Ketika Violetta Quinn, saudari kembar yang lembut dan penurut, ditemukan tak sadarkan diri akibat percobaan bunuh diri, Victoria Thompson tak bisa menerima kenyataan itu begitu saja. Tidak ada yang tahu alasan di balik keputusasaan Violetta, hanya satu kenangan samar dari sang ibu: malam sebelum tragedi, Violetta pulang kerja sambil menangis dan berkata bahwa ia 'Tidak sanggup lagi'.
Didorong rasa bersalah dan amarah, Victoria memutuskan untuk menyamar menggantikan Violetta di tempat kerjanya. Namun pencarian kebenaran itu justru membawanya ke dalam dunia gelap yang selama ini Victoria pimpin sendiri; Black Viper. Jaringan mafia yang terkenal kejam.
Di sanalah Victoria berhadapan dengan Julius Lemington, pemilik perusahaan yang ternyata klien tetap sindikat Victoria. Tapi ketika Julius mulai mencurigai identitas Victoria, permainan berbahaya pun dimulai.
Victoria masuk dalam obsesi Julius.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Archiemorarty, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 2. RAMAH?
Langit Oakland berwarna keperakan pagi itu, memantulkan cahaya mentari ke jendela-jendela tinggi gedung DeLuca Company.
Menara kaca setinggi tiga puluh lantai itu berdiri megah di tengah distrik bisnis, berkilau, berkelas, dan dingin seperti reputasi pemiliknya.
Victoria Thompson menarik napas panjang sebelum melangkah keluar dari mobil hitam yang berhenti di depan lobi utama.
Hari ini, ia bukan Victoria Thompson.
Hari ini, ia adalah Violetta Quinn.
Ia mengenakan blus satin lembut warna gading dengan rok midi pastel, rambut cokelatnya disisir bergelombang seperti biasa gaya adik kembarnya, dan di matanya terselip lensa kontak berwarna cokelat untuk menyembunyikan mata biru Victoria yang memang berbeda dengan kembarannya itu.
Cermin kecil di tangannya memantulkan sosok yang bukan dirinya.
Lembut. Rapuh. Naif.
Sebuah topeng sempurna untuk memainkan peran hari ini.
Victoria menatap pantulan dirinya sekali lagi, lalu tersenyum tipis.
"Sempurna," gumamnya pelan.
Bibir membentuk senyum hangat yang terlatih, tapi di baliknya, pikirannya bekerja seperti mesin perang.
Di dalam tas tersimpan ponsel Violetta, kini telah dibuka sepenuhnya berkat keahlian yang Victoria pelajari sebagai petinggi kelompok yang dipimpin oleh ayahnya. Semua data sudah disalin. Semua pesan, foto, dan rekaman disimpan aman. Tapi satu hal yang belum ditemukan: siapa sebenarnya musuh Violetta.
Victoria menutup cermin dan melangkah ke dalam gedung.
Lobi DeLuca Company tampak seperti dunia lain, marmer putih berkilau, tanaman hijau yang dirawat sempurna, dan aroma lembut lavender yang menyelimuti udara.
Orang-orang berjalan cepat, membawa map dan laptop, dengan senyum yang tampak dipahat demi kesopanan.
Semuanya terlihat normal. Terlalu normal, pikir Victoria.
Ia menuju resepsionis.
Perempuan muda berambut pirang tersenyum ketika melihatnya. Ia melihat nametag perempuan itu: Clara Heyns.
"Miss Quinn!" serunya riang. "Senang sekali melihat Anda kembali! Semua orang merindukan Anda!"
Victoria sempat kaget kecil, tapi cepat menyesuaikan diri. Ia tersenyum lembut, senyum khas Violetta. "Terima kasih, aku juga senang bisa kembali."
Suaranya dibuat lembut dan sedikit gemetar, seolah benar-benar baru pulih.
"Bagaimana kabarnya sekarang?" tanya sang resepsionis penuh perhatian.
