NovelToon NovelToon
MERRIED WITH YOUNG BOY

MERRIED WITH YOUNG BOY

Status: sedang berlangsung
Genre:Dijodohkan Orang Tua / Nikahmuda / CEO / Berondong
Popularitas:4k
Nilai: 5
Nama Author: LaruArun

"Kenapa harus aku yang menikah dengannya?”


Ava Estella tak pernah membayangkan hidupnya akan berubah sedrastis ini. Setelah kehilangan kekasihnya—putra sulung keluarga Alder—ia hanya ingin berduka dengan tenang. Namun keluarga Alder terlanjur menaruh rasa sayang padanya; bagi mereka, Ava adalah calon menantu ideal yang tak boleh dilepaskan begitu saja.

Demi menjaga nama baik keluarga dan masa depan Ava, mereka mengambil keputusan sepihak: menjodohkannya dengan Arash, putra kedua yang terkenal keras kepala, sulit diatur, dan jauh dari kata lembut.

Arash, yang tak pernah suka diatur, menanggapi keputusan itu dengan dingin.
“Kalau begitu, akan kubuat dia meminta cerai sebelum satu bulan.”

Dua pribadi yang sama sekali berbeda kini dipaksa berada dalam satu ikatan.

Apakah pernikahan ini akan membawa mereka pada jalan yang diharapkan keluarga Alder?
Atau justru membuka luka, rahasia, dan perasaan yang tak pernah mereka duga sebelumnya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon LaruArun, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 2 GEDUNG PERNIKAHAN

Setelah malam sebelumnya dihabiskan untuk makan bersama keluarga Alder, pagi ini Ava sudah duduk di meja makan bersama ayahnya. Cahaya matahari jatuh melalui jendela besar ruang makan, menimpa taplak putih bersih yang selalu diganti setiap pagi oleh Bi Amy. Aroma kopi ayahnya menyatu dengan wangi roti panggang, membuat suasana rumah yang selalu tenang itu terasa hangat—hangat dengan cara yang berbeda dari keluarga Martin, tapi sama menenteramkan.

Tak ada orang lain selain mereka berdua. Keheningan rumah itu bukan keheningan yang menyakitkan, melainkan keheningan yang sudah akrab. Ava adalah anak tunggal; ibunya meninggal ketika ia masih kecil. Namun Luis Soren, dengan semua kelemahannya sebagai seorang ayah tunggal, memilih untuk tidak menikah lagi dan fokus membesarkan putrinya. Andai orang lain melihat, mungkin mereka akan mengira rumah itu terlalu sepi. Tetapi bagi Ava, inilah rumah yang penuh kenangan dan cinta.

“Kenapa Martin tidak mampir semalam?” tanya Luis, memecah kesunyian dengan suara rendah dan hangat.

Ava menoleh, masih mengunyah roti yang renyah. Pipinya menggembung sedikit. “Katanya takut mengganggu ayah, jadi dia hanya titip salam,” ujarnya setelah menelan.

“Begitu ya.” Luis mengangguk pelan. Ada garis halus kecemasan yang sempat muncul di dahinya—kecemasan seorang ayah yang akan melepas putrinya dalam waktu dekat. “Bagaimana persiapan pernikahanmu, Nak?”

“Ava sudah hampir selesai dengan gaunnya. Sisanya Martin yang urus,” jawab Ava sambil tersenyum tipis. Meski sederhana, matanya berbinar setiap kali menyebut nama calon suaminya.

Ya, pernikahan mereka tinggal satu bulan lagi. Semua terasa berjalan begitu cepat, tapi juga begitu tepat.

“Baguslah. Kalau kau perlu sesuatu, katakan pada Ayah,” ucap Luis. Tangannya yang mulai dipenuhi garis usia terulur, menyentuh bahu Ava dengan lembut. Sentuhan itu mengandung kehangatan sekaligus kekhawatiran kecil.

Ava mengangguk. “Hari ini Ava berangkat bersama Ayah, ya. Soalnya semalam Ava menyimpan mobil di butik.”

“Baiklah.”

Usai sarapan, mereka berangkat bersama. Seperti biasa, rumah diserahkan pada Bi Amy yang akan mengurus semuanya—tirai, tanaman, bahkan kebiasaan kecil Ava yang suka meninggalkan cangkir kosong di meja ruang tamu.

