0o0__0o0
Lyra siswi kelas dua SMA yang dikenal sempurna di mata semua orang. Cantik, berprestasi, dan jadi bintang utama di klub balet sekolah.
Setiap langkah tariannya penuh keanggunan, setiap senyumnya memancarkan cahaya. Di mata teman-temannya, Lyra seperti hidup dalam dunia yang indah dan teratur — dunia yang selalu berputar dengan sempurna.
***
"Gue kasih Lo Ciuman....kalau Lo tidak bolos di jam sekolah sampai akhir." Bisik Lyra.
0o0__0o0
Drexler, dengan sikap dingin dan tatapan tajamnya, membuat Lyra penasaran. Meskipun mereka memiliki karakter berbeda. Lyra tidak bisa menolak ketertarikannya pada Drexler.
Namun, Drexler seperti memiliki dinding pembatas yang kuat, membuat siapapun sulit untuk mendekatinya.
***
"Mau kemana ?" Drexler menarik lengan Lyra. "Gue gak bolos sampai jam akhir."
Glek..! Lyra menelan ludahnya gugup.
"Lyra... You promise, remember ?" Bisik Drexler.
Cup..!
Drexler mencium bibir Lyra, penuh seringai kemenangan.
"DREXLER, FIRST KISS GUE"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nuna Nellys, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
2. Menagi hadia
...0o0__0o0...
...Cahaya sore menembus jendela besar studio balet, memantulkan semburat keemasan ke lantai marmer yang mengilap....
...Di tengah ruangan yang sunyi, hanya terdengar dentingan lembut musik klasik yang mengalun dari speaker — irama Swan Lake versi piano....
...Lyra berdiri di depan cermin panjang yang membentang dari ujung ke ujung ruangan. Tubuhnya tegak, dagu sedikit terangkat, rambut pirangnya tergulung rapi dalam sanggul balerina yang sempurna....
...Bayangan dirinya di cermin tampak anggun, seolah sedang menatap balik dengan tatapan penuh tekad....
...Lyra menarik napas dalam-dalam, lalu mulai berputar — pirouette....
...Sekali... dua kali... tiga kali......
...Rok balet putih susu miliknya berputar lembut mengikuti gerakan tubuh yang lentur dan terlatih....
...Namun di putaran keempat, kakinya sedikit goyah. Musik berhenti....
...Lyra membuka mata, menatap bayangannya di cermin dengan kesal....
...“Tidak stabil lagi…” gumamnya lirih, menyentuh dada yang naik-turun karena napasnya yang berat....
...“Kau bisa lebih baik dari ini, Lyra.”...
...Ia mengambil posisi lagi — kali ini lebih mantap....
...Kedua lengannya di buka, gerakannya lembut tapi kuat, setiap langkah menyatu dengan nada piano yang kembali mengalun. Tatapannya penuh konsentrasi, tapi di baliknya tersimpan sesuatu — kegelisahan kecil yang tak bisa dia sembunyikan....
...Dari balik pintu kaca, beberapa siswi lain berhenti untuk menonton diam-diam....
...“Lihat, itu Lyra…” bisik salah satu....
...“Primadona sekolah… Dia bahkan latihan sendirian tiap sore begini.”...
...Lyra tidak menyadari mereka. Ia hanya menatap cermin, seolah di sana ada lawan yang harus ia kalahkan — bukan orang lain, tapi dirinya sendiri....
...Gerakannya semakin cepat, semakin hidup....
...Sampai akhirnya ia berhenti di posisi akhir, satu kaki terangkat tinggi, tubuh tegak sempurna, dan mata menatap lurus pada bayangannya....
...Sunyi....
...Hanya detak jam dinding dan napasnya yang terdengar....
...Di detik itu, Lyra tersenyum kecil....
...Bukan karena puas, tapi karena tahu — dirinya semakin dekat dengan kesempurnaan yang ia kejar....
...Lalu tanpa sadar, dari kaca jendela sisi kanan, bayangan seseorang sempat tampak memperhatikan — seorang pria tinggi berseragam sekolah, bersandar di dinding luar studio....
...Tatapannya dingin, tapi tak bisa menyembunyikan satu hal… kekaguman....
...Drexler....
...Tanpa suara, ia berbisik pelan, “Masih keras kepala seperti dulu.”...
...Lalu Drexler berbalik, meninggalkan koridor sebelum gadis itu sempat tahu bahwa sejak tadi ia tidak benar-benar sendirian....
...0o0__0o0...
