Dorongan kuat yang diberikan sepupunya berhasil membuat Marvin, pria dengan luka yang terus berusaha di kuburnya melangkahkan kaki masuk ke dalam ruang praktek seorang Psikolog muda. Kedatangannya ke dalam ruang praktek Bianca mampu membuat wanita muda itu mengingat sosok anak laki-laki yang pernah menolongnya belasan tahun lalu. Tanpa Bianca sadari kehadiran Marvin yang penuh luka dan kabut mendung itu berhasil menjadi kunci bagi banyak pintu yang sudah dengan susah payah berusaha ia tutup.
Sesi demi sesi konsultasi dilalui oleh keduanya hingga tanpa sadar rasa ketertarikan mulai muncul satu sama lain. Marvin menyadari bahwa Bianca adalah wanita yang berhasil menjadi penenang bagi dirinya. Cerita masa lalu Marvin mampu membawa Bianca pada pusaran arus yang ia sendiri tidak tahu bagaimana cara keluar dari sana.
Ditengah perasaan dilema dan masalahnya sendiri mampukah Bianca memilih antara profesi dan perasaannya? apakah Marvin mampu meluluhkan wanita yang sudah menjadi candu baginya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Penasigembul, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 2
Bianca masih sibuk dengan pikirannya, suara klien terakhirnya terasa sangat familiar, suara yang tidak ia temukan dalam ingatan tapi terasa dikenalinya. Tanpa Bianca sadari kedatangan klien terakhirnya mampu membuka banyak pintu yang tertutup, ini bukan hanya bermakna untuk pintu ruangannya tapi ini tentang banyak pintu yang sudah berusaha ia tutup.
Ketukan pintu membuyarkan Bianca dari semua pikiran yang menghinggapi kepalanya, memunculkan Jean disana yang sudah rapi dengan jaket dan tasnya. Bianca melirik jam, memang sudah waktunya untuk pulang terlebih Marvin adalah klien terakhirnya.
“Mbak Bianca belum mau pulang?” tanya Jean ketika melihat Bianca masih duduk dengan catatan dan bolpoin di tangannya.
“Ah iya sebentar lagi, aku harus menyelesaikan ini dulu.” Jawab Bianca sambil sedikit mengangkat catatannya. Bianca kembali memfokuskan dirinya untuk mencatat hal penting yang ia dapatkan ketika konsultasi tadi, kata-kata terakhir Marvin tentang ia tidak ingin disembuhkan juga dicatat oleh Bianca. Selesai dengan catatannya Bianca menyadari bahwa Jean sudah duduk di sofa panjang, sibuk dengan ponselnya sambil menunggu Bianca selesai dengan pekerjaannya. Meski Bianca sering mengatakan agar asistennya itu tidak perlu menunggu dirinya selesai, ia bisa pulang duluan tapi Jean selalu memilih menunggu atasannya itu selesai dan meninggalkan gedung itu bersama.
“Yuk pulang.” Ajak Bianca setelah dirinya siap. Bianca mengunci ruang konsultasinya dan keduanya menuju ke parkiran dimana kendaraan mereka terparkir.
*
Marvin masih belum beranjak dari gedung tiga lantai itu, sudah setengah jam lalu ia meninggalkan ruangan Bianca tapi ia masih enggan melajukan mobilnya untuk pulang. Ia melihat Bianca berjalan menuju mobilnya, dengan seksama ia kembali memerhatikan wajah teduh milik wanita itu. wajah itu terasa familiar baginya meski ada sedikit perubahan tapi Marvin seolah mengenali wanita itu.
Lamunannya buyar ketika wanita itu menghilang di balik pintu mobil yang kemudian meninggalkan parkiran. Marvin tersadar bahwa sebaiknya ia juga pulang atau mungkin kembali ke kantor menghabiskan waktu untuk bekerja sampai pikiran dan perasaannya dapat teralihkan.
Kedatangan Marvin kembali ke kantor berhasil membuat Sabrina mengurungkan niatnya untuk pulang, waktu memang sudah menunjukkan waktu pulang kantor, Sabrina segera berdiri dari duduknya begitu menyadari Marvin melangkah menghampirinya.
“Kamu pulang saja, Na.” Belum sempat Sabrina membalas ucapan bosnya itu, pria dengan tubuh tegap itu sudah melangkah menuju ruangannya, meninggalkan Sabrina yang masih berdiri di tempatnya. Sabrina masih memerhatikan tubuh tegap Marvin yang mulai menghilang di balik pintu, selama bekerja sebagai sekretaris dari seorang Marvin, Sabrina menyadari bahwa bosnya memang bukan pria yang suka berbicara, bisa dibilang Marvin merupakan sosok yang tegas dan dingin.
Marvin menjatuhkan tubuhnya di kursi kebesarannya setelah berada di ruangannya. Ini adalah perusahaan keluarga yang akhirnya diwariskan oleh ayahnya karena ayahnya memilih untuk pensiun. Berulang kali Marvin menolak tapi penolakkan yang ia berikan malah membuatnya kembali dilukai oleh setiap perkataan dan tuduhan ibu kepadanya.
