Cerita ini adalah lanjutan dari The Secret Miranda
Aku hanya perempuan yang dipenuhi oleh 1001 kekurangan. Perempuan yang diselimuti dengan banyak kegagalan.
Hidupku tidak seberuntung wanita lain,yang selalu beruntung dalam hal apapun. Betapa menyedihkannya aku, sampai aku merasa tidak ada seorang pun yang peduli apalagi menyayangi ku . Jika ada rasanya mustahil. .
Sepuluh tahun aku menjadi pasien rumah sakit jiwa, aku merasa terpuruk dan berada di titik paling bawah.
Hingga aku bertemu seseorang yang mengulurkan tangannya, mendekat. Memberiku secercah harapan jika perempuan gila seperti ku masih bisa dicintai. Masih bisa merasakan cinta .
Meski hanya rasa kasihan, aku ucapkan terimakasih karena telah mencintai ku. Miranda.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nanie Famuzi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 11
Begitu pulang kerumah, Damar menjatuhkan tubuhnya ke sofa ruang tamu. Ia bersandar lelah, membiarkan kepalanya tenggelam di antara bantal, mencoba menenangkan napas yang terasa berat. Namun begitu matanya terpejam, bayangan itu kembali hadir, Miranda, terbaring lemah di ranjang dengan kedua tangan terikat, wajahnya begitu pucat, ada banyak luka goresan disana.
Hatinya berdesir getir. Gadis secantik itu… bagaimana bisa hidupnya sekelam itu? Ada rasa ingin menolongnya. Rasanya, Damar ingin menggenggam tangannya, mengusap lembut rambut panjangnya.
“Lho, Tuan… sudah pulang?” suara Bi Jumi terdengar dari arah dapur, disusul langkah tergesa yang mendekat. Ia berhenti di depan sofa, menatap Damar yang terbaring lemas dengan mata terpejam. “Kok malah tidur di situ, bukan di kamar?”
Damar hanya bergumam pelan, “Hmm…” tanpa membuka mata.
Bi Jumi mengerutkan dahi, lalu melangkah lebih dekat. “Tuan kenapa? Mukanya pucat banget. Sakit ya? Mau Bibi buatin teh jahe atau sup hangat?”
Nada suaranya lembut tapi penuh cemas, seperti seorang ibu yang khawatir pada anaknya sendiri.
“Gak usah, Bi… makasih,” jawab Damar lirih tanpa membuka mata. Tapi beberapa detik kemudian, ia menarik napas panjang dan membuka matanya perlahan. Pandangannya kosong menatap langit-langit sejenak, sebelum akhirnya ia bangkit duduk, menyandarkan punggung pada sofa.
“Oh iya, Bi…” suaranya pelan tapi jelas. “Kalau saya nikah… gimana ya?”
Bi Jumi yang sedang memungut cangkir di meja menoleh cepat, keningnya berkerut, antara kaget dan tak percaya dengan apa yang baru didengarnya. “Apa, Tuan? Nikah?” tanyanya, separuh heran, separuh gembira, tapi juga penasaran pada nada aneh di suara Damar, bukan nada bahagia, melainkan seperti seseorang yang sedang bingung pada dirinya sendiri.
“Iya, Bi. Nikah…” ucap Damar, kali ini dengan nada datar tapi serius.
Bi Jumi menatapnya dengan alis terangkat, lalu terkekeh kecil. “Nikah, Tuan?” ia mengulang, separuh tak percaya. “Memangnya Tuan udah punya calon istri? Setahu Bibi, pacar aja Tuan gak punya, lho.”
Nada suaranya menggoda, tapi di balik senyum itu terselip rasa ingin tahu yang tulus. Sementara Damar hanya tersenyum miring, menunduk sedikit, pandangannya jatuh pada jemarinya sendiri yang saling meremas pelan. Ada jeda hening sebelum ia menjawab.
“Mira… Miranda,” ucap Damar pelan, tapi tegas. Ia menatap kosong ke depan, seolah sedang berbicara pada sesuatu yang hanya ia lihat sendiri. “Saya mau menikahi Miranda, Bi.”
Bi Jumi yang sedang membereskan meja sontak berhenti. Keningnya berkerut, matanya membulat heran. “Miranda?” ulangnya, memastikan ia tak salah dengar. “Miranda siapa, Tuan? Temen Tuan? Atau… siapa?”
Nada suaranya berubah perlahan, antara penasaran dan khawatir. Ia menatap Damar lekat-lekat, mencoba membaca maksud di balik sorot mata majikannya yang tampak jauh.
“Bukan siapa-siapa, Bi…” suara Damar nyaris serupa bisikan, matanya menerawang ke arah langit-langit, “dia… gadis yang pernah kita tolong dulu. Perempuan yang waktu itu kita kasih makan.”
Bi Jumi sontak menegakkan tubuh, matanya membesar tak percaya. “Astaghfirullah, Tuan!” serunya spontan. “Maksud Tuan… perempuan gila itu? Yang dijemput sama petugas dari rumah sakit jiwa?”
Damar tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap lantai dengan pandangan kosong, jari-jarinya mengetuk pelan sandaran sofa.
“Dia bukan gila, Bi,” katanya akhirnya, lirih tapi tegas. “Dia cuma… terluka.”
Bi Jumi menggeleng cepat, setengah panik, setengah khawatir. “Tuan, dunia ini gak kekurangan perempuan waras. Masih banyak yang cantik, yang sopan, yang bisa ngurus Tuan. Lah ini, perempuan yang ajaib itu, Tuan mau nikahin? Edan, wong bini aja sampe gak bisa mikir.”
