NovelToon NovelToon
NIKAH DADAKAN DEMI PARASETAMOL

NIKAH DADAKAN DEMI PARASETAMOL

Status: sedang berlangsung
Genre:Pernikahan Kilat / CEO / Nikah Kontrak
Popularitas:5.3k
Nilai: 5
Nama Author: Anjay22

Amelia ,seorang janda yang diceraikan dan diusir oleh suaminya tanpa di beri uang sepeserpun kecuali hanya baju yang menempel di badan ,saat di usir dari rumah keadaan hujan ,sehingga anaknya yang masih berusia 3 tahun demam tinggi ,Reva merasa bingung karena dia tidak punya saudara atau teman yang bisa diminta tolong karena dia sebatang kara dikota itu ,hingga datang seorang pria yang bernama Devan Dirgantara datang akan memberikan pengobatan untuk anaknya ,dan kebetulan dia dari apotik membawa parasetamol ,dan obat itu akan di berikan pada Reva ,dengan syarat ,dia harus mau menikah dengannya hari itu juga ,

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anjay22, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Viona ingin menjatuhkan Amelia .

Pagi ini Amelia datang lebih awal seperti biasa, membawa bekal yang siapkan tadi pagi ,kali ini dia membawa bekal nasi uduk dan sambal tomat ia ingat itu adalah menu favoritnya saat sekolah dulu . sementara Bayu tidur nyenyak di rumah, dijaga oleh Ibu Devan yang kini bahkan punya jadwal harian khusus: “Jam sembilan: main lego sama Bayu. Jam sebelas: bikin kue pisang.”

Amelia tersenyum mengingatnya. Rumah itu bukan sekadar tempat tinggal lagi tapi pelabuhan. Dan kini, kantornya mulai terasa seperti medan perang kecil.

Sejak insiden presentasi, Viona tak lagi menyindir secara terbuka. Tapi ia mulai menggunakan cara lain: diam, tapi mematikan.

Ia tak lagi memberi tahu Amelia tentang rapat mendadak. Ia “lupa” menyerahkan dokumen penting yang seharusnya jadi tanggung jawab bersama. Bahkan, saat Amelia bertanya tentang prosedur pengajuan cuti tahunan, Viona hanya menjawab dengan angkat bahu: “Cari aja di folder. Kan kamu pintar.”

Tapi justru sikap dingin itu yang membuat Amelia makin waspada dan makin tekun.

Ia mulai mencatat segala hal: nama folder, jadwal rapat, nama klien, nomor telepon vendor. Ia belajar shortcut Excel, menghafal struktur email kantor, bahkan meminta Rani mengajarkannya cara membuat template dokumen resmi.

“Kamu serius banget, ya?” tanya Rani suatu sore, sambil melihat Amelia mengulang simulasi absensi digital untuk ketiga kalinya.

“Kalau aku nggak serius, orang kayak Mbak Viona bakal bilang aku cuma numpang hidup di sini,” jawab Amelia pelan, tanpa kepahitan—hanya tekad.

Rani menghela napas. “Sebenernya Viona dulu pernah naksir banget sama pak Devan. Bahkan waktu pak Devan pulang dari luar negeri pertama kali, dia yang jemput di bandara. Tapi pak Devan cuma bilang, ‘Kita teman aja, Vi.’ Sejak itu, dia berubah.”

Amelia terdiam. Jadi, ini bukan hanya soal kompetensi tapi luka lama yang salah sasaran.

“Tapi itu bukan salahku,” katanya akhirnya.

“Nggak. Tapi kamu jadi korbannya.”

Amelia mengangguk. “Kalau begitu, aku harus jadi korban yang nggak bisa dijatuhkan.”

***

Beberapa hari kemudian, perusahaan Devan mendapat proyek besar: kolaborasi dengan perusahaan logistik nasional untuk sistem pelacakan barang real-time. Proyek ini membutuhkan tim administrasi tambahan dan Devan memilih Amelia sebagai salah satu koordinator lapangan.

