NovelToon NovelToon
Tumbuh Di Tanah Terlarang

Tumbuh Di Tanah Terlarang

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Berondong / Nikahmuda / Poligami / Duniahiburan / Matabatin
Popularitas:14.1k
Nilai: 5
Nama Author: Dewi Adra

Aruna telah lama terbiasa sendiri. Suaminya, Bagas, adalah fotografer alam liar yang lebih sering hidup di rimba daripada di rumah. Dari hutan hujan tropis hingga pegunungan asing, Bagas terus memburu momen langka untuk dibekukan dalam gambar dan dalam proses itu, perlahan membekukan hatinya sendiri dari sang istri.

Pernikahan mereka meredup. Bukan karena pertengkaran, tapi karena kesunyian yang terlalu lama dipelihara. Aruna, yang menyibukkan diri dengan perkebunan luas dan kecintaannya pada tanaman, mulai merasa seperti perempuan asing di rumahnya sendiri. Hingga datanglah Raka peneliti tanaman muda yang penuh semangat, yang tak sengaja menumbuhkan kembali sesuatu yang sudah lama mati di dalam diri Aruna.

Semua bermula dari diskusi ringan, tawa singkat, lalu hujan deras yang memaksa mereka berteduh berdua di sebuah saung tua. Di sanalah, untuk pertama kalinya, Aruna merasakan hangatnya perhatian… dan dinginnya dosa.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dewi Adra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

TDT 11

Aruna perlahan bangkit dari tempat tidur, berusaha tak membangunkan Bagas yang sudah tertidur pulas. Ia menatap suaminya sejenak lelaki yang dulu mampu membuatnya jatuh cinta tanpa ragu, namun kini terasa begitu jauh, begitu asing.

Dengan langkah pelan ia keluar kamar, menarik napas panjang. Hari ini akan panjang. Ia baru teringat belum sempat menelepon Bu Marni, asisten rumah tangga yang biasa membantunya memasak, mencuci, dan membereskan rumah. Padahal rumah sedang berantakan setelah kedatangan Bagas semalam. Tumpukan baju kotor dari dalam ransel belum selesai ia pilah. Peralatan kamera berserakan. Dapur belum tersentuh.

Aruna menghela napas. Bukan hanya karena pekerjaan rumah yang menanti, tapi karena hatinya yang masih berat berusaha membuang rasa sesak yang tadi tak bisa ia sampaikan.

Ia lalu mengikat rambutnya, menggulung lengan bajunya, dan mulai menyingsingkan hari dengan diam, tanpa keluh. Seperti biasa, ia memilih diam untuk menenangkan badai di dadanya.

Tak lama setelah Aruna menyingsingkan lengan bajunya, bel pagar berbunyi pelan. Bu Marni datang, seperti biasanya dengan senyum ramah dan langkah yang sigap. Aruna menyambutnya dengan senyum tipis, lalu mulai memberi instruksi tentang pekerjaan rumah yang perlu dibereskan hari ini. Tanpa banyak bertanya, Bu Marni segera bergerak, memulai dengan menyalakan mesin cuci untuk setumpuk pakaian kotor yang sudah menanti sejak semalam.

Sementara itu, Aruna membuka tudung saji di meja makan. Di sana masih tersisa dua potong ayam rica-rica masakan kemarin yang sempat mereka nikmati saat makan siang bersama Raka. Wajah Aruna menghangat. Ia tersenyum kecil, mengenang perbincangan hangat dan tatapan tenang dari pria itu.

Tapi kenangan itu segera buyar oleh kenyataan. Ia tahu, suaminya tak suka makanan yang dihangatkan. Bagas selalu menginginkan makanan segar. Dengan nada datar namun sopan, Aruna berkata pada Bu Marni, “Bu, ini ayam rica-rica masih ada dua potong. Bawa saja, ya. Sayang kalau dibuang.”

Aruna kembali tersenyum samar. Bukan karena rasa, tapi karena kenangan. Dua potong ayam itu mungkin tak berarti apa-apa bagi Bagas, tapi baginya, itu adalah sisa kecil dari rasa yang pelan-pelan tumbuh tanpa ia kehendaki.

___

Bagas masih tenggelam dalam dunianya sendiri, menyeka lensa kamera satu per satu dengan penuh ketekunan. Lengan kemejanya digulung sembarangan, dan aroma alkohol dari cairan pembersih kamera samar tercium di udara. Ia terlihat sibuk, bahkan terlalu sibuk untuk sekadar menyadari bahwa istrinya tengah mengamati dirinya dalam diam.

