat sedang tidak enak badan beberapa waktu lalu.
"Kamu pucat banget, Nika. Beneran nggak mau dikerokin?" tanya Yuli lagi dengan nada khawatir.
"Nggak usah, Yul. Aku cuma kecapekan," jawab Arunika sambil memaksakan senyum. Ia segera merebahkan diri di kasur, memunggungi Yuli agar air matanya tidak terlihat.
Dalam hati, Arunika bertekad untuk segera menghubungi Roy. Meskipun kecil kemungkinannya, ia masih berharap pria itu akan berubah pikiran dan bersedia bertanggung jawab. Ia tidak ingin mengambil keputusan besar seperti adopsi tanpa memberi Roy kesempatan terakhir.
Hari-hari berlalu dengan lambat dan penuh kecemasan yang menyesakkan. Perut Arunika mulai terasa sedikit mengembang, meskipun masih bisa ia samarkan dengan pakaian longgar yang biasa ia kenakan.
Namun, ia tahu betul, waktu terus berjalan dan ia tidak bisa terus menyembunyikan kehamilannya lebih lama lagi. Keputusan besar harus segera diambil.
Hari ini sudah genap satu minggu sejak Arunika memberanikan diri datang ke Blue Moon Cafe and Resto. Kali ini, dalam benaknya tertanam tekad yang membaja: ia harus bertemu dengan Roy, apa pun yang terjadi. Jika ia kembali gagal menemui pria itu, ia tidak akan ragu untuk meminta alamat rumahnya kepada pelayan kafe. Ia akan mendatangi Roy langsung ke kediamannya, meskipun ia sama sekali tidak tahu bagaimana rupa ayah dari calon bayinya itu.
Bayangan wajah pria itu masih buram dalam ingatannya, tertutup oleh kabut malam dan kepanikan yang melandanya waktu itu.
Dengan langkah yang lebih mantap meskipun hatinya tetap berdebar kencang, Arunika kembali menginjakkan kaki di Blue Moon Cafe yang tampak lebih ramai dari terakhir kali ia datang. Matanya menyapu setiap sudut ruangan, mencari sosok pelayan wanita yang dulu melayaninya. Ia menemukan wanita itu sedang membersihkan meja di dekat jendela.
"Mbak, permisi. Saya yang waktu itu nanyain Pak Roy...!" sapa Arunika dengan nada sedikit meninggi agar terdengar di tengah riuhnya suara pengunjung.
Pelayan itu menoleh, mengerutkan kening sejenak sebelum akhirnya mengenali wajah Arunika. "Oh, iya, Mbak. Ada yang bisa saya bantu?" tanyanya dengan senyum ramah seperti biasanya.
"Saya bisa ketemu sama Pak Roy sekarang?" tanya Arunika langsung pada intinya, tanpa basa-basi.
Pelayan itu tampak sedikit ragu. "Mbak tunggu dulu ya, saya kasih tahu Mas Roy dulu. Namanya Mbak siapa?"
"Arunika. Panggil saja Nika," jawab Arunika dengan sabar, meskipun dalam hatinya ia berharap tidak akan ada penolakan lagi.
"Oh iya, tunggu sebentar ya, Mbak Nika. Saya ke ruangan Mas Roy dulu," ujar pelayan itu sebelum berbalik dan berjalan menuju pintu di ujung ruangan yang ia yakini adalah ruang kerja manajer kafe itu. Arunika menarik napas dalam-dalam, mencoba meredakan debaran jantungnya yang kembali tak terkendali. Ia berharap, kali ini usahanya akan membuahkan hasil.
Di ruang kerjanya yang terasa sedikit pengap meskipun pendingin ruangan bekerja maksimal, Roy yang tengah berkutat dengan laporan keuangan mendengar suara ketukan halus di pintu.
"Masuk," sahutnya tanpa mengalihkan pandangannya dari layar komputer.
Pintu terbuka perlahan, dan seorang pelayan wanita yang ia kenali sebagai Dinda masuk ke dalam ruangan. Wajah Dinda tampak sedikit ragu.
"Mas, ada yang mau ketemu Mas Roy," ujar Dinda dengan nada sopan.
Roy akhirnya mendongak, alisnya bertaut. "Siapa, Din?" tanyanya, mencoba mengingat apakah ada janji temu yang ia lewatkan.
"Namanya Arunika, Mas. Sudah sejak minggu lalu dia mencari Mas Roy. Waktu itu Mas Roy lagi cuti," jelas Dinda, memberikan informasi yang membuat Roy semakin mengerutkan kening.
Arunika? Nama itu terasa asing di telinganya. Ia mencoba memutar kembali memori beberapa minggu ke belakang, berusaha keras mengingat apakah ia memiliki kenalan atau teman bernama Arunika.
Semakin ia mencoba mengingat, semakin pikirannya terasa buntu, kosong tanpa ada satu pun wajah atau kejadian yang terlintas.
"Suruh dia masuk," putus Roy akhirnya, rasa penasaran bercampur dengan sedikit keheranan mengalahkan keengganannya untuk diganggu.
"Baik, Mas," jawab Dinda singkat, lalu berbalik keluar ruangan untuk menyampaikan perintah Roy.
Roy menghela napas, meletakkan penanya di atas meja. Ia memperbaiki posisi duduknya, menatap pintu dengan tatapan menyelidik.
