Mursyidah Awaliyah adalah seorang TKW yang sudah lima tahun bekerja di luar negeri dan memutuskan untuk pulang ke kampungnya. Tanpa dia tahu ternyata suaminya menikah lagi diam-diam dengan mantan kekasihnya di masa sekolah. Suami Mursyidah membawa istri mudanya itu tinggal di rumah yang dibangun dari uang gaji Mursyidah dan bahkan semua biaya hidup suaminya dan juga istrinya itu dari gaji Mursyidah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hasri Ani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
RINDU DAN DUKA
Tubuh Mursyidah meluruh ke lantai, tidak siap mendengar berita duka yang disampaikan oleh mbok Walijah. Dia meraung kencang, wajahnya memucat menangisi kepergian ibunya yang terasa tiba-tiba. Mursyidah memeluk erat lututnya mencari kenyamanan dalam keheningan yang menusuk hati. Mursyidah menangis tanpa suara.
Ruang tamu itu kembali sunyi. Tidak ada lagi raungan Mursyidah yang menangisi kepergian ibunya. Satu-satu isaknya masih terdengar karena dia belum bisa menghentikan tangisnya. Dia menyesali dan menyalahkan dirinya sendiri yang terlambat tahu dan juga orang-orang terdekatnya yang tidak memberitahu.
"Kenapa mbok? Kenapa semua ini terjadi sama ibu. Beliau masih sehat dan bugar waktu aku tinggalkan. Ibuku itu masih muda mbok, bahkan belum lima puluh tahun."
Mursyidah menggeleng beberapa kali berusaha untuk tidak percaya dengan semua yang dia dengar tentang ibunya. Mbok Walijah yang jauh lebih tua dari ibunya saja dan terlihat ringkih nyatanya masih segar dan sehat. Bagaimana mungkin ibunya yang masih sangat sehat dan kuat saat dia tinggal, sekarang kenyataannya sudah pergi terlebih dulu. Pergi untuk selamanya menghadap sang pencipta.
"Umur manusia kita tidak pernah tau nduk, mungkin ini sudah takdir ibumu. Tiga bulan yang lalu ibumu
Terkena serangan jantung, dia pingsan tiba-tiba. Waktu itu sempat dibawa ke rumah sakit, tapi seminggu kemudian ibumu menghembuskan napas terakhirnya," lirih mbok Walijah. Wajahnya tertunduk sedih di depan Mursyidah, sementara tangannya bergerak naik turun mengusap lengan Mursyidah yang masih terisak.
Dengan berat hati, Mursyidah memang sudah mengikhlaskan kepergian ibunya. Namun, tetap saja dia tidak bisa menghentikan tangisnya karena kehilangan. Mursyidah mencoba menghadirkan kembali kenangan manis bersama ibunya. Namun kenangan manis itu terasa pahit, membawa rasa kehilangan yang tak terhingga.
Begitu banyak penyesalan di dalam hatinya.
"kenapa tidak ada yang memberitahu aku mbok?
Salahku apa sampai kalian tidak mau memberitahu aku. Seandainya aku tahu, aku pasti pulang mbok. Paling tidak aku bisa melihat ibu sebelum dimakamkan," sesal Mursyidah di sela-sela isak tangisnya.
"itulah sebabnya nduk... suamimu melarang memberitahu. Dia khawatir mengganggu pekerjaanmu di sana karena kamu kan terikat kontrak kerja. Karena omongan suamimu itulah mbok tidak berani memberitahumu, mbok khawatir terjadi apa-apa padamu. Begitu juga dengan Aini, adikmu itu sangat mengkhwatir kan mu," jawab mbok walijah sambil menatap wajah mursyidah yang sudah sembab karena menangis.
Airmata wanita itu masih saja mengalir meski tak lagi terdengar sedu sedannya. Dia menangis dalam diam.
"Jadi mas Gun yang melarang memberitahu aku? Lalu kenapa Aini setuju saja, dia juga tidak memberitahu aku? Apa dia sama seperti mas Gun? Menyembunyikan kematian ibu? Kenapa kalian semua tega sama aku. Apa salahku mbok? Ini ibuku loh, ibu kandungku."
Mursyidah memukul dadanya beberapa kali. Pukulan yang cukup keras itu menimbulkan bunyi hingga membuat mbok Walijah menarik tangan Mursyidah.
"Sudah nduk, sayang... jangan menyakiti dirimu sendiri. Kamu tidak salah, kami yang salah." Mbok Walijah membawa Mursyidah ke dalam pelukannya.
Wanita tua itu ikut meneteskan air mata.
Mursyidah Kembali terisak. Air matanya Kembali mengucur deras, bahkan bahunya bergetar hebat.
Teringat Kembali kebersamaannya dengan sang ibu. Mursyidah mendengus pelan, ingat tiga bulan yang lalu dia menelepon suaminya. Entahlah, Ketika itu ibunya masih ada atau sudah meninggal. Suaminya itu sama sekali tidak menyinggung perihal ibunya. Padahal kala itu mereka mengobrol lama bahkan Mursyidah menitipkan kiriman uang untuk ibunya.