“Mas, makan siang yuk...” suara Aruna memecah keheningan, lembut tapi terdengar seperti rutinitas, bukan ajakan penuh kasih.

Bagas melirik singkat, lalu bangkit tanpa banyak bicara. Mereka duduk berdua di meja makan, menyendok nasi masing-masing tanpa percakapan. Tak ada tawa. Tak ada sentuhan. Hanya suara sendok mengenai piring, dan jarak yang terasa seperti dua samudra terbentang di antara mereka.

Tiba-tiba dari dapur, Bu Marni muncul, berkata setengah pelan tapi cukup jelas terdengar, “Bu... itu Mas Raka datang.”

Sendok di tangan Aruna terhenti. Degup jantungnya mendadak tak beraturan. Ia buru-buru berdiri, jari-jarinya menyibak rambut dengan refleks, dan matanya menatap ke cermin dinding memastikan dirinya masih tampak rapi.

Bagas menoleh sedikit, lalu kembali menunduk menatap piringnya, seolah tak peduli.

Dengan langkah terkontrol, Aruna keluar ke teras. Di sana, Raka berdiri rapi, satu tangan memegang buku catatan, satu lagi di saku celana. Saat melihat Aruna, senyumnya mengembang.

“Maaf, saya cuma mampir sebentar. Buku catatan saya tertinggal, dan sekalian laporan soal pemangkasan lahan tadi pagi...” katanya dengan nada sopan.

Aruna mengangguk, tersenyum tipis. “Iya, nggak apa-apa. Kamu ingat juga soal buku ini.”

Raka tersenyum. “Lagi makan, ya, Bu? Saya nggak mau ganggu...”

“Nggak ganggu sama sekali. Justru kamu datang pas banget.” Suaranya pelan, tapi ada sesuatu di baliknya sesuatu yang hanya bisa dirasakan oleh hati yang peka.

Raka bersikeras menolak.

Namun sebelum ia bisa mundur lebih jauh, tangan Aruna terulur, menyentuh pergelangan tangannya. Lembut tapi cukup kuat untuk menahan langkahnya. Raka terdiam. Hening yang mendadak menggantung di antara mereka seperti tirai tipis yang menggoda untuk disibak.

“Ayolah...” bisik Aruna, matanya menatap dalam. “Anggap saja ini bentuk terima kasihku. Lagipula... hari ini aku masak sendiri, bukan Bu Marni.”

Sentuhan itu bukan sekadar ajakan makan siang. Bukan pula sekadar keramahan seorang nyonya rumah. Itu adalah panggilan sunyi, yang bahkan tak berani diakui oleh pemiliknya sendiri.

Raka menarik napas pelan. Ia tahu ini bukan keputusan bijak, tapi entah kenapa, ia tak ingin pergi.

“Baiklah...” katanya, pelan, menyerah pada perasaan.

Dari balik jendela ruang makan, Bagas sempat melirik. Melihat siluet istrinya yang tertawa kecil.

“Siapa tamu itu?” pikir Bagas sambil melirik ke arah teras dari balik jendela ruang makan. Suaranya tak terlalu keras, tapi membuatnya penasaran.

Tak lama, Aruna masuk bersama pria itu. Senyumnya masih menggantung di bibir, tapi kini lebih formal, lebih berhati-hati.

“Mas,” ucap Aruna sambil menoleh ke arah suaminya. “Ini Raka... Raka Wirasatya, M.Si. Beliau peneliti tanaman dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan (Puslitbangbun) di bawah Badan Litbang Pertanian.

Raka mengangguk hormat. “Selamat siang, Pak Bagas.”

“Mas Raka ini aku minta bantuannya untuk meneliti kondisi perkebunan kita yang sedang terserang jamur dan virus akar. Sejak kemarin, beliau sudah turun ke lapangan.”

Bagas bangkit dari duduknya dengan gerakan malas. Ia mengulurkan tangan, berjabat sebentar. Tatapannya tajam tapi terselubung basa-basi.

“Bagas.”

“Raka,” balas pria itu sambil tersenyum sopan.

Dalam hati, Bagas menatap tajam pria di hadapannya. Wajahnya bersih, rahangnya tegas, dan caranya berdiri menunjukkan wibawa serta kedisiplinan. Pria itu tampak berpendidikan, penuh kendali, dan tidak berbicara sembarangan.

Tampan... berpendidikan... dan sudah beberapa hari bersama Aruna...? pikir Bagas lirih dalam hati.

Untuk sesaat, ada rasa yang sulit dijelaskan menggelitik dadanya. Ia belum tahu apa, tapi seperti alarm kecil yang menyalak pelan di pojok hatinya.