"Oh, masih sedikit pusing. Tapi ... aku sudah jauh lebih baik," jawab Victoria lembut.
"Syukurlah." Gadis itu tampak tulus ... atau pura-pura sangat baik. "Mereka di lantai dua belas sudah menyiapkan kejutan kecil, lho!"
Victoria mengerjap. "Kejutan?"
Resepsionis menutup mulutnya cepat. "Ah .. ups! Lupakan! Itu rahasia."
Victoria menahan tawa kecil, memainkan perannya sempurna. "Baiklah. Terima kasih, Clara."
Begitu elevator tertutup, senyumnya menghilang.
Wajahnya kembali datar, mata dingin memantau angka di panel. Lantai dua belas, departemen desain dan komunikasi, tempat Violetta bekerja sebagai asisten proyek kreatif.
Victoria menyiapkan ponsel, membuka pesan yang sudah ia kirim ke salah satu rekan kerja Violetta, David Walker.
"Hai, David. Aku baru pulih dari kecelakaan mobil, tapi sedikit kehilangan ingatan. Maaf kalau aku agak aneh nanti di kantor. Bisa bantu aku mengingat apa saja yang perlu kulakukan hari ini?"
Pesan itu terkirim dini hari tadi, dan David sudah menjawab:
"Astaga, Violetta! Syukurlah kau selamat. Jangan khawatir, aku bantu kok. Kau hanya perlu datang, aku urus semua yang lain. Dan kenapa tidak memberitahuku lebih awal!"
Victoria sempat bertanya singkat tentang suasana kantor, dan David hanya membalas:
"Semuanya baik-baik saja. Kau akan lihat sendiri nanti."
Dan sekarang, ketika pintu elevator terbuka, ia menyadari betapa sarkastiknya kalimat itu.
Bunyi ledakan kecil terdengar begitu ia melangkah keluar.
"Selamat datang kembali, Violetta!"
Ratusan confetti warna-warni berhamburan di udara, disertai tepuk tangan dan sorakan. Beberapa orang membawa balon, beberapa lainnya membawa kue kecil bertuliskan Glad You’re Back, Violetta!
Victoria tertegun di tempatnya.
Ia tidak menduga ini.
Senyum-senyum lebar mengarah padanya. Seorang wanita berambut sebahu menghampiri dan langsung memeluknya erat. "Kami semua khawatir padamu! Kau benar-benar membuat kami cemas!"
Victoria membeku sepersekian detik sebelum membalas pelukan itu perlahan. Ia kenal perempuan ini, Violetta pernah mengirimkan fotonya dan bilang kalau itu adalah sahabatnya; Kelly Grason.
"Aku ... aku minta maaf membuat kalian khawatir. Terutama kau, Kelly," kata Victoria selembut mungkin.
"Oh, jangan begitu!" sahut seorang pria berkacamata yang kemudian ia kenali sebagai David, orang yang membalas pesannya. "Yang penting kau selamat. Kami semua di sini menunggumu."
"Ya," tambah wanita berambut pendek tadi. "Tanpa kau, ruangan ini terasa hampa. Leon bahkan kelihatan murung minggu lalu."
Leon.
Nama itu membuat jantung Victoria berdegup sedikit lebih cepat.
Leon Lemington, Direktur perusahaan ini. Dan juga kekasih Violetta.
Namun, Victoria tetap berakting sempurna. Ia tertawa kecil dan menunduk malu. "Aku tidak tahu kalau aku sepenting itu di sini."
"Oh, tentu saja penting!" kata David lagi sambil menepuk bahunya. "Sekarang ayo, kami siapkan meja kerjamu, lengkap dengan bunga favoritmu."
Victoria mengangguk, mengikuti mereka ke dalam ruangan besar bercat putih dan kaca transparan di setiap dindingnya. Ruangan itu tampak seperti perpaduan antara laboratorium seni dan kantor eksekutif, desain minimalis, tapi setiap detailnya menunjukkan kekayaan.