“Kamu akan jadi penghubung antara tim IT dan divisi operasional,” jelas Devan. “Kerjaannya banyak ngatur jadwal, catat kendala, dan pastikan semua dokumen lengkap. Bisa?”

Amelia menelan ludah. Ini tanggung jawab jauh lebih besar dari sekadar input data.

“Bisa,pak ” jawabnya mantap.

Viona, yang kebetulan lewat, berhenti sejenak. “Wah, naik pangkat cepet banget. Padahal belum ngerti sistem internal aja.”

Devan menoleh, tatapannya tajam. “Kalau kamu punya masukan soal kinerja Amelia, sampaikan lewat HR. Bukan di lorong.”

Viona langsung pergi tanpa suara.

Sejak Amelia ditunjuk sebagai koordinator proyek, suasana di kantor berubah setidaknya bagi Viona. Ia tak lagi bisa berpura-pura acuh. Kehadiran Amelia kini bukan sekadar gangguan kecil, tapi ancaman nyata: bukan hanya pada posisinya sebagai staf senior, tapi juga pada ilusi lama bahwa ia-lah perempuan yang paling “pantas” berada di dekat Devan.

Viona mulai mengamati Amelia seperti pemburu mengintai mangsa.

Ia mencatat setiap kesalahan kecil bahkan yang tak benar-benar salah. Saat Amelia menunda pengiriman dokumen karena menunggu tanda tangan dari divisi lain, Viona langsung mengirim email ke HR dengan subjek: #Keterlambatan Administrasi – Proyek Logistik# seolah Amelia sengaja menghambat progres.

Saat Amelia meminta izin pulang pukul dua karena Bayu demam, Viona berbisik pada rekan-rekan di pantry: “Enak ya, kerja setengah hari, gaji full. Anak sakit jadi alasan favorit.”

Yang paling menyakitkan, Viona mulai menyebarkan keraguan tentang latar belakang Amelia.

“Katanya lulusan SMA, tapi nggak bawa ijazah. Kok bisa dipercaya urus dokumen penting?”

“Dulu kerja di toko kelontong, tiba-tiba jadi koordinator? Aneh, ya.”

“Bayu itu anak siapa, sih? Kok Devan baik banget? Jangan-jangan ??”

Gosip itu tak sampai ke telinga Amelia langsung tapi ia merasakannya. Senyum rekan kerja yang dulu hangat kini kadang terasa kaku. Beberapa orang mulai menjaga jarak, takut terlibat dalam “drama” yang mereka kira sedang berlangsung.

Amelia tetap diam. Ia tahu, membela diri hanya akan membuatnya terlihat defensif. Jadi, ia memilih membuktikan lewat kerja.

Ia datang pukul tujuh pagi, pulang jam empat sore meski jatahnya jam tiga. Ia cek ulang setiap dokumen tiga kali. Ia buat ringkasan harian proyek dan kirim ke seluruh tim, lengkap dengan catatan risiko dan solusi sederhana. Ia bahkan belajar dasar-dasar sistem pelacakan logistik dari video YouTube, hanya agar bisa memahami bahasa tim IT.

Devan memperhatikan. Dan ia bangga.

Tapi Viona semakin gelisah.

Suatu pagi, saat semua sedang sibuk persiapan rapat klien besar, Viona “menemukan” kesalahan fatal.

“Ada dokumen kontrak yang belum ditandatangani!” serunya di grup internal, dengan lampiran screenshot email lama. “Ini tanggung jawab Amelia, kan? Kalau sampai klien tahu, kita bisa kena denda!”

Amelia langsung memeriksa arsipnya. Benar ada satu formulir yang belum ditandatangani oleh pihak vendor. Tapi itu bukan kelalaiannya. Formulir itu memang belum dikembalikan oleh vendor sejak seminggu lalu, dan ia sudah kirim tiga reminder.