Dada Mursyidah sakit mengingat semua itu. Rasanya ingin dia sekarang menemui suaminya dan menanyakan alasan suaminya itu. Mbok walijah mengusap kepala belakang Mursyidah membiarkan wanita muda itu menangis menumpahkan semua kesedihannya.
"Menangislah nduk jika itu dapat membuatmu merasa lebih baik. Menangislah! Lepaskan semua bebanmu agar kamu merasa lega."
Setelah beberapa menit berlalu, Mursyidah mulai dapat menenangkan dirinya. Mbok Walijah mengurai pelukannya.
"Mau mbok buatkan minum nduk?" tanya mbok Walijah pelan. Mursyidah mengangguk lemah.
Tenggorokannya memang terasa kering sekarang. Dia membiarkan mbok Walijah berjalan ke belakang menuju dapur meninggalkannya seorang diri di ruang tamu.
Mursyidah duduk seorang diri di ruang tamu, menunduk mengamati lantai yang masih dipasang plester itu. Mungkin keuangan ibunya tidak cukup untuk membeli keramik, makanya ruangan bagian dalam hanya dipasang plester.
Mursyidah menengadah menatap langit-langit untuk menahan laju airmata yang selalu ingin keluar. Langit-langit rumah itu hanya memakai triplek biasa. Terkesan seadanya, tapi cukuplah untuk menutupi dan memperindah ruang tamu.
Mbok Walijah keluar dengan segelas teh hangat. Entah dari mana dia mendapatkan air panas. Mungkin dimasaknya di dapur atau dia pulang mengambil ke rumahnya.
"silahkan diminum dulu nduk, biar tenggorokanmu nggak kering." Mbok Walijah menyerahkan gelas yang dipegangnya. Mursyidah mengambil gelas itu dan meneguk isinya perlahan. Terasa hangat di tenggorokannya.
"Setelah ini ambil wudhu dulu ya nduk, sudah masuk waktu ashar. Sholat, biar pikiranmu tenang. Doakan juga ibumu." Suruh mbok walijah.
"Mau di sini atau di rumah mbok?" tawar mbok walijah sebelum dia melangkah keluar.
Mursyidah menggelengkan kepalanya. Rasanya dia belum sanggup untuk keluar dari rumahnya. Rumah tempatnya menghabiskan masa kecil, yang dulu penuh dengan tawa dan canda. Biarlah dia tinggal sendiri di rumahnya saat ini, mencoba menghidupkan kenangan yang masih tersisa. Toh, rumahnya itu masih tampak bersih dan tidak berdebu, mungkin setiap hari dibersihkan oleh Mbok walijah.
Setelah puas sepanjang sore menangis hingga matanya bengkak dan sembab, Mursyidah duduk di kamarnya menghadap jendela yang terbuka.
Senja baru saja berlalu dari pelukan hari disambut malam yang perlahan datang. Mursyidah melepas pandangan keluar jendela yang tampak kelam. Tidak ada cahaya sama sekali di sana yang ada hanyalah kesunyian dan kegelapan seperti hati Mursyidah saat ini. Sunyi dan meraba-raba dalam gelap setelah kehilangan dan ditinggal tiba-tiba oleh ibunya, wanita yang sangat dicintainya.
Mursyidah Kembali mengusap airmatanya yang selalu keluar setiap mengingat ibunya. Dulu, Ketika masih kecil dan kehilangan ayahnya untuk selamanya, dia masih bisa ceria dan dapat meneruskan hidup. Itu karena di sampingnya ada wanita hebat yang selalu menguatkannya, yaitu ibunya. Namun sekarang Ketika dia sudah dewasa, sudah mandiri dan dapat mengurus dan memenuhi kebutuhannya sendiri, dia tidak sanggup kehilangan ibunya. Dunianya runtuh seketika. Jatuh sejatuh-jatuhnya.
Saat ini Mursyidah benar-benar merasa tidak berdaya. Dia merasa separuh jiwanya telah pergi meninggalkannya. Mursyidah menarik nafas panjang dan dalam sebelum menghembuskannya perlahan-lahan, seolah melepaskan semua beban dan kecemasan yang ada dalam dirinya. Dia beberapa kali menyusut airmatanya yang tidak berhenti mengalir.
Mursyidah menutup jendela kamar meninggalkan gelap di luar sana, lalu menggulung tikar kecil yang tadi dipakainya buat sholat. Dari arah kuar kamar terdengar suara Langkah kaki mendekat.
"Aliyah? Kamu sudah pulang nak?"
"Ibu???"
Mursyidah tidak percaya dengan penglihatan nya.
Apakah karena dia terlalu rindu pada ibunya sehingga kini ia ingin merasakan kehadiran ibunya ataukah dia terlalu berduka hingga ia seolah melihat kehadiran ibunya?
aku suka cerita halu yg realitis.