Ia berjalan perlahan, menatap sekeliling. Wajah-wajah tersenyum, tangan melambai, suara tawa ringan.
Tidak ada yang tampak jahat. Tidak ada bisik-bisik atau tatapan sinis seperti yang ia duga.
Namun, bagi Victoria, keanehan justru ada di sana, karena semua ini terlalu sempurna. Terlalu akrab.
Meja kerja Violetta terletak di dekat jendela besar dengan pemandangan kota. Ada vas bunga mawar putih di atasnya, laptop berlogo perusahaan, dan selembar catatan kecil bertuliskan:
'Welcome back, Sweetheart. We missed you.'
- Leon.
Victoria menatap catatan itu lama. Tulisan tangan rapi, elegan, tapi dingin.
Ia merasakannya seperti perangkap berlapis madu.
"Leon yang menulis itu?" tanyanya pada David dengan nada polos, berusaha menjaga karakter Violetta yang lembut.
David tersenyum getir. "Ya. Bos besar kita itu sebetulnya punya sisi manis, hanya saja jarang orang bisa melihatnya."
"Benarkah?" ia menatap David seolah ragu.
"Ya. Kau tahu sendiri, kau satu-satunya yang bisa bicara santai dengannya. Lagi pula kau kekasihnya," kata David.
Victoria pura-pura tersenyum, tapi pikirannya mulai berputar cepat. Satu-satunya yang bisa bicara santai dengan Leon Lemington.
Hari berjalan dengan cepat.
Victoria menyesuaikan diri dengan ritme kantor yang sibuk, rapat singkat, tumpukan email, presentasi desain, dan ide promosi.
Ia duduk di kursi Violetta, berusaha memahami file demi file di komputer. Beruntung, ia cepat belajar.
"Kalau butuh bantuan, tinggal bilang ya, Letta," ujar Kelly sambil menyerahkan kopi padanya. "Aku tahu kau belum sepenuhnya pulih."
"Terima kasih, Kelly," jawab Victoria lembut. "Aku masih berusaha mengingat semua hal ... kadang kepalaku nyeri sedikit."
"Wajar. Tapi serius, kami semua senang kau kembali. Kantor ini sepi tanpamu.”
Victoria menatapnya sejenak, menimbang ekspresi itu ... tulus, atau latihan sosial? Ia belum bisa menilai.
Di sekelilingnya, orang-orang tampak sibuk tapi ceria. Mereka menyapa, membantu, menawarkan makan siang. Tidak ada satu pun tanda kebencian atau tekanan. Tidak ada pesan tersembunyi di balik senyum mereka.
Namun, justru itulah yang membuat Victoria tak tenang.
Dunia ini terlalu manis untuk menjadi kenyataan.
Menjelang sore, seseorang mengetuk meja kerjanya.
"Violetta," suara itu dalam, tenang, dan berwibawa.
Victoria menoleh.
Di sana berdiri seorang pria kurang lebih seusia Victoria, tinggi, berjas hitam dengan kemeja abu-abu muda. Rambutnya tersisir rapi ke belakang, mata biru yang ramah.
Leon Lemington.
"Bisa ikut saya sebentar?" tanyanya dengan nada datar namun sopan.
Victoria berdiri, menenangkan diri, lalu mengangguk. "Tentu."
Mereka berjalan menyusuri koridor kaca menuju ruangannya yang luas dan sepi. Begitu pintu tertutup, suara dunia luar lenyap.
Leon duduk di kursinya, menatap Victoria tanpa bicara selama beberapa detik. Tatapan itu membuat jantungnya berdetak lebih cepat, bukan karena gugup, melainkan karena kewaspadaan.
"Aku senang kau kembali," kata Leon akhirnya. "Kami semua di sini merindukan kerja kerasmu."
Victoria menunduk pelan. "Terima kasih. Aku ... aku masih mencoba mengingat beberapa hal. Kecelakaan itu membuat ingatanku agak kacau."
Leon mengamati wajahnya lama. "Kecelakaan, ya?"
"Ya. Beberapa hari lalu."