Namun, Viona sengaja tak menyebut itu. Ia hanya menyorot nama Amelia di bagian “PIC Dokumen”.

Devan langsung turun tangan. Ia panggil Amelia ke ruangannya.

“Jelaskan !,” katanya tenang.

Amelia tak panik. Ia buka folder email, tunjukkan riwayat komunikasi dengan vendor, dan lampirkan bukti bahwa ia sudah mengingatkan berulang kali.

Devan mengangguk. “Kamu bersih.”

Tapi sebelum ia sempat mengklarifikasi ke tim, Viona sudah menyebar narasi lain: “Amelia selamat karena pak Devan melindungi.”

Kata-kata itu akhirnya sampai ke telinga Amelia lewat Rani, yang marah setengah mati.

“Dia nggak main-main, Mel. Dia mau bikin kamu dipecat atau menyerah sendiri.”

Amelia menatap jendela kantor. Di luar, langit mendung. Tapi matanya tak berkabut air mata,malah menyala.

“Kalau dia mau perang,” katanya pelan, “aku siap.”

***

Malam itu, Amelia tak langsung pulang. Ia duduk di mejanya, menulis surat ,bukan surat pengunduran diri, tapi surat klarifikasi internal. Ia lampirkan semua bukti: email, catatan rapat, jadwal follow-up. Ia kirim ke Devan, HR, dan seluruh anggota tim proyek dengan kalimat penutup yang sederhana:

"Saya tidak takut salah. Tapi saya tidak akan membiarkan ketidakadilan jadi alasan untuk meragukan niat baik saya.”

Esok harinya, suasana kantor berubah.

Beberapa rekan yang tadinya ragu, kini diam-diam memberi semangat. Ada yang meninggalkan kopi di mejanya. Ada yang bilang, “Kerjaan kamu rapi banget, Mel.”

Devan memanggil rapat darurat bukan soal proyek, tapi soal etika kerja.

“Di sini, kita menilai orang dari kerja, bukan dari masa lalu atau hubungan pribadi,” katanya tegas, matanya sesekali menyapu ke arah Viona. “Siapa pun yang menyebarkan informasi salah demi menjatuhkan rekan, itu bukan profesional itu pengkhianatan kepercayaan.”

Viona pucat. Ia tak bicara sepatah pun.

Tapi di dalam hatinya, amarah membara. Ia tak terima seorang perempuan “biasa” seperti Amelia bisa mengalahkannya hanya dengan diam dan bekerja.

Maka, ia memutuskan: kalau tak bisa menjatuhkannya lewat aturan, ia akan cari cara lain.

Sore itu, saat Amelia sedang di kamar kecil, Viona menyelinap ke mejanya. Dengan cepat, ia membuka laci dan mengambil satu dokumen asli,surat perjanjian kerja sama yang harus dikirim ke kantor pusat besok pagi.

Ia menyembunyikannya di tasnya.

Besok, saat dokumen itu tak ditemukan, semua mata akan tertuju pada Amelia koordinator yang “ceroboh”.

Tapi Viona lupa satu hal: Amelia kini selalu mengunci laci mejanya.

1
Mar lina
Di tunggu
malam pertama nya
apakah Devan akan ketagihan dan bucin akut... hanya author yg tau...
MayAyunda: siap kak😁
total 1 replies
Anto D Cotto
menarik
Anto D Cotto: sama2 👍
total 2 replies
Anto D Cotto
lanjut crazy up Thor
MayAyunda: iya kak🙏
total 1 replies
Mar lina
aku mampir
MayAyunda: terimakasih kak
total 1 replies
Nii
semangat Thor
MayAyunda: siap kak
total 1 replies
kalea rizuky
lanjut q ksih hadiah
kalea rizuky
siapa naruh cicilan mekar di sini/Shame//Sleep/
kalea rizuky
alurnya suka sat set g menye2
MayAyunda: iya kak 😁
total 1 replies
kalea rizuky
dr judulnya aaja unik
MayAyunda: biar beda kak 😄
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!