NovelToon NovelToon
Beautifully Hurt

Beautifully Hurt

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Cinta Seiring Waktu / Nikahmuda / Nikah Kontrak / Tamat
Popularitas:8.5k
Nilai: 5
Nama Author: PrettyDucki

Narendra (35) menikah untuk membersihkan nama. Adinda (21) menikah untuk memenuhi kewajiban. Tidak ada yang berencana jatuh cinta.

Dinda tahu pernikahannya dengan Rendra hanya transaksi. Sebuah kesepakatan untuk menyelamatkan reputasi pria konglomerat yang rusak itu dan melunasi hutang budi keluarganya. Rendra adalah pria problematik dengan citra buruk. Dinda adalah boneka yang dipoles untuk pencitraan.

Tapi di balik pintu tertutup, di antara kemewahan yang membius dan keintiman yang memabukkan, batas antara kepentingan dan kedekatan mulai kabur. Dinda perlahan tersesat dalam permainan kuasa Rendra. Menemukan kelembutan di sela sisi kejamnya, dan merasakan sesuatu yang berbahaya dan mulai tumbuh : 'cinta'.

Ketika rahasia masa lalu yang kelam dan kontrak pernikahan yang menghianati terungkap, Dinda harus memilih. Tetap bertahan dalam pelukan pria yang mencintainya dengan cara yang rusak, atau menyelamatkan diri dari bayang-bayang keluarga yang beracun.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon PrettyDucki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Dominasi (21+)

Begitu tiba di Velmore, penthouse terasa lengang karena Rahma dan Deka sudah pulang. Sunyi itu sempat memberi Dinda rasa lega, seolah ia baru lolos dari tekanan rumah Brata. Namun cepat ia tersadar, yang menunggunya di sini bukanlah rumah, melainkan arena dingin lain.

Tanpa buang waktu, Dinda memilih mengalihkan perasaan itu dengan membereskan barangnya di lantai dua, sementara Rendra mandi di kamar utama.

Lantai dua terasa hening. Di sebelah kanan, ada sebuah ruang kaca dengan alat-alat gym tersusun rapi. Di tengah berdiri ring tinju kecil berdinding tali.

Dua pintu lainnya tertutup. Dinda membuka pintu pertama dan melihat barang-barangnya tersusun di lantai kamar. Masih di dalam kardus yang tadi diambilnya dari rumah.

Dinda menggulung rambutnya ke atas dan mulai membongkar isi kardus lalu menyusunnya.

Tiba-tiba ia teringat, ia perlu menanyakan pendapat Bima soal framing media untuk skripsinya. Dinda mengambil wireless earphone dari pouch dan menelepon sambil tetap merapikan barang.

"Mas, sibuk nggak? Mau tanya opini untuk Bab 2." katanya begitu telepon diangkat.

"Nggak kok. Gimana?" suara Bima terdengar santai.

"Soal framing media pemilu yang aku bahas. Menurutku framing mereka lebih condong ke kandidat tertentu. Tapi aku bingung, aku bisa sebut itu bias nggak ya? Atau cukup aku bilang ada preferensi editorial?"

"Bias kesannya judgmental, Din. Preferensi editorial lebih netral. Tapi nanti kamu bisa tantang pembaca untuk mikir, preferensi ini kebetulan atau sistematis. Lebih subtle kan? Tapi tetap kritis."

"Ah iya, masuk akal. Makasih Mas." Dinda tersenyum sambil mencatat, "Gini nih enaknya punya dospem sepupu sendiri, bisa ditanya kapan aja." ledeknya.

Bima tertawa, "Nepotisme nih kamu."

"Enak aja! Aku ikut prosedur kok."

Mereka tertawa bersamaan.

Percakapan lalu melenceng ke hal-hal ringan. Gosip kampus, cerita lucu Noora (sepupu ABG mereka) yang baru punya pacar, sampai keluhan Bima soal mahasiswa yang suka terlambat submit tugas.

Sampai tiba-tiba seseorang mencium tengkuknya dari belakang. Aroma sabun mandi Rendra melingkupi udara di sekitarnya. Bima masih bicara di seberang, tapi fokus Dinda langsung beralih.

Rendra meremas bokongnya, lalu merangkul pinggul dan meletakkan dagu di bahunya. Tangan pria itu bergerak turun ke arah yang jelas tidak tepat untuk momen ini, menyusup ke balik celana dalamnya dan bergerak naik turun perlahan.

Dinda menahan napas. Tubuhnya sudah bereaksi. Terlalu cepat, terlalu jujur. Gerakan Rendra pelan dan terlatih, seolah tau persis titik mana yang bisa membuat istrinya merespons.

Kini pikiran Dinda terpecah. Panggilan telepon masih terhubung, sementara situasi ini membuatnya bingung dan tidak punya ruang untuk menolak dengan jelas.