...Studio balet yang tadi tenang kini berubah riuh dalam sekejap. Musik yang baru saja Lyra matikan membuat ruangan seakan semakin jelas memperdengarkan setiap nada suara yang naik satu per satu....
...Lyra melangkah mendekat ke arah Giva yang duduk santai di sudut studio sambil menatap layar ponselnya dengan ekspresi terpukau....
...“Gila… ini mah definisi cogan sempurna,” seru Giva dengan nada setengah berbisik, matanya tak lepas dari layar. “Tampan, kaya, tubuh kekar, dan nggak suka main perempuan. Drexler, calon pacar idaman.”...
...Lyra langsung merebut ponsel itu cepat. Seketika, matanya membelalak, lalu senyum lebarnya muncul seolah cahaya sore ikut menyorotinya....
...“Ah… nikmat mana yang kau dustakan. Pacar gue memang tampan dan menggoda.”...
...“Woy! Pacar kita, bukan pacar lo doang!” protes Giva sambil menarik pelan ujung roknya dengan ekspresi kesal setengah malu....
...Lyra mengangkat dagunya tinggi, tatapannya penuh percaya diri....
...“No, no. Drexler hanya milik gue,” katanya tegas, lalu mengambil tas baletnya yang tergantung di kursi....
...“Lo balik duluan aja, Gue mau nyamperin pacar masa depan ke kolam.”...
...Giva menatapnya heran....
...“Bukankah jadwal lo padat hari ini ?” tanyanya, nada suaranya setengah menegur....
...Lyra memutar tubuhnya santai, senyum licik di ujung bibir....
...“Drexler lebih penting dari jadwal gue yang membosankan,” jawabnya ringan, seperti ucapan itu hal paling wajar di dunia....
...Namun langkah Lyra terhenti saat suara sinis terdengar dari belakang....
...“Dih… dasar gak punya harga diri,” celetuk seseorang tajam....
...Lyra menoleh perlahan....
...Di depan pintu, Dina berdiri dengan kedua tangan terlipat di dada, ekspresi menyebalkan khasnya terpampang jelas....
...Di sampingnya, Sinta — kekasih Bagas — berdiri dengan tatapan benci, sementara dua anggota klub balet lain ikut menyeringai....
...“Gue yakin tuh cewek rayu cowok lo biar di beliin sepatu balet baru,” kata Dina sambil mendengus ke arah Sinta....
...Sinta langsung menunduk, mencoba menenangkan suasana....
...“Udah Din, jangan di perpanjang. Gue nggak apa-apa kok,” katanya lembut. “Anggap aja cowok Gue amal.”...
...Lyra mendecak, matanya menyipit penuh kesal....
...“Kalian gak ada bosannya ya cari masalah ? Atau jangan-jangan ngiri ?” ucapnya ketus, bahunya tegap menantang....
...Giva berdiri, menatap mereka dengan tatapan tajam....
...“Lo semua gak usah sok Keras. Kalo iri, bilang aja iri,” katanya dengan nada sinis....
...Dina mendengus keras. “Lo gak usah ikut campur, dasar babu!”...
...Ruangan langsung hening....
...Giva terdiam sepersekian detik, tapi Lyra justru tersenyum tipis. Tatapannya dingin, seperti ada badai yang mulai berputar di balik matanya....
...Lyra menurunkan tasnya perlahan, melangkah maju hingga berdiri tepat di depan Dina....
...“Ulangi,” katanya pelan tapi tegas. “Siapa yang lo panggil babu ?”...
...Nada musik klasik yang tadinya lembut kini seolah tergantikan oleh ketegangan yang menggantung di udara....
...Dina tersenyum miring, sengaja menatap balik dengan tatapan menantang....
...“Kenapa ? Tersinggung ?”...
...Giva mulai panik, berusaha menahan Lyra, tapi sudah terlambat — Lyra bukan tipe yang diam saat harga dirinya di injak. Apalagi mem-bawah sahabatnya....
...Suasana di studio balet mendadak menegang....
...Cermin besar di dinding memantulkan bayangan para gadis berseragam latihan yang kini saling berhadapan — Lyra berdiri tegak di depan Dina dan Sinta, sorot matanya tajam namun masih tenang....
...Udara sore yang masuk lewat jendela seolah ikut menahan napas....
...“Ulangi, siapa yang lo panggil babu ?” suara Lyra pelan, tapi berwibawa. Tak perlu meninggikan nada, karena setiap katanya terdengar jelas dan mantap....