Setibanya di depan butik, Ava membuka sabuk pengamannya. Udara pagi yang masih sejuk menyelinap masuk saat pintu mobil terbuka. Ia mencondongkan tubuh dan mencium pipi ayahnya. “Hati-hati di jalan, Ayah.”

Luis mengangguk sambil tersenyum kecil, lalu menutup jendela dan menginjak gas. Mobil itu perlahan menyatu dengan arus kendaraan, kemudian menghilang di tikungan. Ava masih melambaikan tangan sampai warna mobil itu tak terlihat lagi, sebelum akhirnya melangkah melintasi trotoar menuju butik.

Begitu masuk, aroma pengharum ruangan langsung menyambutnya—wangi bunga yang lembut, bercampur aroma kain baru. Rekan-rekan kerjanya menyapa, beberapa tersenyum, beberapa hanya mengangguk sambil tetap sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Butik itu bukan miliknya, tapi Ava menyimpan mimpi untuk memiliki brand sendiri. Bahkan tahun ini ia berharap bisa mengadakan fashion show pertamanya.

“Ava!” panggil seseorang.

Ia menoleh. Seorang wanita dengan penampilan glamor dan make-up tebal menghampiri— Irene, pemilik butik. Langkahnya cepat, suaranya tegas.

“Iya?”

“Hari ini klien kita yang aktris itu akan datang untuk fitting. Siapkan semuanya,” ujarnya tanpa basa-basi.

“Baik, nanti Ava siapkan.”

Ava menuju mejanya, menyimpan tas, lalu duduk untuk menata desain baru. Ketika ia sedang memilih kombinasi warna, Bella—teman sekaligus partner kerjanya—menyodorkan permen.

“Kau pasti pusing dengan permintaan klien yang aneh-aneh,” katanya sambil menaikkan alis.

Ava tertawa kecil. “Thank you, Bella. Kau memang partner terbaik.”

“Always.” Bella terkekeh. Rambutnya yang di cat merah tua berkilau tertimpa lampu butik.

“Bagaimana persiapan pernikahanmu?” bisiknya.

“Sudah 70%.”

“Wah, aku tidak sabar melihatmu pakai gaun pengantin!”

Ava mencebikkan bibir. “Lebih baik kau bantu aku cari kain ini dulu.” Ia menyerahkan potongan kain peach.

“Siap, nona calon pengantin.” Bella langsung bergegas menuju rak kain.

Sementara di tempat lain, di sebuah gedung tinggi yang berdiri tegak di pusat kota, Martin tenggelam dalam tumpukan pekerjaan. Ruangannya luas, modern, dengan dinding kaca yang menampilkan pemandangan kota yang bergerak tak pernah tidur. Di meja kerjanya, berkas-berkas bertumpuk seperti bukit kecil, laptop menyala dengan puluhan email menunggu dibalas. Namun, meski sibuk, sorot mata Martin tetap fokus dan teratur—karakter yang membuatnya dipercaya untuk memimpin banyak hal sekaligus.

Untungnya, Arash datang untuk membantunya. Kehadiran adiknya itu sedikit meringankan beban kerja, sekaligus menjadi kesempatan bagi Arash belajar mengelola perusahaan. Meskipun, hubungan mereka akhir-akhir ini tidak sepenuhnya mulus; beberapa hari sebelumnya mereka sempat cekcok karena Arash—dengan kepala batu khasnya—tidak selalu mau mendengarkan saran Martin.

“Tolong kau berikan ini pada Papa,” ucap Martin sambil menyodorkan dokumen tebal berisi laporan yang harus segera ditandatangani.

Arash menerimanya dengan gerakan cepat. Tanpa banyak kata, ia berbalik dan keluar dari ruangan kakaknya. Pintu berdesis pelan saat menutup, meninggalkan suara AC dan ketukan keyboard Martin.

Di lorong, Arash menghela napas panjang. “Kenapa aku harus mengurus perusahaan ini? Aku lebih suka mengurus urusanku sendiri…” gumamnya dengan suara kesal. Ia masuk ke dalam lift, menekan tombol lantai 13, tempat kantor ayahnya berada. Lift bergulir naik, diperindah oleh pantulan wajah Arash di dinding metalik—wajah yang tampak muda namun menyimpan kegelisahan tersendiri.