Damar tersenyum kecil, senyum yang lebih mirip luka yang dipaksa tampak ikhlas. “Tapi saya menyukainya, Bi,” ucapnya pelan. “Saya kasihan dengannya… dia sendirian, tanpa siapa-siapa.”
Bi Jumi mendengus tak sabar, wajahnya memerah antara marah dan takut. “Kasihan sih boleh, Tuan, tapi gak sampai harus dinikahin juga, kan?” suaranya meninggi sedikit. “Astaghfirullah, Tuan… Tuan .. dia itu perempuan gila! Apa kata keluarga Tuan nanti kalau tahu? Bisa-bisa bukan cuma mereka yang gila, Tuan juga ikut-ikutan!”
Damar menatapnya, kali ini lebih dalam, tenang tapi tegas. “Mungkin memang saya sudah gila, Bi.”
Ucapan itu membuat Bi Jumi terdiam. Tatapannya goyah, bibirnya bergetar menahan kata-kata yang tak sanggup keluar.
“Ya sudah, terserah Tuan sajalah,” ujar Bi Jumi akhirnya sambil menghela napas panjang, menyerah tapi masih tak rela. “Bibi gak mau ikut-ikutan urusan begini. Tapi kalau boleh Bibi kasih saran, jangan, Tuan… jangan lakukan itu.”
Ia menatap Damar dengan sorot iba yang tulus. “Tuan masih muda, masih banyak perempuan waras, cantik, dan baik yang bisa Bibi cariin kalau Tuan mau. Gak usah repot-repot ngurusin yang jelas-jelas pikirannya udah gak beres. Orang gila ko mau dinikahin.”
Bi Jumi menatap wajah Damar yang tetap tenang, seolah ucapan itu hanya angin lalu. Dalam hati kecilnya, ia tahu, begitu Damar sudah memutuskan sesuatu, tak ada yang bisa mengubahnya. Bahkan akal sehat sekalipun.
“Terima kasih, Bi, tapi saya sudah mantap.” suara Damar tenang, namun di dalamnya terselip tekad yang tajam. Ia menatap kosong ke arah jendela, seolah melihat bayangan yang hanya ia sendiri yang paham. “Saya akan menikahi Miranda… bagaimanapun caranya.”
Ia menarik napas panjang, lalu menatap Bi Jumi dengan tatapan yang tak biasa, lembut, tapi tegas. “Saya akan bawa dia pulang ke rumah ini, Bi. Saya akan jaga dia… dan jadikan dia istri saya.”
Bi Jumi hanya terpaku. Antara iba dan takut, ia menatap majikannya itu, wajah muda dengan tatapan yang terlalu dalam untuk sesuatu yang begitu mustahil. Dalam hatinya, ia bergumam lirih, “Ya Allah, semoga Tuan gak salah jalan.”
“Tapi, Tuan…” suara Bi Jumi mulai bergetar, antara khawatir dan tak percaya. “Memangnya boleh nikah sama perempuan yang… yang pikirannya gak waras? Bukannya dalam syariat, syarat menikah itu harus berakal sehat?”
Ia menatap Damar lekat-lekat, seolah masih berharap majikannya akan berubah pikiran. “Bibi bukan mau ngatur, Tuan, tapi ini bukan hal sepele. Perempuan gila, Tuan… dia bahkan mungkin gak tahu arti pernikahan itu sendiri.”
Nada suaranya kini pelan, penuh iba dan ketakutan sekaligus. “Jangan-jangan nanti Tuan yang malah ikut terseret dalam dunianya.”
Damar terdiam. Kata-kata Bi Jumi menggantung di udara seperti bayangan yang sulit diusir. Ia tahu perempuan tua itu benar, secara hukum dan akal sehat, keinginannya hampir mustahil. Tapi ada sesuatu dalam dirinya yang menolak menyerah.
Ia menatap kosong ke arah langit-langit, bibirnya menegang menahan gejolak di dada. “Aku akan cari cara…” batinnya bergetar, tapi pasti. “Aku akan buat dunia ini percaya kalau dia pantas dicintai, pantas punya hidup yang normal… meski harus melawan segalanya.”
“Pikirkan lagi, Tuan…” suara Bi Jumi pelan, tapi sarat kecemasan. “Tuan gak tahu siapa dia, asal-usulnya darimana, keluarganya siapa. Jangan-jangan malah bawa masalah nanti. Kadang orang gila itu bukan cuma sakit pikirannya, tapi juga masa lalunya yang kelam…”
Damar menatap perempuan tua itu, lama, seolah sedang menimbang antara logika dan nurani. “Mungkin bibi benar,” katanya akhirnya, suaranya rendah namun tegas. “Tapi justru karena gak ada orang yang tahu siapa dia, saya pengen jadi orang pertama yang benar-benar mengenalnya. Bukan karena kasihan, tapi karena saya merasa… dia butuh seseorang yang gak meninggalkannya lagi.”
Bi Jumi menghela napas berat, menggeleng pelan. “Tuan ini aneh, tapi sekaligus baik. Kadang bibi bingung, yang waras itu siapa sebenarnya.”
Damar tersenyum tipis, lalu berdiri, melangkah menuju jendela yang setengah terbuka. “Kalau semua orang cuma mau mencintai yang sempurna,” ucapnya pelan, “siapa yang akan mencintai yang rusak?”
Bi Jumi menatap punggung tuannya itu lama, lalu berbisik lirih seolah bicara pada diri sendiri, “Tuan… semoga kali ini yang gila bukan cinta itu sendiri.”
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...