Aruna tampak santai, terlalu santai. Dan entah kenapa, Bagas baru menyadari ia sudah lama tidak melihat binar di mata istrinya saat berbicara tentang sesuatu... atau seseorang.

“Ayo makan siang dulu, Mas Raka,” ajak Aruna dengan senyum ramah, hampir seperti tuan rumah yang menyambut tamu kehormatan. Ia menoleh ke arah dapur. “Bu Marni, tolong siapkan satu piring lagi ya.”

Raka sempat menolak dengan sopan, tapi Aruna sudah menepuk lengannya ringan. “Sekalian saja. Kamu juga belum makan, kan?”

Bagas mengamati sentuhan itu. Ringan, wajar. Tapi cukup untuk membuat dadanya menghangat dengan rasa tak nyaman. Ia menarik kursinya kembali dan duduk, menatap pria di hadapannya yang kini bicara tentang perkebunan dan metode uji tanah.

Suasana meja makan terasa sedikit canggung, walau ditutupi dengan percakapan profesional.

“Jadi, jamur akar itu bisa tumbuh karena drainase kita terlalu lembap?” tanya Aruna sambil menuangkan air putih ke gelas Raka.

Raka mengangguk, menjelaskan secara detail, sementara Bagas diam, mengaduk nasinya pelan.

“Kalau tidak segera ditangani, bukan cuma panen tahun ini yang terancam. Jangka panjangnya bisa fatal,” jelas Raka.

Bagas menyendok semur daging yang tinggal sedikit, lalu menatap Raka tajam. “Kamu tinggal di daerah sini?”

Raka menoleh, sedikit kaget. “Oh... tidak, Mas. Saya tinggal di kontrakan dekat desa. Tiap pagi ke lokasi.”

“Bagus,” ujar Bagas pendek. Tatapannya lurus, seperti sedang mengukur sesuatu yang tak terucap.

Aruna menyela, tertawa kecil, mencoba mencairkan suasana. “Mas Bagas ini baru pulang dari Madagaskar. Baru semalam sampai.”

Aruna menoleh sambil tersenyum kecil. "Mas Bagas ini seorang fotografer alam liar," ucapnya, nada suaranya terdengar bangga dan hangat.

Raka mengangguk pelan, matanya memandang Bagas dengan penuh ketertarikan. "Wah, menarik sekali. Pasti banyak pengalaman luar biasa di balik setiap jepretan, ya, Mas," tuturnya sopan. "Profesi yang nggak cuma butuh keberanian, tapi juga kepekaan melihat sisi lain dari alam."

Bagas hanya mengangguk pelan. “Hutan. Binatang. Cuaca tak menentu. Sama aja.”

Suasana jadi hening sejenak.

Aruna melirik suaminya, lalu beralih ke Raka. Ia tahu dua pria ini sedang saling menilai, bahkan mungkin bersiap menjaga wilayah masing-masing.

Tapi yang membuatnya tersentak adalah kenyataan sejak kapan ia berada di tengah dua kutub yang diam-diam memanas?

Ia menunduk, menyendok sayur. Satu rasa aneh bergelung di dadanya. Rasa yang tak ingin ia akui bahwa makan siang ini membuatnya sadar ada seseorang yang membuatnya merasa dihargai, didengar, bahkan dipandang dengan cara yang tak lagi ia dapat dari suaminya.

Dan seseorang itu... bukan Bagas.