...Dina sempat ingin menjawab sinis lagi, tapi Sinta lebih dulu melangkah maju.Tatapannya penuh emosi, tapi di baliknya ada sesuatu yang lain — iri yang selama ini ia sembunyikan di balik senyum lembutnya....
...“Udah cukup, Lyra. Jangan sok berkuasa,” ucap Sinta pelan tapi menusuk. “Cuma karena lo jadi ketua klub, bukan berarti lo paling hebat di sini.”...
...Lyra mengangkat alis, tidak terpancing. Ia mendekat dua langkah, lalu menatap Sinta melalui pantulan di cermin anggun, elegan, namun penuh wibawa....
...“Gue gak pernah bilang gue paling hebat, Sin,” katanya tenang, suaranya lembut tapi berisi. “Gue cuma berusaha jadi versi terbaik dari diri gue setiap hari. Kalau itu bikin orang lain tersinggung… mungkin mereka harus mulai berusaha juga.”...
...Beberapa murid yang menonton di belakang langsung terdiam....
...Dina melotot, sementara Sinta menggigit bibir bawahnya tersinggung tapi tak mampu membalas....
...“Jangan sok bijak deh, Lyra,” kata Sinta akhirnya, nada suaranya meninggi. “Lo tuh cuma beruntung. Semua guru suka lo, semua cowok ngejar lo. Lo pikir gampang buat orang lain yang kerja keras tapi gak pernah di lihat ?”...
...Ucapan itu membuat Lyra menatapnya lama. Lalu ia tersenyum kecil — bukan senyum sombong, tapi senyum sinis yang menunjukkan bahwa ia mengerti....
...“Sinta…”...
...“Gue juga kerja keras. Gue datang paling pagi, pulang paling malam. Gue jatuh berkali-kali di lantai ini sampai lutut gue biru.”...
...“Kalau perhatian orang datang karena itu, bukan karena keberuntungan. Tapi karena usaha yang gak berhenti menghianati hasil.”...
...Ruangan seketika sunyi....
...Sinta menunduk, genggaman tangannya gemetar. Dina melirik ke arahnya, mulai terlihat tidak nyaman....
...Lyra melangkah ke depan, lalu menepuk bahu Sinta pelan....
...“Gue tahu Lo juga punya bakat, Sinta. Tapi kalau Lo terus sibuk benci orang lain, Lo gak akan pernah sadar betapa berharganya diri Lo sendiri.”...
...Setelah itu, Lyra menoleh ke arah sahabatnya. “Ayo, Giv. Kita pergi. Udara di sini udah mulai terkontaminasi bakteri.”...
...Lyra berjalan anggun melewati mereka, langkahnya ringan tapi penuh kepercayaan diri....
...Giva menatap Sinta dan Dina sekilas, lalu mengekor sambil mengangkat dagunya — seperti berkata tanpa suara, “lihat kita beda kelas.”...
...Begitu pintu tertutup, beberapa murid yang masih di dalam studio hanya bisa terdiam....
...Sinta berdiri mematung, menatap pantulan dirinya di cermin tapi yang ia lihat bukan Lyra, melainkan bayangan kekurangan-nya sendiri yang selama ini ia benci....
...0o0__0o0...
...Cahaya jingga senja memantul di permukaan air kolam yang tenang. Daun-daun pohon kamboja berguguran pelan, menari bersama semilir angin....
...Di tepi kolam, beberapa siswa duduk santai, sebagian bercanda, sebagian sibuk dengan ponselnya....
...Langkah kaki Lyra terdengar lembut di atas jalan batu kecil yang mengarah ke kolam. Seragam latihan baletnya kini ia tutupi dengan cardigan tipis warna krem, rambutnya masih di gulung rapi dalam sanggul balerina....
...Giva berjalan di belakangnya, masih kesal mengingat peristiwa di studio tadi....
...“Gue gak nyangka Sinta seberani itu ngomong kayak gitu,” gumam Giva....
...“Dia iri, Giv. Dan orang iri biasanya nyerang bukan buat menang, tapi buat di lihat,” jawab Lyra tenang, matanya fokus mencari seseorang di sekitar kolam....
...Beberapa detik kemudian, pandangan Lyra berhenti....
...Di ujung kolam — di bawah bayangan pohon flamboyan — berdirilah sosok pria berseragam putih abu-abu dengan wajah tenang, tatapan dingin, dan aura tak tersentuh....
...Drexler....