Dinda menggigit bibir bawahnya menahan suara yang mungkin ia timbulkan. Punggungnya melengkung, satu tangan mencengkeram meja untuk bertahan. Napasnya mulai tidak teratur, dan dari sela giginya, suara itu akhirnya lolos begitu saja.

"Masss--" desahnya.

Bima langsung diam di seberang. Dinda manarik keluar tangan Rendra, berbalik, dan mendorongnya menjauh.

"Din?" Panggil Bima.

Rendra menyeringai samar, "Sayang, kamu ngapain di sini?" Suaranya cukup keras untuk bisa didengar Bima.

Dinda mencoba mengatur napas kemudian bicara pada Bima, "Maaf Mas, udah dulu ya."

"Kenapa? Kamu nggak apa-apa kan?" Bima terdengar khawatir.

Namun Dinda langsung mengakhiri panggilan, "Bye, Mas Bima." Ucapnya sambil menutup telepon.

Dinda menghembuskan napas keras dan bersungut-sungut. Ia melepas earphone lalu meletakkannya sembarangan di atas meja.

"Sorry, aku nggak tau kamu lagi telepon." Kata Rendra tanpa rasa bersalah sama sekali.

"Kamu ini ngaco deh!" Dinda menatapnya tajam.

Ia jelas kesal. Bukan karena sentuhannya, tapi karena Rendra baru saja membuatnya canggung di hadapan Bima. Tidak bisakah ia membaca situasi?

Kemudian Dinda mengambil napas panjang dan kembali mengurusi barang-barang. Mengambil bingkai kecil berisi foto keluarga, kemudian meletakkannya di atas meja.

"Kamu umur berapa ini?"

"Sepuluh tahun kayaknya." Dinda ikut memandangi foto masa kecilnya sambil berusaha menetralkan rasa kesal pada Rendra.

"Cantik." Sudut bibir pria itu terangkat.

"Aku sama sekali nggak lihat ada foto di sini." Dinda melirik.

"Aku nggak suka foto-foto."

"Foto keluarga?" Kali ini Dinda menoleh.

"Nggak punya."

"Kenapa?" Tanya Dinda lagi. Ia hanya ingin tau lebih banyak soal Rendra. Keluarganya, kehidupannya, semuanya.

"Nggak ada momennya aja."

"Kamu deket nggak Mas sama Papa?" Dinda masih berusaha. Ia memang penasaran. Mengingat betapa dinginnya interaksi Rendra dan Brata saat makan malam tadi.

"Nggak terlalu. Dari umur tujuh aku pindah ke Jerman, ketemu papa cuma setahun sekali waktu summer. Kuliah dan magang di Amerika, jadi baru menetap di sini di umur dua puluh lima. Susah bangun kedekatan di usia itu."

"Sama Mama kamu gimana?"

Dinda bisa melihat raut wajah Rendra langsung berubah. Untuk beberapa detik ia terdiam, terlihat gusar.

"Nggak tau. Udah lama juga, aku nggak inget." Jawabnya tajam. "Aku nggak nyaman kita ngomongin ini." Lanjutnya dengan tangan mengepal.

Tapi kemudian ia menunduk dan mencium bibir Dinda, "Aku ke sini mau jemput kamu."

"Mau ke mana?"

"Ke kamar kita." Rendra membungkuk kemudian memanggul tubuh Dinda di bahunya.

"Mas, aku masih beres-beres!" Dinda mencoba protes dengan memukul punggung Rendra.

"Besok." Rendra balas memukul pelan bokongnya.

"Kamu nih!!" Keluh Dinda kesal. Tapi akhirnya tawa kecil lolos juga.

Dan... kita semua tau apa yang mereka lakukan selanjutnya.

...***...

Pagi itu Dinda menatap lama pada bentangan lemari penuh pakaian di hadapannya. Kemudian mulai berjalan memilih baju yang memungkinkan.

Haruskah ia pilih dari sini?

Baju-baju miliknya sendiri belum dikemasi dari kardus di kamar atas, dan masih harus disetrika dulu. Tapi sekarang sudah tidak ada waktu. Dia harus sampai kampus sebelum jam delapan.

Akhirnya Dinda memilih satu kemeja putih polos Chanel tanpa logo dan blue AG Jeans. Dua dari sangat sedikit pakaian yang terlihat tidak mencolok dan cukup kasual untuk dipakai ke kampus. Ia takut dianggap pamer. Itu sangat memalukan.

Dinda baru keluar dari walk-in closet saat Rendra membuka pintu.

"Kamu pergi sepagi ini?" Tanya Rendra sambil masuk. Tubuhnya berbalut kaus abu-abu penuh keringat. Dia pasti baru selesai olahraga.

"Kelasku mulai jam delapan, takut macet di jalan." Jawab Dinda.

Rendra berjalan melewati Dinda lalu membuka pakaian sebelum melemparkannya ke laundry bag. Kemudian ia berbalik, "Jam berapa kamu selesai?"

