Demi meraih mimpinya menjadi arsitek, Bunga, 18 tahun, terpaksa menyetujui pernikahan kontrak dengan pria yang ia anggap sebagai kakaknya sendiri. Mereka setuju untuk hidup sebagai "teman serumah" selama empat tahun, namun perjanjian logis mereka mulai goyah saat kebiasaan dan perhatian tulus menumbuhkan cinta yang tak pernah mereka rencanakan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Faza Hira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 09 (Part 2)
Bunga berjalan menjauh dari meja itu, kakinya terasa seperti jeli. Vina langsung merangkulnya.
"Gila, Bunga! Gila!" bisik Vina heboh. "Itu tadi Kak Reza! Presiden BEM Fakultas! Ya ampun, dia prince charming banget, gila! Kamu diselamatin! Terus kamu diajak ketemuan di sekre BEM! Aaa! Beruntung banget!"
Bunga tidak bisa memproses apa yang Vina katakan. Jantungnya masih berdebar kencang. Setengah karena malu, setengah lagi... karena Kak Reza.
Dia menoleh ke belakang. Kak Reza sedang bicara dengan panitia lain, tertawa ringan.
Dia... baik banget, batin Bunga.
Di tengah hari terburuknya, seorang pahlawan tak terduga muncul. Dan Bunga tidak sabar menunggu jam empat sore.
Sisa hari OSPEK adalah kabut. Bunga mendengarkan materi kebangsaan, materi tentang SKS, dan pengenalan dosen. Tapi pikirannya terus melayang ke dua hal: insiden "Status: Kawin" yang memalukan, dan Kak Reza yang menolongnya.
Pukul empat sore, acara hari pertama selesai.
"Bunga, lo mau ke sekre BEM, kan?" tanya Vina. "Gue temenin, ya?"
"Eh, nggak usah, Vin. Ngerepotin," kata Bunga.
"Nggak apa-apa! Sekalian gue mau lihat Kak Reza dari dekat!"
Bunga akhirnya setuju. Mereka berjalan ke Gedung Student Center. Sekretariat BEM ada di lantai dua, sebuah ruangan besar yang berantakan tapi penuh aktivitas.
Reza ada di sana, sedang bicara serius dengan beberapa senior lain di depan laptop.
"Permisi... Kak Reza?" panggil Bunga ragu.
Reza mendongak. Senyumnya langsung terkembang saat melihat Bunga. "Ah, Melati. Sini, masuk."
Bunga dan Vina masuk. Reza mempersilakan Bunga duduk di kursi di depan komputernya.
"Gimana hari pertamanya? Selain insiden tadi pagi?" tanyanya ramah.
"Capek, Kak. Tapi seru," jawab Bunga malu-malu.
"Baguslah." Reza mengetik sesuatu di komputernya. Ia membuka portal administrasi mahasiswa. "Oke, coba kita lihat. Melati Bunga Yasmin... Nggak usah khawatir, ini saya bantu urus. Yang penting sekarang kamu fokus dulu sama OSPEK-nya. Jangan sampai kepikiran."
"Makasih banyak ya, Kak. Tadi Bunga malu banget."
"Santai aja," kata Reza sambil tertawa kecil. "Kak Dito emang gitu orangnya. Dia butuh kopi." Ia menatap Bunga. "Kamu anak Arsitektur, ya? Jurusan yang berat tuh. Tapi kelihatannya kamu pintar."
Wajah Bunga memerah. "Belum tahu, Kak."
"Pasti bisa," kata Reza. "Oke, ini datanya sudah saya submit untuk revisi. Nggak usah khawatir, ya. Besok-besok kalau ada masalah lagi, cari aja saya. Siap?"
"Siap, Kak."
"Bagus. Sudah sore. Kalian pulang gih. Besok jangan sampai telat," kata Reza, mengakhiri pertemuan itu.
Bunga dan Vina pamit. Sepanjang jalan ke stasiun, Vina tidak berhenti bicara tentang betapa sempurnanya Kak Reza. Bunga hanya tersenyum. Hatinya berbunga-bunga.
Perjalanan pulang di KRL sama padatnya. Tapi kali ini, Bunga menghadapinya sendirian. Tidak ada Arga yang melindunginya. Ia tergencet di antara ibu-ibu yang membawa belanjaan dan bapak-bapak yang bau keringat. Ia merasa lelah, kotor, dan rindu 'benteng manusia'-nya tadi pagi.
Saat ia tiba di apartemen pukul setengah enam, unit itu sepi dan gelap. Arga belum pulang.
Ada sedikit rasa kecewa di hatinya.
Ia mandi, membersihkan diri dari keriuhan hari pertamanya. Ia berganti pakaian dengan daster batik nyaman yang dibawakan Ibunya. Ia duduk di meja belajarnya, mencoba membaca materi untuk besok, tapi pikirannya kosong.
Pukul tujuh malam, ia mendengar suara pintu depan dibuka. Cklek.
Jantungnya berdebar. Arga pulang.
Ia buru-buru keluar kamar. Arga berdiri di dekat pintu, tampak sangat lelah. Ia sedang melonggarkan dasinya, kemeja birunya sudah sedikit kusut.
"Mas Arga baru pulang?" sapa Bunga.
"Iya. Rapatnya molor," kata Arga. Ia meletakkan tas kerjanya di lantai. "Gimana hari pertamamu? Lancar?"
Bunga terdiam. Haruskah ia menceritakannya? Tentang statusnya? Tentang Kak Dito? Tentang... Kak Reza? Perjanjian mereka adalah tentang privasi. Tapi ini... ini masalah yang menyangkut pernikahan mereka.
