Amara dipaksa menikah dengan Arya, pria yang ia cintai sejak kuliah. Namun, Arya, yang sudah memiliki kekasih bernama Olivia, menerima pernikahan itu hanya di bawah ancaman dan bersumpah tak akan pernah mencintai Amara.
Selama setahun, Amara hidup dalam penjara emosional, diperlakukan seperti hantu. Tepat di hari jadi pernikahan yang menyakitkan, Amara melarikan diri dan diselamatkan oleh Rendra, sahabat kecilnya yang telah lama hilang.
Di bawah bimbingan Rendra, Amara mulai menyembuhkan luka jiwanya. Ia akhirnya bertanya, "Tak pantaskah aku dicintai?" Rendra, dengan tegas, menjawab bahwa ia sangat pantas.
Sementara Amara dan Rendra menjalin hubungan yang sehat dan penuh cinta, pernikahan Arya dan Olivia justru menghadapi masalah besar akibat gaya hidup Olivia yang suka menghamburkan uang.
Pada akhirnya, Amara menemukan kebahagiaannya yang pantas bersama Rendra, sementara Arya harus menerima konsekuensi dari pilihan dan sikapnya di masa lalu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Isma Malia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sumpah Terlarang
Di kantor Wijaya Grup, Zayn sedang meneliti sebuah laporan ketika seorang asistennya panik masuk. Asisten itu menunjukkan sebuah screenshot berita gosip yang viral, yang sudah mulai diblokir tetapi masih sempat tersebar di beberapa grup privat.
Zayn melihat judul itu, dan raut wajahnya langsung berubah pucat. "Perawatan Kejiwaan Rahasia..."
"Amara! Gawat! Apa dia sudah melihatnya? Aku harus segera pulang!" kata Zayn, berdiri. Rasa takut akan trauma Amara yang muncul kembali mengalahkan segalanya.
Ia pun segera bergegas meninggalkan kantor dan mengendarai mobilnya dengan cepat menuju rumah.
Beberapa menit kemudian, ia tiba di rumahnya. Ia membuka pintu dengan kasar.
"Amara! Amara!" teriak Zayn, suaranya dipenuhi kecemasan.
"Pa, ada apa?" kata Amara, muncul di depannya, tampak bingung dengan kedatangan ayahnya yang tiba-tiba.
"Amara!" Zayn segera menghampirinya dan memeluk Amara erat, seolah memastikan putrinya nyata dan aman.
"Pa, ada apa?" tanya Amara, berusaha melepaskan diri dari pelukan kuat ayahnya.
"Amara, kamu tidak ada apa-apa? Pusing atau apa?" tanya Zayn, memeriksanya dengan panik.
"Hah? Aku baik-baik saja," kata Amara.
"Syukurlah," desah Zayn, lega.
"Ah, Pa, aku tadi baca berita tapi pas aku lihat tidak ada," kata Amara, wajahnya menunjukkan kebingungan. "Itu maksudnya apa, ya? Kapan aku menjalani perawatan kejiwaan, Pa?"
Jantung Zayn mencelos. Amara hanya melihat istilahnya, tidak detailnya.
"Ah... Itu. Tidak usah kamu pikirkan. Bukan apa-apa, itu hanya berita tidak penting. Kamu lebih baik istirahat. Sebentar lagi adalah hari pernikahan, pikirkan itu saja, jangan pikirkan yang lain, ya?" ujar Zayn, berusaha menenangkan diri dan mengalihkan pembicaraan.
"Ya, oke," kata Amara, yang menerima penjelasan ayahnya dengan mudah.
Amara kemudian berjalan ke kamarnya. Setelah Amara pergi, wajah Zayn kembali mengeras. Ketenangan Amara adalah prioritasnya, tetapi sekarang ia harus menghadapi masalah ini. Ia telah mempercayakan keamanan putrinya pada Keluarga Aldridge, tetapi mereka telah gagal.
Zayn berpikir harus membicarakan ini dengan Kakek Umar, atau setidaknya Ethan. Ini bukan lagi soal bisnis, ini soal putrinya.
Zayn kemudian bergegas kembali ke mobilnya, menuju Kediaman Aldridge, dipenuhi amarah yang membara.
Tak lama, Zayn tiba di Kediaman Aldridge. Mobilnya berhenti mendadak di foyer. Angga, salah satu pengawal, melihat mobil keluarga Wijaya dan segera menghampiri.
"Tuan Zayn," sapa Angga.
"Di mana Tuan Umar?" tanya Zayn, suaranya dipenuhi ketegangan.
"Ada di ruang kerjanya," jawab Angga.
"Baiklah," kata Zayn.
"Mari saya antar, Tuan," kata Angga.
" Ya," balas Zayn.