Tidak ingin terus memikirkan hal yang akan membuatnya kacau, Marvin berusaha mengalihkan pikirannya dengan mulai menyibukkan diri dengan dokumen- dokumen di mejanya yang ia tinggalkan siang tadi, Marvin membaca satu persatu dokumen tersebut, mulai dari laporan harian, segala bentuk pengajuan yang memang membutuhkan persetujuannya dan mereview beberapa proposal kerjasama yang diserahkan oleh bawahannya.
Dering ponsel memaksanya meninggalkan dokumen yang sedari tadi ia pelajari, melirik sekilas pemilik nama yang menghubunginya. Nama Saka muncul dari layar yang berkedip itu. Marvin mengambil benda pipih itu dan menggeser tombol jawab panggilan.
“Masih belum pulang, Vin?” pertanyaan itu langsung terdengar oleh telinga Marvin begitu benda pipih itu menempel pada telinganya.
“belum, lu dimana?” tanya Marvin kepada sahabatnya itu.
“di apartemen nih.” Jawab pemilik suara bernama Saka itu. “Masih lama di kantor?” tanya Saka kemudian.
“hmm, kerjaan bisa ditinggal sih.” Suara Marvin terdengar mengambang, sesungguhnya ia enggan pulang karena suasana hatinya baru saja tenang.
“Yaudah gue tunggu disini.” Sambungan telepon terputus begitu Saka mengatakan akan menunggunya. Marvin menyelesaikan dokumen yang sudah terlanjur ia pelajari dan membubuhkan tanda tanganya disana, setidaknya pekerjaannya sudah sedikit berkurang. Pria berwajah datar itu merapikan mejanya, mengantongi benda pipih yang tadi ia letakkan di meja, mengambil kunci mobil dan meninggalkan ruangannya. Suasana kantor sudah sepi, seluruh karyawan sepertinya sudah pulang mengingat saat ini sudah hampir pukul 11 malam.
Marvin mengemudikan mobilnya dengan santai meskipun ia tahu ada yang menunggunya, jarak kantor dan apartemennya memang tidak begitu jauh hanya membutuhkan waktu 15 menit jika jalanan senggang seperti malam ini.
Marvin memasuki lift yang akan membawanya ke lantai teratas gedung apartemen, ia menempati penthouse yang ia beli beberapa tahun lalu. Sejak diminta meneruskan perusahaan keluarga Dirgantara ia memutuskan keluar dari rumah yang baginya sangat menyesakkan, memilih tinggal sendirian dan tanpa tekanan atau tuduhan yang terus terarah kepadanya.
Setibanya di lantai paling atas gedung itu, Marvin menemukan Saka tengah menuangkan red wine yang memang disediakan Marvin disana. Saka menyerahkan satu gelas untuk Marvin dan membawa satu gelas lain untuk dirinya sendiri. Marvin tidak pernah mempermasalahkan apapun yang Saka lakukan di dalam penthousenya.
“gimana ketemu psikolog hari ini?” tanya Saka ketika keduanya sudah duduk di sofa ruang tamu. Marvin melepaskan dua kancing teratas kemejanya seolah memberikan ruang pada tubuhnya untuk bernafas.
“tidak banyak membantu, mungkin memang seharusnya gak usah datang.” Jawab Marvin sambil menyandarkan tubuhnya ke sofa sambil menghembuskan nafas.
“udah coba ceritain masalahnya?” tanya Saka lagi, Marvin memejamkan matanya mengingat sesi sore tadi ketika ia bertemu terapis bernama Bianca itu, kemudian menggeleng sebagai jawaban untuk pertanyaan Saka. Saka merupakan sepupu yang seumur dengannya dan menjadi sahabat paling dekat bagi Marvin. Selama ini hanya Saka yang mau mendengar dan mengerti kondisinya, dia pulalah yang memaksa dirinya untuk menemui seorang profesional setelah keluar dari rumah sakit akibat percobaan bunuh diri yang ia lakukan satu bulan lalu.
“gimana bisa terapinya akan berguna kalau lu terus menutup diri.” Respon Saka sambil menyesap wine di tangannya. “perlahan Vin, tapi cobalah membuka diri supaya lu bisa keluar dari kondisi ini.” Tambah Saka lagi.
Marvin tidak merespon sepupunya itu, jika dilanjutkan perbincangan mereka hanya akan mengacaukan pikiran yang sudah susah payah ia alihkan dengan tumpukan kerjaan. Ia memilih beranjak meninggalkan Saka menuju kamarnya untuk membersihkan diri dan istirahat. Hari ini tubuh, pikiran, dan perasaannya benar-benar menguras seluruh tenaganya.
Saka hanya memandangi Marvin yang menghilang di balik pintu kamar, menghela nafas kemudian kembali menyesap wine-nya. Saka adalah saksi dari semua luka dan kerusakan yang dialami Marvin atas kematian adiknya 21 tahun lalu. Lukanya semakin menganga dari waktu ke waktu ditambah tekanan harus meneruskan perusahaan keluarga Dirgantara sebagai anak dan cucu pertama laki-laki di keluarga mereka. Saka sendiri diminta ibunya untuk menemani saudara sepupunya itu sesering mungkin takut percobaan bunuh diri yang selalu dilakukan Marvin sewaktu-waktu akan berhasil.