Siapa wanita ini? Apa keperluannya mencarinya hingga bersikeras datang lagi setelah ia tidak ada? Perasaannya bercampur antara ingin tahu dan waspada. Ia tidak suka dengan kejutan, apalagi yang datang tiba-tiba dan tanpa pemberitahuan yang jelas. Ia menunggu dengan jantung yang tiba-tiba berdebar sedikit lebih cepat dari biasanya.
Tak lama kemudian, pintu kembali terbuka, dan seorang wanita berdiri di ambang pintu. Inilah Arunika.
Arunika melangkah masuk ke dalam ruangan itu dengan langkah yang mantap, meskipun jauh di lubuk hatinya ia merasa gugup. Di balik meja kerja yang tampak rapi, duduk seorang pria muda.
Usianya mungkin baru menginjak pertengahan dua puluhan, jauh dari bayangan pria paruh baya yang sempat terlintas di benaknya sebagai ayah dari bayi yang dikandungnya. Ia menatap pria itu dengan tatapan lurus, berusaha menyembunyikan keterkejutannya.
"Saya datang kemari untuk meminta pertanggungjawaban Anda," ucap Arunika dengan suara yang tenang namun tegas, memecah keheningan yang sempat tercipta.
Pria muda itu, yang tak lain adalah Roy, menatap Arunika dengan dahi berkerut, tampak bingung.
"Pertanggungjawaban apa? Maaf, Mbak, tapi rasanya saya baru bertemu Anda sekarang."
"Saya hamil," jawab Arunika, menatap Roy tanpa gentar, "dan bayi ini adalah anak Anda." Arunika mengeluarkan bukti pemeriksaan kandungan.
Roy tertawa sinis, menggelengkan kepalanya tak percaya. "Jangan asal bicara ya, Mbak. Saya ini sudah punya istri, jadi mana mungkin saya punya anak dengan Mbak yang baru saya lihat ini." Nada bicaranya mulai meninggi, menunjukkan ketidaknyamanan dan penolakan.
Amarah Arunika tersulut mendengar ucapan sinis dan penyangkalan mentah-mentah itu. "Dasar brengsek! Tidak mau mengaku, hah?! Dua bulan yang lalu, Paradise Hotel kamar 207 direservasi atas nama Anda, bukan?"
Mendengar ucapan Arunika yang menyebut Paradise Hotel dan nomor kamar 207, Roy terdiam membeku. Wajahnya yang semula menyangkal kini pucat pasi.
Keringat dingin mulai membasahi pelipisnya. Ia mencoba keras mengingat malam itu, sebuah malam yang selama ini berusaha ia kubur dalam-dalam.
Flashback
Malam itu, di tengah kesibukannya memeriksa jadwal karyawan, ponsel Roy berdering. Nama Pram, sahabat sekaligus atasannya, tertera di layar. Dengan malas, Roy mengangkat panggilan itu.
"Roy... siapin 'cewek' buat gue... inget, lu tahu kan kriteria gue," suara Pram terdengar serak di ujung telepon, sarat akan perintah yang biasa ia lontarkan.
Roy menghela napas. "Iya, Bos..." jawabnya singkat, merasa muak dengan permintaan rutin ini. Sebagai orang kepercayaan Pram, ia seringkali menjadi perantara untuk urusan-urusan pribadi bosnya yang satu ini, termasuk menyediakan wanita untuk teman kencannya.
Setelah sambungan telepon terputus, Roy segera menghubungi Mami Santi, seorang mucikari yang biasa menyediakan wanita-wanita muda sesuai pesanan.
Nomor Mami Santi sudah tersimpan rapi di kontaknya.
"Mami... siapin cewek buat bos gue..." ujar Roy begitu panggilannya tersambung.
"Kebenaran ada barang baru nih, Mas Roy," jawab Mami Santi dengan nada menggoda.
"Terserah lo deh, Mi. Intinya lu udah tahu kan kriteria cewek buat bos gue," Roy menjawab acuh tak acuh. Ia sudah terlalu sering berurusan dengan Mami Santi hingga tak lagi tertarik dengan detail "barang baru" yang ditawarkannya.
"Iya, Mas Roy... tenang aja, yang kali ini tidak akan mengecewakan," balas Mami Santi penuh keyakinan.
"Ya udah... nanti kalo gue udah booking kamar, gue kirimin nama hotel sama nomor kamarnya," kata Roy, mengakhiri percakapan.
"Sip, Bos... jangan lupa ditransfer dulu," sahut Mami Santi, tak pernah melewatkan kesempatan untuk menagih bayaran.
Roy mendengus pelan. "Otak lo duit mulu," gumamnya sebelum memutuskan sambungan.
Ia kemudian memesan kamar di Paradise Hotel atas namanya, sesuai dengan instruksi bosnya. Setelah mendapatkan konfirmasi kamar nomor 207, ia mengirimkan detail tersebut kepada Mami Santi, lengkap dengan uang muka yang diminta.
Ia tidak pernah menyangka, malam itu akan menjadi awal dari masalah besar yang kini berdiri di hadapannya.
Kembali ke ruang kerja Roy, Arunika menatap pria itu dengan sorot mata penuh tuntutan.
Keheningan yang tercipta terasa begitu tebal dan mencekam. Roy masih berusaha mencerna ucapan Arunika dan kilasan memori yang tiba-tiba menyeruak dalam benaknya. Malam itu... ya, malam itu Pram memang memesan seorang wanita, dan ia yang mengurus semuanya. Tapi... bagaimana bisa wanita di hadapannya ini...?