"Mungkin jam dua. Aku selesai kuliah jam dua belas , terus mau diskusi skripsi sebentar sama Mas Bima."

Rendra mendekat, dahinya berkerut, "Dia lagi? Di dosen pembimbing kamu atau gimana?"

"Ya, dia salah satunya." Jawab Dinda ragu. Kali ini ia yakin Rendra memang tidak suka Bima.

"Oh.." Rendra membungkuk dan mencium bibir Dinda. Dinda membalas. Tapi ternyata tak berhenti sampai di situ, pria itu menarik Dinda rapat ke tubuhnya dan berganti menciumi lehernya.

"Mas, nanti aku telat." Dinda menolak tapi kedua tangannya berkhianat, mereka balas memeluk otot punggung Rendra yang telanjang.

Rendra tidak menjawab. Ia malah menghisap kuat lehernya.

Tubuh Dinda langsung bereaksi.

Tapi ternyata hanya sampai di situ. Rendra langsung melepas pelukannya dan menatapnya sebentar. Kemudian ia tersenyum. Senyum puas yang jahat.

Dinda masih terengah, menetralkan reaksi tubuhnya. Tapi tampaknya Rendra sudah beralih fokus.

"Kamu belum tau di mana garasinya kan? Ayo aku tunjukin." Ujarnya tenang seperti tidak terjadi apa-apa.

Dinda mengangguk sambil mengatur napas. Mereka berjalan keluar setelah Rendra mengambil kaus hitam dari lemari.

 ---

"Ini garasi bersama?" tanya Dinda setelah pintu garasi di basement terbuka.

"Bukan." jawab Rendra sambil terus melangkah, "Ini milik pribadi kita."

"Semua ini mobil kamu?"

"Ya." Jawabnya tanpa menoleh.

Dinda memandang takjub pada deretan mobil mewah yang dilewatinya. Ada delapan dengan dengan jenis dan fungsi yang berbeda. Mereka jelas bukan sekadar alat transportasi. Mereka statement.

Di sudut ruangan, berdiri canggung dan sendirian Toyota Yaris-nya yang berwarna merah. Dia seperti anak tiri di pesta keluarga kaya.

"Dinda," Rendra menoleh, "Mulai minggu depan ada Rico yang akan anter kamu."

Dinda terdiam. Ini mulai menyebalkan, Rendra memperlakukannya seperti anak kecil. Dia seperti tidak memiliki pilihan untuk hidupnya sendiri. Ingin sekali Dinda membantah, dan ia tau seharusnya ia bisa. Tapi entah kenapa selalu gagal saat nada dominasi Rendra muncul dan tidak membuka ruang untuk diskusi.

...***...

1
Blueberry Solenne
minta satu Ren, buat jalan2 nyari bakwan!
Blueberry Solenne
Oke aku harus beradaptasi sama sikapnya si Rendra, Aaaarrgghhh. Dinda kuat? 🤭
Blueberry Solenne
Halah, kagak percaya gue bang
Blueberry Solenne
Denger kagak Bim suara si dinda begitu?hahahaha
Nadin Alina
Rendra mulai takut nih, Dinda oleng ke Bima🤭.
MARDONI
Dinda tipe yang selalu jaga nama pasangan di depan orang lain😍
MARDONI
Nikah mendadak pasti bikin banyak orang penasaran😄
d_midah
wehehe kepoin aja Din, makin lama, makin pengen tau liuar dalam nanti
dalam hati maksudnya☺️☺️
d_midah
baik si ia, mapan juga ok, tapi kan hati juga harus cocok pak
d_midah
wajar lah kaget, tiba-tiba datang lamaran yang gak terduga
Cahaya Tulip
sengaja mau bikin Bima panas.. hadeh gila mmg Rendra ini😌
LyaAnila
pasti dijaga pak, kalau nggak, nanti Dinda suruh lapor sama anda aja pak
LyaAnila
ihiii. pasti kangen nih sama mas nya. selamat melepas rindu ya
TokoFebri
hahahha. si Rendra cemburunya gemes banget sehh wkwkwj
Cahaya Tulip
bisa terasa suasana canggungnya.. berat ini dinda, yg diredam lebih senior.. pengendali lg😌
TokoFebri
author pakek tanya. ya Rendra dong wkwkwkwkw. 🤣 tampan, rupawan, kaya, wkwkwkw.
Nadin Alina
kalau aku Sih tetap Rendra yaaa🤭😭
@dadan_kusuma89
Pak Seno! Saat ini Dinda memang sudah sepenuhnya menjadi tanggung jawab Rendra. Jadi, anda tidak perlu repot-repot menitipkan dia.
@dadan_kusuma89
Tempe goreng dan sambal terasi itu tentunya menyimpan sebuah rasa dan kenangan yang sangat berarti bagimu, Dinda. Semoga kau masih tetap menemukan yang demikian di rumah tanggamu dengan Rendra.
Blueberry Solenne
Bakal takluk gak ya ama si dinda tu cowok?
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!