Keheningan menyusup. Suasana tegang, tapi halus.
Lalu, Leon tersenyum tipis. "Syukurlah kau baik-baik saja. Aku tidak mau kehilangan salah satu orang terbaik di timku. Dan pantas saja kau agak ... dingin padaku."
"Maaf, aku ... sempat lupa kalau kita punya hubungan," kata Victoria.
"Tidak masalah, aku mengerti. Tapi istirahatlah cukup, Violetta. Jangan memaksakan diri terlalu cepat kembali ke ritme kantor. Dunia ini tidak akan kabur darimu," kata Leon dengan nada nyaris lembut.
Victoria menatapnya, mencoba membaca ekspresi itu. Tak ada ancaman, tak ada tanda-tanda kebencian. Tapi di balik nada suara itu, ada sesuatu, entah perhatian tulus, atau sesuatu yang lebih dalam dan gelap.
"Aku mengerti," jawab Victoria perlahan.
Leon berdiri, mendekat. "Oh, dan satu lagi."
Victoria menahan napas ketika pria itu berhenti hanya setengah meter di depannya. Mata biru itu menatap langsung ke matanya.
"Kalau ada yang mengganggumu lagi, kau tahu harus bicara padaku, kan?" kata Leon.
Victoria nyaris kehilangan kata.
Mengganggu? Lagi?
Ia menelan ludah. "Tentu."
Leon mengangguk, lalu melangkah kembali ke mejanya. "Kau boleh pergi. Dan, Violetta ...."
"Ya?"
"Aku senang kau selamat. I miss you," ucap Leon dengan senyum yang bukan sebagai atasan tapi sebagian orang dekat untuk Violetta.
Victoria keluar dari ruangan itu dengan langkah tenang, tapi di dalam dirinya, badai sudah mulai berputar.
Kalau ada yang mengganggumu lagi.
Kalimat itu terngiang di kepalanya. Berarti sebelumnya memang ada sesuatu, sesuatu yang cukup mengganggu hingga Leon mengetahuinya.
Dan itu hanya membuat teka-teki ini semakin kusut.
Ketika malam turun, kantor mulai sepi. Victoria duduk sendirian di meja kerja, pura-pura membereskan berkas sambil memeriksa pesan-pesan lama di komputer Violetta.
Sebuah folder bernama "Project Emberline" menarik perhatiannya. Folder itu terkunci dengan sandi, tapi ia berhasil membukanya berkat kode akses yang tersimpan di ponsel Violetta.
Di dalamnya, terdapat beberapa dokumen rahasia, laporan keuangan yang mencurigakan, transfer dana besar ke rekening luar negeri, dan catatan bertanda tangan ... Leon Lemington. Ilegal.
Victoria memandangi layar itu lama.
Pikirannya mencoba menyusun dan mencari tahu yang terjadi.
Ia menatap keluar jendela.
Lampu kota Oakland berkelip di bawah sana, seperti bintang palsu di malam yang kelam.
"Jadi ini permainanmu, Leon Lemington?" bisik Victoria pelan. "Kau menutup semuanya dengan senyum."
Ia menutup laptop perlahan, memasukkan catatan kecil ke dalam tas, dan berdiri.
Di dalam dirinya, tekad semakin mengeras.
Semua orang di DeLuca Company mungkin tampak bersahabat. Tapi Victoria tahu satu hal pasti ... setiap senyum yang terlalu manis selalu menyembunyikan racun.
Dan ia akan menemukannya, tak peduli seberapa dalam racun itu tersembunyi.
makin seru Victoria luar biasa mendalami peran nya hehe
semoga rencana Julius dan Victoria berhasil
semangat juga thor 💪
Sean obsesi bgt ke Victoria
boleh nggak sih ku gempur itu retina si sean thooorr ??😡😡😡😡
badai pasti berlalu
semangat Vivi, pelan-pelan pasti kamu bisa .
Julius selalu bantu Vivi biar dia kuat dan bisa menghadapi semuanya