Di istana yang berkilauan, kebohongan adalah mata uang dan darah adalah harga dari kesetiaan. Seorang pelayan setia menyaksikan dosa tak terampuni yang dilakukan sang Permaisuri—dan dibungkam selamanya.
Atau begitulah yang Permaisuri pikirkan.
Langit yang menjadi saksi pilu mengembalikan Takdir si pelyan setia, mengembalikannya dari gerbang kematian, memberinya wajah baru, identitas baru—tubuh seorang selir rendahan yang terlupakan. Dengan jiwa yang terbakar dendam dan ingatan yang tak bisa dihapus, ia harus memainkan peran sebagai wanita lemah, sambil merajut jaring konspirasi paling mematikan yang pernah ada di istana. Tujuannya bukan lagi sekadar bertahan hidup, melainkan merenggut keadilan dari singgasana tertinggi.
Setiap bisikan adalah pertaruhan. Setiap senyuman adalah topeng. Di tengah intrik berdarah antara selir dan para menteri, mampukah ia meruntuhkan kekuasaan sang Permaisuri dari bayang-bayang sebelum identitas aslinya terungkap dan ia mati untuk kedua kalinya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Black _Pen2024, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11: Kemarahan Langit
Kematian seharusnya sunyi, damai, atau setidaknya, final. Tetapi bagi jiwa Xiao Ling, kematian hanyalah awal dari badai yang menghancurkan. Saat raganya ambruk di lantai dingin, jiwanya tidak hanyut menuju sungai Styx atau menuju gerbang reinkarnasi; sebaliknya, ia menggelegak dalam kuali amarah yang murni.
Dia adalah gumpalan energi, sebuah ingatan yang menyakitkan, dan janji yang mengikat, melayang di atas istana yang membusuk. Dia melihat tubuhnya sendiri, direndahkan dan dibuang, dan api dendamnya melahap kegelapan di sekitarnya. Hukum alam menuntut agar jiwanya melanjutkan perjalanan, tetapi kemarahan yang ia miliki—kemarahan atas ketidakadilan yang menimpa selir Hong, penghinaan atas dirinya sendiri—menolak untuk dibungkam.
“Aku tidak akan pergi!” teriak jiwanya tanpa suara, gema spiritualnya mengguncang eter. “Aku bersumpah! Aku akan melihat Xiu Feng jatuh! Jika Surga menutup mata terhadap kejahatan ini, maka aku akan menjadi iblis yang akan mengoyak takdir!”
Pada saat itulah, terjadi intervensi. Bukan dari dewa atau bodhisattva, melainkan dari energi kuno yang mendiami lapisan terdalam kekaisaran—kekuatan takdir yang diukir sejak Istana Naga pertama kali didirikan. Kekuatan ini, yang selalu menjaga Kekaisaran Naga, yang dijuluki ‘Dendam Langit,’ hanya beraksi ketika ketidakadilan mencapai titik di mana keseimbangan kosmik terancam oleh tirani murni.
Sebuah pusaran cahaya emas gelap tiba-tiba terbuka di atasnya. Cahaya itu bukan cahaya yang menyambut, melainkan cahaya yang menghakimi, yang menelan jiwa Xiao Ling seperti mulut jurang yang besar. Dia merasakan dirinya ditarik dengan kekuatan luar biasa, sebuah pembalikan takdir yang kejam dan megah.
Di dalam pusaran itu, waktu tidak ada. Xiao Ling tidak lagi memiliki bentuk. Dia hanyalah kesadaran yang terkoyak-koyak. Energi Langit meremas jiwanya, membersihkannya dari kotoran fisik, tetapi memperkuat intinya: dendam dan kesetiaan. Rasa sakitnya melebihi penyiksaan yang ia terima dari Wu; ini adalah rasa sakit eksistensial, di mana setiap memori dibakar, setiap ikatan masa lalu ditarik paksa.