Zayn dan Angga masuk ke dalam. Saat itu, Ethan melihat kedatangan Zayn dari koridor.
"Zayn," kata Ethan, dan berjalan menghampirinya, wajahnya sudah menunjukkan kekhawatiran.
Kini Zayn dan Ethan saling berhadapan. Mata mereka bertemu. Angga yang merasakan ketegangan luar biasa di antara kedua pria itu segera pamit.
"Kalau begitu saya permisi, Tuan," kata Angga.
"Ya, silakan Angga," kata Ethan.
Angga kemudian pergi, meninggalkan mereka berdua di foyer.
"Apa-apaan ini, Ethan! Kamu dan keluargamu telah melanggar janji kesepakatan kita!" kata Zayn, tidak berbasa-basi.
"Zayn, tenangkan dirimu dulu. Bukan kita yang melakukannya," kata Ethan, mencoba menenangkan.
"Lalu siapa?! Mau kalian yang melakukannya atau tidak, pada intinya itu sudah tersebar!" bentak Zayn.
"Zayn..."
"Jelaskan semuanya, Ethan! Kenapa ini bisa terjadi?! Jelaskan!!" tuntut Zayn.
Suara teriakan Zayn terdengar hingga ke kamar Arya dan ruang kerja Kakek Umar. Mereka pun keluar dan menghampiri keributan itu. Amelia juga tergesa-gesa menghampiri suaminya.
"Zayn, kita sudah memblokir berita itu dan menghapusnya. Kami telah mengurusnya," kata Ethan, berusaha memberi penjelasan.
"Tapi Amara sudah melihat berita itu, Ethan!" kata Zayn.
"Apa?" kata Ethan terkejut, begitu juga Amelia dan Kakek Umar.
"Walaupun tidak melihat sepenuhnya, tapi dia menanyakan soal itu! Dan bagaimana caranya aku menjelaskan padanya? Di mana yang dia tahu Ibu nya meninggal karena sakit, bukan karena kecelakaan saat bersamanya?!" teriak Zayn, matanya memerah.
"Aku mengerti," kata Ethan, merasa bersalah.
"Zayn," panggil Kakek Umar, nadanya berat.
Zayn melirik Kakek Umar, lalu melihat Arya yang berdiri diam di belakangnya, wajahnya penuh penyesalan.
Zayn menggelengkan kepalanya. "Hah... Saya permisi," kata Zayn, ia tidak ingin berhadapan dengan mereka semua saat ini.
Zayn kemudian berbalik dan pergi, meninggalkan rumah Aldridge secepat ia datang.
"Zayn!" panggil Ethan, tetapi Zayn tidak menghentikan langkahnya.
Ethan menghela napas pasrah. "Aaah..."
Kakek Umar menatap tajam ke arah Arya, wajahnya penuh amarah dan kekecewaan.
"Kamu lihat, Arya! Ini gara-gara kamu!" hardik Kakek Umar. "Bereskan ini dan hentikan wanita itu! Katakan padanya bahwa jika dia tidak berhenti, aku tidak hanya akan mencoretmu, tapi aku akan menghancurkan hidupnya sampai ke akar-akarnya! Sekarang, pergi!"
Arya hanya bisa menunduk, menerima semua kesalahan. Dia tidak bisa menjelaskan bahwa ia sudah terlambat dan Olivia bergerak lebih cepat. Ia hanya bisa mengangguk pasrah.
"Baik, Kek," kata Arya. Ia segera memutar balik dan bergegas menuju kamarnya, dengan satu tujuan: menghubungi Olivia, meskipun itu berarti menginjakkan kakinya semakin dalam ke dalam rawa masalah ini.
Di kamarnya Arya segera menghubungi Olivia. Sementara itu, Olivia di apartemennya melihat nama Arya tertera di ponselnya.
"Halo, Arya," sapa Olivia, suaranya terdengar girang karena rencananya berhasil.
"Olivia, hentikan itu! Jangan lakukan apa pun! Aku sudah bilang tunggu aku memberitahumu kapan itu disebarkan!" kata Arya, suaranya dipenuhi frustrasi dan kepanikan. "Kamu tahu, Olivia, sekarang kehidupan aku terancam! Aku akan diusir dari rumah ini, Olivia! Kakek sudah mengancamku akan menghancurkanku dan menghancurkanmu! Bukan Amara yang akan hancur, justru kita, Olivia, kita!"
"Apa? Kenapa bisa seperti itu, Arya? Sebenarnya ada apa?" tanya Olivia, nadanya berubah serius.
"Itu bukan seperti yang kita kira, Olivia. Amara dia—kini aku tahu kenapa dia mengalami itu. Itu karena disebabkan Ibunya meninggal saat kecelakaan, tepat di depan matanya, Olivia. Itu yang membuat dia seperti itu. Kakek, Papa, dan Mamaku mengetahui itu. Jadi, menurutku itu percuma, Olivia. Justru kita yang terancam bahaya," jelas Arya, menjelaskan kebenaran yang baru saja ia dengar.