Denting lift terbuka, memperlihatkan lorong panjang yang lebih sunyi dibanding lantai Martin. Hanya gemerisik AC dan suara langkah sepatu Arash yang terdengar, memantul dari lantai marmer.

Arash mendorong pintu kantor ayahnya dengan satu tangan. Ruangan itu lebih tenang, lebih formal, dengan aroma kopi hangat dan berkas-berkas yang tertata rapi. Agam duduk di balik meja besar dari kayu gelap, kacamata setengah bingkai bertengger di hidungnya saat ia menelaah dokumen yang lain.

“Kakak menyuruhku memberikan ini pada Papa,” ujar Arash seraya meletakkan dokumen tersebut di atas meja.

Agam mengangguk, mengambil dokumen itu dan langsung membukanya. “Terima kasih,” ucapnya, suara tenang namun tetap penuh wibawa. Ia menutup berkas setelah mengecek beberapa halaman. “Bagaimana? Apa kau tertarik bekerja di sini?” tanyanya sambil mencermati wajah Arash.

Arash menahan nafas sejenak. Kepalanya terangkat, tetapi matanya tampak gelisah. “Arash tidak suka disuruh-suruh, apalagi oleh Kak Martin. Arash ingin bekerja dengan bidang yang Arash suka,” jawabnya jujur.

Agam meletakkan pena di mejanya. “Jadi kau mau apa?” tanyanya lebih dalam. “Apa kau mau balapan dan membuka bar lagi?”

Pertanyaan itu menggantung lama di udara. Arash diam. Ia memang suka balapan; dunia itu memberi sensasi kebebasan yang tidak ia temukan di manapun. Ia juga memiliki beberapa bar yang dikelolanya. Tapi yang benar-benar ia minati adalah bidang yang sesuai jurusan kuliahnya—software engineer. Sesuatu yang tidak banyak diketahui orang luar karena Arash jarang memperlihatkannya.

Akhirnya ia membuka suara. “Arash mau bekerja di sini… tapi Arash tidak mau jadi bawahan Kak Martin.”

Agam menarik napas perlahan, memperhatikan anak bungsunya itu. “Kau bukan bawahan Martin. Kau sedang belajar pada kakakmu sendiri. Apa itu salah?” tanyanya dengan nada lebih lembut.

“Arash tahu…” Arash memalingkan wajah sejenak. “Tapi Arash tetap tidak mau disuruh ini itu olehnya.”

Agam menghela napas panjang, napas khas orang tua yang sudah terbiasa menghadapi kepala batu anaknya. Ia mengenal Arash lebih dari siapa pun—keras, jujur, penuh ego, tapi juga memiliki potensi besar. “Baiklah,” ucapnya akhirnya. “Tapi kau harus pulang malam ini. Kita makan malam bersama calon kakak iparmu.”

Arash memutar bola matanya kecil, namun tak lagi membantah. “Baiklah,” katanya pasrah.

Ia pun pamit, membuka pintu, dan melangkah keluar. Lorong sunyi menyambutnya kembali, seolah mengingatkan bahwa apa pun jalannya nanti, dunia tempat ia berdiri sekarang menunggunya untuk mengambil keputusan.

...----------------...

Hari telah merambat menuju penghujungnya. Langit yang tadinya biru perlahan berubah menjadi jingga keemasan, seperti sapuan kuas lembut yang menutup hari dengan tenang. Di dalam butik, suara mesin jahit mulai menghilang satu per satu, digantikan oleh suara kursi yang digeser dan langkah-langkah karyawan yang bersiap pulang. Beberapa membawa pekerjaan mereka, beberapa lagi memilih menyelesaikannya besok.

Ava pun merapikan mejanya, memasukkan sketsa gaun yang belum ia sempurnakan ke dalam map khusus sebelum menyimpannya ke dalam tas. “Bella, aku duluan,” ucapnya sambil menutup ritsleting tas.

Bella menoleh, rambut merahnya memantulkan cahaya lampu butik yang mulai meredup. “Kau membawa sketsa yang diminta artis itu?”

“Iya,” jawab Ava sambil menghela napas kecil. “Aku akan melanjutkannya di rumah supaya lebih cepat.” Ia kemudian memeluk sahabatnya itu erat—pelukan hangat yang sudah seperti rutinitas ketika salah satu dari mereka hendak pulang lebih dulu.