1
ovi eliani
ayo aruna waktunya bertindak , tlp bagus agarbmemberikan bukti ke polisi, biar bagas tau senjata makan tuan, biar dia yg masuk polisi biar tau rasa kamu bagas , biar bagas tau dingin nya jeruji besi, aku mwndukung mu aruna jgn kasih ampun bagas dan biar mata mak lampir juga terbuka bahwa kamu wanita yg baik aruna. semangat thor up nya tambah hreget ini.
R 💤
betul sih ini Thor...
R 💤
kok aku ikut seneng ya Raka gitu, dosa gak sih 🙈
R 💤: siap thorr 🙏🏻 kayaknya iya nih hehe
Dee: Tenang, itu tandanya kamu punya hati yang peka. Raka emang bikin suasana jadi adem ya~ Yuk terus ikuti kisahnya, siapa tahu kamu makin sayang sama dia 🤭💕"
total 2 replies
R 💤
bisa dikatakan ia lagi puber kedua gak sih
Dee: Siap Kakak, nanti aku coba mampir ya,🥰
R 💤: ditunggu Thor,, jika berkenan mampir di lapakku juga Thor hehe 👋🏻 CINTA TUAN MAFIA , terimakasih
total 3 replies
R 💤
acieee...Aruna berbunga bunga tuhh
R 💤
selamatkan juga hati ibu hehe
ovi eliani
up lagi dong thor ketemuain aruna dan raka ,pingin melihat bicara , mak lampir suruh pulang dulu sama pak lampir biar ngak nganggu...semangat thor up lg malam ini, ceritanya bikin penasaran
ovi eliani
ayo aruna kamu harus membela yg benar, suami mu sdh mulai gila, kasian raka dia tak bersalah. terus buat mak lampir minta maaf sama kamu sampai mengemis maaf mu karena sdh kurang ajar mulutnya
Daniah A Rahardian
puitis banget☺️
ovi eliani
sedih amat sih thor , seng sabar ya aruna, alon alon waton kelakon , awas aja kamu nyamuk nenek lampir tak sedot ubun2 mu, wes tue belagu , semangat thor kasihbpelajaran itu nyamuk mak lampir karo bagas laki2 tak berguna.
Daniah A Rahardian: Beneran deh tuh nyamuk mak lampir sama si Bagas emang udah kelewatan. Aruna tuh udah sabar banget, tapi ya gimana... kadang orang baik tuh malah disakitin mulu 😤.
total 1 replies
Daniah A Rahardian
Wow.. keren and puitis banget. Author emang pinter ya memilih kata2.
O ya aku udah jg ngeliat visual mereka di ig mu Thor, Aruna cantik banget dan Raka guanteng abis 🫶
Dee: Makasi Kakak, aku nyari yg pos buat karakter mereka.
total 1 replies
xia~xiaoling
ngena banget kata2 e aruna...kyk e aruna ini puitis banget deh...suka ma karakter aruna
Dee: Makasii! Senang banget Aruna bisa nyampe di hati Kakak😍
total 1 replies
Daniah A Rahardian
Suami 🤬🤬
Dee: Sabar... sabar...☺️
total 1 replies
ovi eliani
aku suka kesal sama nyamuk nyamuk ini selalu heboh embok ya di dengarkan dulu, no sono laporin aja bagas nya biar tau rasa, nyamuk sama bagas memang cocok kumpulan manusia pencinta hutan jadi hifup seenaknya aja. lho kate kebun binatang, semangat thor aku jd gregetan bacanya, sholat dulu ya.
Dee: Memang ya nyamuk dan Bagas tuh kombinasi bikin emosi, tapi tenang... nanti ada kejutan buat mereka, ditunggu terus yaa~ Makasih banyak udah baca dan komen seru begini, semangat terus dan selamat beribadah juga ya kak ,💚🙏
total 1 replies
ovi eliani
aruna aruna saksi ya kan ada para pekerja kan melihat, twrutama kamu melihat sendiri, ngaoain hidup dgn bagas yg egois, lupa kan hempaskan masih banyak laki laki yg lain, semangat aruna ..
ovi eliani
thor up dobble biar tambah semangat bacanya, maunya aruna urusi raka aja, bagas buang aja ke laut
Daniah A Rahardian
Thor pliss...jgn kamu buat kayak di "Ternyata Hanya Kamu Cintaku", nanti aku nangis lagi nih! Aku jadi inget Alex😭
ovi eliani
wah wah mulai agak panas in ceritanyai seperti panas nya matahari di siang hari , bagas2 sekarang aja cemburu orak dewasa dewasa diri mu son son, udah raka laporkan bagas dengan tindak pidana main hakim sendiri biar mampus terkubur di penjara sepertih aruna yg hatinya tetpenjara di hati raka, Hidup adalah perjalanan, jangan lelah untuk terus berjuang. semangat thor buat ceruta yg lebih panas wkwkwwk
ovi eliani
belum greget ini thor, mau yang jeng jeng disaat aruna raka berdua, suami yg tak berguna datang. maaf ya thor bukan berarti aku setuju dhn perselingkuhan tp manusia punya batas kesabaran karena kelah nya wanita akan berujung dengan ke tidak pedulian. wahar klo bagas diberi pelajaran buat sadar diri , dobble up atuh thor semabgat benar bacanya.
xia~xiaoling
baca kayak nak muda lg kasmaran thor..pd hal ini yg bc emak2 berdaster..wkwkwk
Dee: Hahahaha... emak berdaster juga boleh dong kasmaran lagi!, semoga tetap bikin hati deg-degan yaa 😄💖
Tapi justru pembaca setia kayak emak-emak berdaster lho yang paling tulus menikmati cerita😁
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!