"Lancar, Mas. Capek banget," katanya, memilih jawaban aman.
Arga menatapnya. Ia berhenti melonggarkan dasinya. Tatapan matanya tajam. Ia bisa membaca Bunga seperti buku terbuka.
"Cuma capek? Nggak ada drama?" tanyanya.
Bunga menghela napas. Ia tidak bisa berbohong. "Tadi... ada masalah, Mas."
Arga langsung fokus. "Masalah apa?"
"Waktu... waktu registrasi data. Di berkas Bunga..."
"Kenapa?"
"Statusnya... ketahuan."
Arga membeku. "Status apa?"
"Status 'Kawin'," cicit Bunga. "Kayaknya data KTP Bunga langsung sinkron ke data universitas."
Ekspresi Arga langsung mengeras. Wajahnya yang lelah kini terlihat tegang. "Apa? Terus? Kamu digimanain sama seniornya?" Suaranya rendah dan tajam.
"Dibentak-bentak, Mas. Di depan antrean. Dibilang malsuin data, dibilang main rumah-rumahan. Malu banget. Dilihatin semua orang," Bunga menunduk, mengingat kembali rasa malunya.
Tangan Arga yang sedang memegang dasi terkepal erat. Rahangnya mengeras. "Sial," desisnya. Ia tidak marah pada Bunga. Ia marah pada dirinya sendiri. "Mas lupa total soal itu. Harusnya Mas urus dari kemarin. Harusnya Mas yang urus administrasi kamu."
Ia menatap Bunga. "Kamu nangis?"
"Nggak, sih. Hampir," aku Bunga. "Tapi... tapi Bunga ditolongin."
Alis Arga terangkat. "Ditolongin? Sama siapa?"
"Sama Kak Reza. Dia kayaknya Presiden BEM Fakultas. Dia baik banget, Mas," kata Bunga, nada suaranya tanpa sadar berubah antusias. "Dia bilang ke senior yang galak itu kalau datanya typo sistem. Dia bohong demi Bunga. Terus dia yang mau urusin ke rektorat. Bunga disuruh nemuin dia tadi sore di sekre BEM."
Arga terdiam. Ketegangannya tidak luntur, tapi berubah. Dari marah pada diri sendiri, menjadi sesuatu yang lain. Sesuatu yang dingin dan tidak bisa dibaca.
"Kak Reza?" ulangnya pelan, seakan sedang mencerna nama itu.
"Iya. Tadi Bunga sudah ketemu dia. Dia bilang datanya sudah dia submit untuk revisi. Dia baik banget, Mas. Kalau nggak ada dia, Bunga nggak tahu deh gimana."
Arga akhirnya selesai melepas dasinya. Ia melipat dasi itu dengan gerakan yang sangat hati-hati. Terlalu hati-hati.
"Baguslah kalau ada yang bantu," katanya, suaranya datar. Sangat datar. "Tapi besok, nggak usah temui dia lagi."
Bunga kaget. Ia mendongak. "Lho? Kenapa, Mas? Kan... Bunga nggak disuruh nemuin lagi, sih. Tapi..."
"Urusan administrasi itu," kata Arga, "biar Mas yang urus."
"Tapi Kak Reza bilang sudah di-submit..."
"Biar Mas yang pastikan," potong Arga. "Mas arsitek, Bunga. Jaringan alumni Mas kuat. Mas punya kenalan langsung di bagian tata usaha universitas itu. Biar Mas yang telepon mereka besok pagi."
Nadanya final. Tidak dingin, tapi penuh otoritas yang tidak bisa dibantah.
"Urusan administrasi sensitif kayak gini," lanjut Arga sambil berjalan ke kulkas, "biar orang dewasa yang selesaikan. Kamu fokus aja sama OSPEK-mu."
"Tapi Kak Reza kan udah nawarin bantuan, Mas. Dia juga orang dewasa..."
"Mas bilang, Mas yang urus."
Dua kalimat itu mengakhiri diskusi. Arga membuka kulkas dan meneguk air dingin langsung dari botolnya, punggungnya menghadap Bunga. Bahunya terlihat kaku.
"Kamu sudah makan?" tanyanya, masih membelakangi.
"Belum. Nunggu Mas."
Arga menghela napas panjang. Ketegangan di bahunya sedikit luntur. Ia berbalik. "Ya sudah. Mas mandi dulu. Habis itu kita pesan mi ayam. Jangan pikirin soal administrasi lagi. Itu urusan Mas."
"Tapi, Mas..."
"Urusan. Mas."
Arga berjalan melewatinya, masuk ke kamarnya. Pintu kamarnya tertutup. Cklek.
Bunga berdiri sendirian di dapur. Ia bingung. Di satu sisi, ia merasa sangat lega. Mas Arga yang perkasa akan turun tangan. Masalahnya pasti beres.
Tapi di sisi lain... ia merasa sedikit kecewa. Ia ingin berterima kasih lagi pada Kak Reza. Dan ia tidak bisa mengabaikan nada aneh di suara Arga tadi. Itu bukan nada 'kakak' yang logis dan protektif seperti biasanya. Itu... sesuatu yang lain. Sesuatu yang terasa seperti... cemburu?
Bunga menggelengkan kepalanya. Nggak mungkin.
Mas Arga cemburu? Karena Kak Reza? Itu adalah ide paling konyol yang pernah ia pikirkan. Mas Arga adalah kakaknya. Dan suaminya di atas kertas. Perjanjian mereka jelas.
Bunga mendesah. Hari pertamanya kuliah ternyata jauh lebih rumit dari yang ia bayangkan.