"Ah... Terus, kita harus bagaimana, Arya?" tanya Olivia.
"Untuk saat ini, jangan lakukan apa pun lagi kepada Amara. Karena apa pun yang dilakukan, pernikahan akan tetap terlaksana. Kakek mengatakan itu," kata Arya, suaranya terdengar pasrah.
"Oke, aku tidak akan melakukan apa pun lagi," balas Olivia. Ia kemudian mengganti topiknya, suaranya kembali melembut, tetapi penuh tuntutan. "Tapi Arya, kamu harus ingat. Kamu akan selalu menjadi milik ku. Baik diri kamu, hati kamu, tubuh kamu, semua milikku. Kamu boleh menikah dengannya, tapi aku mohon, jangan pernah menyentuhnya sedikit pun atau mencintainya."
Arya memejamkan matanya. Janji ini adalah rantai yang akan mengikatnya pada Olivia selamanya.
"Arya, aku nggak mau kehilangan kamu. Aku takut, aku bener-bener nggak bisa jika harus kehilangan mu. Kalau aku tidak bisa memiliki kamu, lebih baik aku mati aja," kata Olivia, dramatis.
"Olivia, apa maksudmu? Jangan lakukan apa pun, jangan nekat!" pinta Arya, takut dengan ancaman bunuh diri Olivia.
"Kamu harus berjanji tidak akan pernah meninggalkan aku, Arya," tuntut Olivia.
"Ya, aku janji. Aku hanya milikmu," kata Arya, mengucapkannya seperti sumpah palsu yang harus ia tepati.
"I love you, Arya. Aku percaya padamu, " kata Olivia.
"Ya, I love you too, good night. Istirahat," balas Arya.
"Arya, bisakah kamu ke apartemenku malam ini?" tanya Olivia.
"Tidak malam ini. Setelah kekacauan yang terjadi, Olivia, aku tidak bisa," kata Arya, menolak.
"Lalu kapan?" desak Olivia.
"Besok, sebelum berangkat, aku akan mampir ke apartemenmu, bagaimana?" usul Arya.
"Ya, aku akan menunggumu," kata Olivia, puas.
Telepon diputus. Arya menjatuhkan ponselnya ke ranjang.
Arya menatap langit-langit kamarnya yang mewah. Ia telah berhasil menghentikan Olivia untuk saat ini, tetapi ia telah menukar keselamatan Amara dengan jiwanya sendiri.
Ia harus menikah dengan Amara untuk menyelamatkan perusahaan dan dirinya dari Kakek Umar.
Ia harus tidak menyentuh Amara untuk menyelamatkan Olivia dari bunuh diri atau kemarahan Kakek Umar.
Arya kini adalah pion yang terperangkap. Ia tidak punya pilihan lain selain pergi menemui Olivia besok pagi—sebelum ia berangkat ke kantor nya.
...***...
Keesokan paginya, matahari belum sepenuhnya terbit. Udara masih dingin, dan Kediaman Aldridge diselimuti keheningan yang tegang setelah badai media semalam.
Arya sudah bangun, berpakaian rapi, dan siap untuk keluar. Ia tahu dia harus segera kembali menjalankan tugasnya di perusahaan, tetapi janji kepada Olivia mengikatnya lebih kuat daripada ancaman Kakek Umar.
Ia berjalan pelan ke luar kamar. Para pengawal yang berjaga kini bertambah dua kali lipat, tetapi mereka tidak mencegahnya keluar kamar, karena pertemuannya dengan Amara semalam dianggap sebagai tanda kepatuhan.
"Tuan Muda, Anda mau kemana sepagi ini?" tanya salah satu pengawal.
"Aku ada urusan di luar sebentar, sebelum aku ke kantor," jawab Arya, tanpa memberikan detail.
Pengawal itu ragu sejenak, tetapi tidak berani membantah karena Arya sudah kembali patuh. Mereka hanya mengangguk dan mengizinkannya pergi, sambil diam-diam mengikuti mobil Arya dari jauh untuk melaporkan setiap pergerakannya kepada Bima.
Arya memacu mobilnya menuju apartemen mewah Olivia. Ini adalah pertama kalinya ia menemuinya setelah konfrontasi semalam yang mengungkapkan rahasia Amara.
Saat tiba, Olivia sudah menunggunya di depan pintu. Begitu pintu terbuka, Olivia langsung menarik Arya masuk dan memeluknya erat, cemas.
"Arya, kamu datang! Aku takut sekali," kata Olivia, melepaskan pelukan itu dan menatapnya lekat-lekat.