...Cowok itu bersandar di pagar kolam, satu tangan memasukkan kunci mobil sport ke saku, sementara angin sore meniup lembut rambut hitamnya....
...Tatapan matanya tajam, menatap permukaan air yang berkilau seolah sedang tenggelam dalam pikirannya sendiri....
...Lyra tersenyum samar. “Ketemu,” bisiknya pelan....
...Tanpa ragu, ia berjalan mendekat....
...Giva di belakang hanya mendesah pelan sambil bergumam lirih, “Ya ampun... cewek bucin kelas atas banget.”...
...Langkah Lyra ringan dan elegan. Setiap gerakannya begitu teratur dan memikat — bahkan hanya untuk mendekati pria itu....
...“Cowok cuek emang selalu punya cara nyebelin buat bikin jantung berdebar,” gumam Lyra ketika jarak mereka tinggal beberapa langkah....
...Drexler perlahan berbalik. Tatapan matanya tajam menembus pandangan Lyra, membuat gadis itu refleks mundur selangkah....
...Bodoh....
...Dialah yang menggoda duluan, tapi sekarang justru panik sendiri....
...“Kenapa mundur ? Takut, hem ?” suara Drexler terdengar rendah dan berat....
...Tangan kekarnya menarik pinggang ramping Lyra, membuat jarak di antara mereka lenyap....
...“Gue gak bolos hari ini. Dari jam awal sampai akhir,” bisiknya sambil menyeringai....
...“Ehm…” Lyra berdehem pelan. Lidahnya tiba-tiba kelu, seluruh kata yang di siapkannya menguap begitu saja....
...Drexler mengangkat dagu Lyra dengan lembut, memaksa gadis itu menatap matanya....
...Wajah Lyra langsung memanas, pipinya memerah seperti kepiting rebus....
...“Lyra,” ucap Drexler lirih. “You promise remember ?”...
...Glek..!...
...Wajah Lyra semakin panas....
...Drexler menunduk sedikit, jaraknya kini begitu dekat, hingga Lyra bisa merasakan hembusan napasnya....
...Cup..!...
...Ciuman itu datang pelan. Lembut, tapi tegas. Ciuman yang tak butuh izin — hanya keheningan dan degup jantung yang saling bersahutan....
...Lyra membeku, matanya membulat....
...Dua menit berlalu sebelum Drexler akhirnya menarik diri. Ia menatap bibir Lyra, lalu mengusapnya lembut dengan ibu jarinya — sentuhan penuh kepemilikan....
...Cup..!...
...Sebuah kecupan singkat menyusul, lalu Drexler melangkah pergi begitu saja....
...Lyra berdiri diam. Masih mematung di tempat, jemarinya menyentuh bibirnya pelan....
...Drexler... mencium dia ? Untuk pertama kalinya ?...
...“DREXLER!!” Pekiknya tiba-tiba. “First kiss gue... BALIKIN GAK ?!”...
...Drexler berhenti sejenak, lalu menoleh sambil menyeringai....
...Ia kembali mendekat, menunduk, dan mencium Lyra lagi....
...“Bales ciuman gue. Kesempatan gak datang dua kali,” bisiknya....
...Lyra melotot terkejut, namun langsung membalas dengan kikuk, wajahnya merah padam....
...Ciuman itu hanya berlangsung sepuluh detik, sebelum Drexler menarik diri lagi....
...Lyra manyun. “Baru juga icip tipis-tipis… belum sempat gigit udah selesai aja,” dumelnya....
...Cetak..!...
...Drexler menyentil pelan bibir Lyra, ekspresinya tetap datar....
...“Pulang bareng cewek Mogi,” katanya tegas. Ia melepaskan jaket kebesaran-nya, lalu mengenakan-nya di tubuh Lyra yang ramping....
...“Dan jangan keluar pakai baju balet lagi... kalau lo gak mau gue telanjangi,” bisiknya datar. Tangannya menarik naik resleting jaket itu perlahan....
...Drexler kemudian berbalik, meninggalkan Lyra yang masih terpaku....
...Gadis itu melotot sebentar, lalu tersenyum lebar....
...“Dasar pangeran es kutub,” bisiknya sambil tertawa kecil. “Tapi gue makin suka.”...
...Lyra memutar tubuhnya kegirangan, membiarkan jaket kebesaran Drexler menggantung longgar di tubuh mungilnya....
...0o0__0o0...
😌
dexler udh dateng tuh matilah kau bagas 😂😂
😉🤭😅