Ia melihat Selir Hong, senyumnya, kebaikan hatinya. Ia melihat Permaisuri Xiu Feng, tatapan dingin dan senyum palsunya. Setiap gambar memperkuat sumpahnya. Rasa sakit spiritual ini, yang terasa seperti disetubuhi oleh guntur tanpa suara, sebuah peleburan yang brutal dan intim dengan kekuatan alam, membuatnya menjerit. Namun, ia tidak melawan tarikan itu; ia merangkulnya.
Proses transmutasi itu adalah pengalaman yang paling invasif dan sensual yang pernah dialami Xiao Ling. Itu bukan kenikmatan, melainkan keharusan yang merusak. Energi Langit, dingin dan panas sekaligus, merayap melalui inti keberadaannya, mengukir ulang cetak biru jiwanya. Rasa dirinya sebagai Xiao Ling si pelayan setia ... perlahan digantikan oleh sebuah cetak biru baru, sebuah wadah kosong yang harus ia penuhi.
(Kau telah diberikan wadah), bisik sebuah suara yang tidak berada di telinga, melainkan langsung di dalam sumsum jiwanya.( Wadah yang sama-sama menderita. Gunakan kesempatan ini. Keadilan harus ditegakkan, atau kau akan lenyap dalam kehampaan.)
Xiao Ling berusaha memahami. Wadah? Tubuh lain? Amarahnya terlalu kuat untuk membiarkan keraguan, dan dia membiarkan dirinya didorong ke depan, menuju ujung terowongan cahaya yang kini terasa seperti terowongan rahim.
Tiba-tiba, semuanya berhenti. Kehampaan yang bergejolak digantikan oleh sensasi fisik yang aneh: dingin, berat, dan asing. Jiwa Xiao Ling, yang terbiasa dengan tubuh pelayan yang energik dan kuat, kini terpaksa menyesuaikan diri dengan raga yang lemah dan kurus.
Dia merasakan sensasi pertama: tekstur kain sutra yang kasar di bawah punggungnya, bau jamu basi, dan suhu udara yang menusuk. Dia telah mendarat.
Mata Xiao Ling, atau kini mata dari tubuh barunya, tiba-tiba terbuka. Penglihatannya kabur, tetapi perlahan ia bisa membedakan langit-langit kayu yang kusam, dihiasi jaring laba-laba. Lampu minyak yang redup di sudut ruangan menunjukkan ruangan yang sederhana, bahkan menyedihkan—jauh dari kemewahan Istana Kehangatan, bekas kediaman selir Hong, dan bahkan Istana Permaisuri yang megah.
Dia mencoba menggerakkan tangannya. Otot-ototnya terasa seperti kapas, ringan dan tidak responsif. Setiap gerakan memicu desahan kecil dari mulutnya yang kering. (Ini... bukan tubuhku.)
Xiao Ling mencoba mengingat. Di mana dia? Istana Dingin. Ruangan yang kusam dan sunyi ini. Dia ingat membaca di antara gosip istana tentang Selir Xia, selir rendahan yang jarang dipanggil Raja, hidup dalam pengasingan semi-formal setelah jatuh dari rahmat Permaisuri Xiu Feng. Hasil dari kelicikan Permaisuri Xiu Feng juga, yang tak ingin ada selir favorit di sisi Kaisar. Intrik licik yang sama, bedanya, kali ini untuk menghancurkan penampilan supaya tidak menarik lagi.
Kekuatan yang baru saja menyatukannya dengan tubuh ini terasa panas di nadinya, bercampur dengan kelemahan fisik. Dia mencoba bangkit, mendorong tubuhnya ke posisi duduk. Jantungnya berdebar kencang, bukan karena ketakutan, melainkan karena syok dari transfer jiwa yang brutal.
Di sebelah tempat tidurnya, berdiri seorang pelayan tua dengan wajah kuyu dan pakaian yang tampak compang-camping. Pelayan itu menatapnya dengan ekspresi kosong. Selir Xia yang asli telah jatuh pingsan selama tiga hari setelah menerima hukuman fisik dari Xiu Feng. Pelayan itu, yang tampaknya tidak melihat keanehan, hanya melihat Selir Xia yang akhirnya bangun.