"Aku sudah janji, Liv," kata Arya, wajahnya muram. Ia merasakan penyesalan mendalam karena telah menyeret Olivia ke dalam masalah yang sangat serius.
Mereka duduk di sofa.
"Tentang Amara... Aku minta maaf, Liv. Aku tidak seharusnya memintamu melakukan itu," kata Arya.
"Aku tahu, Sayang. Aku sudah menghentikan semuanya. Mereka tidak akan menemukan lagi," jawab Olivia. "Aku tidak tahu kalau... kalau itu karena Ibunya."
"Kakek dan Papa memblokir semuanya dengan cepat. Tapi mereka sudah tahu. Dan mereka mengancam kita, Liv. Kalau kamu melakukan hal gila lagi, kita berdua akan hancur," kata Arya, memperingatkan.
Olivia menyandarkan kepalanya di bahu Arya. "Aku hanya ingin kamu aman. Dan aku ingin kamu tahu bahwa apa pun yang terjadi, kamu adalah milikku."
"Aku tahu," bisik Arya.
Olivia mengangkat wajahnya dan menatap mata Arya. "Ulangi janji itu, Arya. Tepat sebelum kamu pergi ke neraka pernikahan itu. Aku butuh kamu bersumpah."
Arya tahu ini adalah perpisahan terakhir sebelum ia mengucapkan ikrar suci (dan palsu) dengan Amara. Ia harus meyakinkan Olivia, demi keselamatan mereka berdua.
"Aku bersumpah, Olivia," kata Arya, suaranya pelan dan tegas. "Aku akan menikahinya. Tapi aku tidak akan pernah menyentuhnya. Hati dan tubuhku hanya milikmu. Dia hanyalah boneka untuk Kakek Umar."
Ciuman Olivia mendarat di bibirnya, ciuman yang membenamkan janji itu, sebuah sumpah terlarang sebelum pernikahan yang diatur.
"Aku memegang kata-katamu, Arya," bisik Olivia.
"Aku harus pergi ke kantor sekarang, Liv. Kakek menungguku. Kita akan bicara setelah semuanya selesai," kata Arya.
Olivia mengangguk pasrah. "Hati-hati, Sayang. Sampai jumpa."
Arya meninggalkan apartemen Olivia, membawa janji gelap itu di saku jasnya. Ia memasuki mobil, dan kini, tujuannya berubah: bukan lagi mencari kebebasan, melainkan menjalankan peran pengantin pria palsu dengan hati yang sudah diserahkan kepada wanita lain.
...***...
Di Kediaman Wijaya, Amara dan Zayn duduk bersama di meja makan. Meskipun Zayn berusaha bersikap seolah tidak terjadi apa-apa, Amara bisa merasakan ada ketegangan yang disembunyikan ayahnya sejak kemarin.
Amara menatap Ayahnya .
"Pa," kata Amara.
"Ya, ada apa?" kata Zayn, tersenyum, tetapi senyum itu terasa dipaksakan.
"Papa baik-baik saja? Kemarin Papa ke mana? Amara lihat Papa pergi lagi. Papa habis dari mana?" tanya Amara, mengingat kecepatan ayahnya pulang dan pergi lagi setelah fitting.
"Ah... Itu," Zayn berusaha tenang. "Papa kembali ke kantor. Ada berkas yang tertinggal dan Papa kembali lagi untuk mengambilnya," bohong Zayn. Ia tidak mungkin menceritakan konfrontasi hebat di rumah Aldridge.
"Oh, begitu. Tapi tentang berita itu..."
Amara kembali mengangkat topik yang paling ditakuti Zayn.
"Amara, jangan pikirkan tentang itu," potong Zayn cepat, berusaha keras menyembunyikan kekhawatirannya. "Itu hanya perilaku orang iseng dan seseorang yang tidak menyukai keluarga kita. Lagipula itu hal biasa, abaikan saja. Oke?"
"Ya," kata Amara, meskipun ia mengangguk, tatapannya masih menyimpan pertanyaan.
Amara kembali menunduk ke makanannya.
Entah kenapa, seperti ada sesuatu yang disembunyikan oleh Papa, batin Amara. Ayahnya tidak pernah seserius ini hanya karena "berkas tertinggal."
Zayn menghela napas lega, tetapi hatinya masih berdebar.
Sepertinya Amara sudah mulai curiga. Aku harus bagaimana? Aku harus memastikan dia tidak pernah menemukan kebenaran itu. Demi kebahagiaannya, batin Zayn, bertekad.
Ia tahu, satu-satunya cara untuk meredam kekacauan ini adalah memastikan pernikahan itu berjalan sempurna, sekaligus memberi peringatan keras kepada Aldridge agar melindungi rahasia Amara.
Bersambung......