“Kau hati-hati di jalan, ya,” ucap Bella sambil menepuk punggung Ava.

“Iya. Makanya lepaskan aku,” canda Ava, memukul lengan Bella pelan. Bella terkekeh dan melepaskannya dengan enggan, lalu kembali ke meja kerjanya sementara Ava melangkah pergi.

Begitu keluar dari butik, angin sore langsung menyapa, meniup rambut hitam Ava hingga beberapa helai menari dan menutupi pandangannya. Ia menyibakkannya dengan satu tangan sambil mencari-cari kunci mobil di dalam tasnya. Langit jingga di atasnya memberi nuansa hangat, membuat hari yang melelahkan terasa sedikit lebih ringan.

Namun langkahnya terhenti begitu ia melihat seseorang duduk santai di kap mobilnya.

“Martin.” Suaranya spontan berubah cerah, senyumnya mengembang sebelum ia berlari kecil menghampiri pria itu dan langsung memeluknya.

Martin membalas pelukkan itu, satu tangannya melingkari pinggang Ava, sementara yang lain membelai rambutnya. Ia menunduk sedikit, mencium puncak kepala Ava dengan penuh kasih. “Bagaimana harimu?”

Ava bertahan dalam pelukan itu beberapa detik lagi, seolah sedang mengumpulkan kembali energinya dari aroma parfum Martin yang familiar dan menenangkan. “Klienku hari ini menyebalkan,” keluhnya. “Dia mintaku membuat gaun untuk acara award. Setelah aku buat, dia bilang kurang glamor dan terlalu simpel. Padahal sebelumnya dia sendiri yang minta seperti itu.”

“Berarti kau lelah hari ini?” tanya Martin lembut.

Ava melepas pelukan dan menatapnya bingung. “Kenapa memangnya? Oh iya, dan kenapa kau ada di sini?”

Martin menyentuh pipinya, ibu jarinya mengusap lembut kulit Ava. Tatapannya hangat, penuh cinta yang tidak pernah berubah sejak awal. “Aku kemari menjemputmu. Karena malam ini kita makan malam bersama.”

“Lagi?” Ava merengut kecil. Pipi bulatnya menggembung, membuat Martin harus menahan diri untuk tidak mencubitnya.

“Iya, sayang.” Ia tertawa pelan. “Tapi sebelum itu, aku ingin mengajakmu melihat gedung tempat pernikahan kita nanti.”

“Ah, Martin… aku lelah. Tidak bisakah kau urus semuanya?”

Martin mencondongkan wajahnya, mengecup bibir Ava singkat—lembut, namun cukup untuk membuat aliran hangat menjalar dari dada hingga wajah Ava. “Masih lelah?” tanyanya dengan senyum menggoda.

Wajah Ava langsung memerah. Ia menunduk sebelum menggeleng pelan.

“Baiklah. Kita berangkat sekarang, ya.” Martin membuka pintu mobil untuknya dengan penuh perhatian, menutupnya perlahan setelah Ava duduk.

Setelah masuk ke kursi pengemudi, Martin menyalakan mesin. Sementara itu Ava sudah sibuk dengan ponselnya.

“Aku sudah memberitahu Ayah kalau aku pergi denganmu dan makan malam bersama keluargamu,” ucap Ava sambil tersenyum.

Martin mengangguk dan mulai melajukan mobil. Mereka bergerak menuju gedung yang, dalam waktu dekat, akan menjadi saksi janji cinta mereka.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

📌 Halo, terima kasih udah mampir 🤗 jangan lupa tinggalkan jejak dengan like dan komen yaa❤️

1
Sri Peni
ceritanya bagus aq lebih tertarik pd diksinya.
Sri Peni
updatenya jgn lama2
Sri Peni
apakah ini novel terjmahan? krn diksinya benar2 pas bagiku. . benar2 bahasa sastra. maaf baru kali ini aq bc , cerita yg bhsnya bagus .. sulitdibahas dgn tertulis
Ig ; LaruArun: Bukan ka, ini bukan novel terjemahan. cerita ini pure isi kepala aku. btw, terimakasih banyak karena udah mampir dan mohon dukungannya 🥰
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!