“Selir Xia,” kata pelayan itu dengan suara datar. “Kau sudah bangun. Aku akan memanggil tabib.”
Xiao Ling, yang kini sepenuhnya Selir Xia, tidak bisa menahan diri. Dia meraih ke cermin perunggu kecil yang diletakkan di meja samping tempat tidur dan mengangkatnya dengan tangan gemetar. Wajah yang ia lihat di sana adalah wajah yang ramping, dengan mata yang besar dan rapuh, kulit pucat karena kurang sinar matahari. Kecantikan yang tersembunyi, yang disamarkan oleh kesedihan dan keputusasaan yang melekat.
Itu bukan wajah Xiao Ling. Tetapi tatapan yang dipantulkan kembali di cermin itu, tatapan yang kini membakar dengan tekad dan api yang dingin ... adalah milik Xiao Ling.
Seketika, pikiran dan ingatan Selir Xia yang asli menyerbu masuk ke dalam benaknya. Rasa takut, keputusasaan, dan intimidasi tanpa henti dari Xiu Feng. Xia asli tidak meninggal karena sakit, tetapi karena ia menyerah pada penderitaannya, tubuhnya telah lama ditinggalkan oleh harapan. Diracuni supaya terlihat tidak menarik sehingga tidak akan disukai oleh Kaisar.
Kini, Selir Xia telah bangkit, namun jiwanya adalah roh yang dipenuhi dendam, dipersenjatai dengan pengetahuan tentang kejahatan Permaisuri. Xiao Ling merasakan kekuatan di balik matanya, sebuah energi yang tidak dimiliki Selir Xia yang asli.
Dendam Langit telah menempatkannya di tengah sarang naga, dengan status yang memungkinkannya bergerak. Dia bukan lagi pelayan rendahan yang bisa dibunuh tanpa jejak. Dia adalah seorang selir, yang memiliki akses ke Raja dan memiliki martabat tertentu, meskipun kecil.
Xiao Ling/Xia menyingkirkan cermin itu. Tangannya yang lemah kini mengepal. Dia merasakan sentuhan kain di kulitnya—kain yang jauh lebih halus daripada seragam pelayan mana pun. Dia tersenyum, senyum yang sama sekali tidak dimiliki Selir Xia yang asli—senyum yang penuh perhitungan, dingin, dan mematikan.
“Tidak perlu tabib,” ujar Xia, suaranya serak namun tegas, memerintahkan pelayan itu. Dia menyentuh lehernya, di mana ingatan akan batang besi yang mematikan masih terasa nyeri....
“Bawa air hangat dan pakaian baru. Aku ingin mandi. Dan mulai sekarang, kita akan membersihkan ruangan ini. Kita akan mengubah segalanya.”
Pelayan tua itu menatap Selir Xia dengan kebingungan total. Ada sesuatu yang radikal dan mengancam dalam suara Selir Xia yang baru ini. Selir yang pendiam dan depresi itu telah pergi. Di tempatnya, kini ada seorang wanita yang matanya berkilauan dengan ambisi yang menakutkan, siap untuk memulai perang di Istana Naga.
Xiao Ling, kini sebagai Selir Xia, telah memulai langkah pertamanya dalam permainan yang kejam ini.
Dia harus segera mempelajari batas dan kekuasaan tubuh barunya, dan yang terpenting, dia harus memastikan bahwa Xiu Feng, Permaisuri yang telah membunuh dua orang tak bersalah, menyadari bahwa bayangan dari masa lalunya tidak akan pernah hilang.
Keesokan paginya, Permaisuri Xiu Feng akan mendengar desas-desus pertama tentang Selir Xia yang bangkit, dan dia akan mengira itu hanya kebetulan. Betapa salahnya dia.